Selepas Ashar, Jefri sedang bersandar di dipannya ketika pintu kamarnya diketuk.
“Assalamualaikum…”
Suara khas itu tak asing lagi.
“Wa’alaikumussalam… Masuk, Taz.”
Pintu terbuka, Ustaz Khalid masuk dengan senyum khasnya. Tangannya menenteng camilan yang dibelinya dari kantin.
“Gimana, Jef? Udah baikan?” tanyanya sambil duduk di kursi dekat ranjang.
Jefri mengangguk, “Udah mendingan. Tinggal nyut-nyutan dikit.”
Ustaz muda itu tertawa. “Baguslah. Santri-santri pada nyariin kamu.”
Jefri menyeringai. “Yang bener? Atau yang nyariin cuma si Hilman?”
Khalid ikut tertawa. “Ya, si Hilman mah paling heboh. Tapi ada juga yang lain.”
Suasana santai itu membuat Jefri penasaran.
“Taz, boleh tanya sesuatu?”
Khalid mengangguk. “Silakan.”
“Sudah berapa lama mengajar di pondok ini?”
Ustaz Khalid tersenyum sambil mengunyah rengginang yang dibawanya. “Sudah sepuluh tahun lebih dikit.”
Jefri mengangguk paham, lalu menatap ustaz itu dengan pandangan jahil. “Sudah sepuluh tahun, tapi kok belum menikah?”
Khalid terbatuk kaget. “Uhuk! Astagfirullah, pertanyaannya berat nih.”
Jefri tertawa. “Udah ada calon?” tanyanya sambil mengangkat alis.
Ustaz Khalid mendesah, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Sudah ada sih….”
Jefri makin tertarik. “Siapa? Ustazah Aisyah?”
Ustaz Khalid melongo. “Kamu kok tahu?”
Jefri kembali tertawa melihat ekspresi ustaz muda itu. “Dari bahasa tubuh, Taz. Waktu kegiatan pramuka di gunung, aku perhatikan dia sering mencuri pandang sama Ustaz. Ustaz juga begitu kan?” Goda Jefri.
Ustaz Khalid mengusap wajahnya, pasrah ketahuan.
“Tapi… ya itu masalahnya.”
Jefri mengernyit. “Masalahnya?”