Pagi itu di Jakarta, matahari masih malu-malu bersembunyi di balik awan. Di sebuah rumah yang sederhana, Mak Siti yang tak lain adalah neneknya Jefri duduk di kursi di teras rumahnya. Tangannya menggenggam tasbih, bibirnya komat-kamit melantunkan doa seperti kebiasaannya setiap pagi.
Tiba-tiba, suara mesin mobil terdengar mendekat. Sebuah Alphard putih berhenti di depan rumah. Dari dalam mobil, seorang pria paruh baya turun dengan wajah penuh beban. Pak Indra. Dengan langkah sedikit gontai ia berjalan ke arah teras lalu menyalami dan mencium tangan Mak Siti.
"Assalamualaikum, Bu."
"Wa’alaikumussalam, Indra. Sehat?. Silakan duduk."
"Alhamdulillah, Bu."
Nenek itu menatap wajah Pak Indra lekat-lekat. Ada sesuatu yang berbeda. Mata pria itu tampak berkaca-kaca.
"Ada apa, Indra? Kamu baik-baik saja?"
Pak Indra menarik napas panjang, lalu duduk di kursi di sebelah nenek Jefri.
"Bu. Saya sudah bertemu Jefri."
Mak Siti terhenyak. Tasbih di tangannya terjatuh ke pangkuannya.
"Masya Allah… di mana?"
Pak Indra menunduk. Suara lelaki itu bergetar. "Di rumah saya, Bu. Saya tidak sengaja bertemu." Lalu ia menceritakan semuanya.
Mak Siti menatap Indra dengan mata bergetar. Campuran perasaan bahagia dan cemas berkecamuk di hatinya.
"Lalu? Apa dia mau bicara denganmu?"
Indra tersenyum pahit. "Dia marah, Bu. Dia menuduh saya meninggalkan dia dan ibunya. Saya tahu saya salah… saya menyesal… saya minta maaf… tapi dia masih sulit menerima."
"Astagfirullah… kasihan Jefri…" Nenek menghela napas panjang. "Kamu harus sabar. Kamu harus mengerti. Dia butuh waktu."