Keesokan lusa semenjak latihan Pramuka, Langit pagi itu begitu kelam. Awan hitam menggantung berat di atas langit Desa Cimanggu. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya membuat dedaunan dan ranting-ranting kecil beterbangan.
Di pondok pesantren, para santri yang sedang belajar di kelas mulai merasa gelisah.
"Anginnya kok makin kencang ya?" bisik salah satu santri.
"Iya, gelap banget. Kayak mau hujan gede." Sahut yang lain.
Gerimis mulai turun disertai angin yang menderu sangat kencang meliuk-liuk berputar menggidikkan bulu kuduk. Pepohonan di sekitar pondok bergoyang-goyang keras seolah hendak tercerabut dari akarnya.
Tiba-tiba...
"Wuuuussshhhhh!!!"
Angin puting beliung datang menerjang! Atap masjid yang sudah tua mulai bergetar keras. Beberapa genteng terangkat, lalu terlempar ke udara laksana daun kering.
"Astagfirullah!" Terdengar seruan ustaz dan para santri. Mereka melihat ke luar dari jendela kelas.
Bagian mihrab masjid roboh, kayu-kayu tua patah dan beterbangan.
Para santri berteriak ketakutan, sebagian berkerumun di dalam kelas dan menjauhi jendela. Ustaz-ustaz berusaha menenangkan mereka.
"Tenang, semua diam di dalam! Jangan panik!" seru Ustaz Ibrahim dengan suara lantang menenangkan.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti kiamat, angin puting beliung akhirnya berlalu, disusul gerimis kecil.
Setelah gerimis reda, santri-santri mulai keluar dari kelas, menatap masjid yang kini rusak parah. Genteng-genteng berantakan, kayu-kayu patah berserakan, dan mihrab hancur.
Saat kejadian itu, Jefri sedang berada di sawah membantu Mang Ajun dan Mang Saman. Tiba-tiba, ia merasakan angin yang tidak biasa. Ketiganya berteduh di sebuah saung di tengah sawah. Ketika melihat ke arah pondok dari kejauhan, terlihat debu dan benda-benda beterbangan.
"Waduh, itu di pondok kayaknya kenapa-napa!" ujar Mang Ajun cemas.
Setelah angin agak mereda, tanpa pikir panjang, Jefri langsung berlari menuju pondok pesantren. Jantungnya berdebar keras, khawatir terjadi sesuatu pada Abah, para santri, dan Sania.
Sesampainya di sana, matanya langsung membelalak. Masjid rusak parah. Santri-santri masih terlihat syok. Beberapa bahkan menangis. Sementara para ustaz mencoba menenangkan. Abah langsung meliburkan pembelajaran dan memerintahkan para santri kembali ke asrama. Tak lama para santri senior kembali ke lapangan dengan pakaian biasa untuk membersihkan puing-puing.
Jefri mendapati sosok yang ia kenal.
"Abah!" panggilnya, setengah berlari ia mendekati sosok tua yang sedang berdiri di dekat puing-puing.