Langit tampak cerah di atas pondok pesantren. Matahari bersinar hangat, beranjak meninggi, menyapu pekarangan pondok dengan cahaya keemasan. Suara santri mengaji terdengar dari salah satu kelas.
Sebuah Alphard putih berhenti di halaman mesjid. Pak Indra turun bersama empat anak buahnya. Sejenak mereka memperhatikan masjid yang rusak di beberapa bagian. Mereka lalu berjalan menuju rumah pimpinan pesantren.
Abah menyambut mereka di teras rumah dengan senyum ramah.
"Assalamualaikum." Ucap Pak Indra menyalami Abah.
"Wa’alaikumussalam. Silakan masuk."
Setelah minum dan berbincang di rumah Abah, empat anak buah Pak Indra langsung menuju masjid, membawa alat ukur dan kamera. Mereka mulai memotret, mengukur dan mencatatnya.
Di dalam rumah, Abah dan Pak Indra duduk berhadapan di ruang tamu.
“Pak Indra,. Jangan panggil saya Kiai. Panggil saja Abah. Saya terbiasa dipanggil Abah.” Ucapnya dengan senyum.
Pria paruh baya itu tersenyum mengiyakan. “Baik, Abah. Oh iya.. Bagaimana keadaan Jefri?" tanyanya cemas.
Abah menghela napas. "Masih istirahat di kamarnya. Luka di kakinya lumayan dalam, tapi alhamdulillah tidak parah dan sudah diobati."
"Luka?!" Kontraktor itu terkejut. "Kenapa dia bisa terluka, Bah?"
Abah tersenyum kecil lalu bercerita tentang perkelahian dengan perampok sapi di kandang pondok.
Mata Pak Indra membelalak. "Anak itu. Bagaimana bisa dia melawan perampok?!"
"Dari ceritanya, Jefri itu anaknya liar, tapi pintar dan nyalinya tinggi," Abah tertawa kecil. "Hatinya juga baik. Dia peduli dengan sesama, peduli kawan, dan peduli dengan pesantren ini."
Pak Indra tertegun mendengarnya. Dalam hatinya dipenuhi rasa bersalah. Bagaimana orang lain lebih tahu dan lebih memahami anaknya daripada ia sebagai ayahnya.
"Abah… bolehkah saya menjenguknya?" Suaranya sedikit bergetar.
Kiai itu menatap ayah Jefri dalam-dalam, lalu mengangguk. "Mari, saya antar."
Di kamarnya, Jefri duduk bersandar di dipan. Kakinya yang terluka dibalut perban, wajahnya terlihat lebih pucat karena kurang tidur.
Pintu yang setengah terbuka diketuk. "Assalamualaikum, Jefri."
"Wa’alaikumussalam. Silakan masuk, Bah." Jefri mencoba berdiri dari ranjangnya menuju pintu kamar. Abah masuk lebih dulu, diikuti oleh Pak Indra.
Jefri membeku ketika matanya menatap orang di belakang Abah.
"Ayah?" suaranya nyaris berbisik.
"Kamu sedang istirahat, Jef? Rebahan saja. Kamu jangan banyak bergerak dulu."
Jefri kembali masuk dan bersandar di dipan. Wajahnya menunduk menandakan bahwa ia tidak senang atas kehadiran ayahnya.
Abah mengangguk memberi isyarat kepada Pak Indra agar masuk dan duduk di salah satu kursi di dalam kamar itu. Ayahnya berjalan mendekat. Matanya dipenuhi pertanyaan dan emosi yang sulit dijelaskan.
"Jefri… bagaimana keadaanmu?"
Jefri hanya diam. Matanya menatap kakinya yang diperban. Abah menghela napas melihat kebekuan di antara ayah dan anak ini.
"Jefri, Ayahmu ke sini mau menengokmu. Ia juga mau memulai renovasi masjid," kata Abah dengan suara lembut.
Jefri masih diam. Pikirannya penuh.
"Jefri, kamu anak baik," lanjut Abah. "Dengarkan ayahmu bicara."
Jefri melirik Abah, lalu menghela napas pelan. Akhirnya ia pun mengangguk.
Abah tersenyum tipis lalu menatap Pak Indra. "Silakan, Pak Indra. Ceritakan semuanya pada Jefri."
Jefri menoleh ke arah ayahnya. Matanya penuh rasa ingin tahu, tapi juga sedikit curiga.
Pak Indra menarik napas panjang. Ia menatap wajah anaknya yang selama ini jauh darinya. Ia bingung bagaimana harus mulai bercerita.
"Jefri, setelah pertemuan kita di Bandung, ayah menemui nenekmu."
Jefri terkesiap. Matanya langsung membelalak menatap ayahnya seolah mengharap kabar berita neneknya.