Love Story of El Panthera

awod
Chapter #24

Bunga Ungu

Meskipun sesekali terhalang awan, matahari siang itu bersinar cukup terik di atas ladang. Jefri duduk bersandar di bawah pohon mangga di pinggir ladang, matanya menatap jauh ke arah Gunung Galunggung.

Pandangannya kosong. Pikiran melayang. "Jauh banget ternyata dari rumah..." gumamnya pelan. Teringat neneknya, bibinya, sepupunya. Apa kabar mereka sekarang?

Jefri menghela napas panjang.

Tiba-tiba...

"Aduh!"

Suara perempuan terdengar di belakangnya. Ternyata... Ustazah Sania ditemani adiknya. Jalannya terhalang akar pohon, dan ia nyaris tersandung.

"Astagfirullah, hati-hati dek?" Sania pegangi adiknya yang berusia 10 tahun, Sarah yang hampir terjatuh karena tersandung akar pohon yang sedikit menyembul melintang ke jalan setapak di pinggir ladang.

Jefri kaget mendengar suara dari arah belakangnya. Ia menoleh ke kiri. Seketika ia berdiri seolah hendak membantu. Namun niatnya diurungkan karena dilihatnya kakak adik itu baik-baik saja. Tapi wajahnya tetap datar, tidak ada ekspresi. Biasanya pasti ia sudah jahil atau berkata sesuatu yang konyol.

Sania dan adiknya berjalan melewati Jefri lalu berhenti sejenak, melirik heran. "Ada yang aneh." Ustazah itu membatin. "Biasanya dia usil atau malah bercanda. Tapi sekarang?"

Wajah Jefri terlihat murung. Bahkan tidak terlalu peduli padanya.

"Kenapa, Kang?" Sania akhirnya bertanya.

Jefri masih duduk bersandar di batang pohon, ia menatap tanah. "Gak kenapa-kenapa," jawabnya singkat.

"Ngelamun di siang bolong. Awas kesambet loh!" Sania mencoba bercanda.

Jefri mengangkat kepala, menatap dus wanita di hadapannya sebentar, lalu menghela napas lagi. "Lagi mikirin nenek," katanya pelan.

Sania sedikit terkejut. "Kenapa?" tanyanya lebih lembut.

Jefri mengangguk. "Aku khawatir sama nenek. Pengen pulang... Tapi jauh banget."

Sania terdiam sejenak. Ia coba mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada Jefri.

"Akang mau pulang ke Jakarta?" Tanya gadis itu. Raut wajahnya sekilas terpercik perasaan khawatir.

Wajah Jefri serius namun murung. "Iya. Aku khawatir sama nenek, bibi dan adikku. Mereka pasti mengkhawatirkan aku karena tidak mengetahui kabar dan keberadaanku. Aku juga kangen mereka."

"Akang pernah mengabari mereka? kan bisa telepon!" katanya memberi solusi.

Jefri menggeleng. "Gak punya HP."

Sania menaikkan alis, lalu mengambil ponsel dari tasnya. "Pakai HP aku aja."

Jefri memandang Sania dengan ragu. "Beneran?"

Lihat selengkapnya