Leanna bangun terlalu pagi di akhir pekan yang cukup tenang. Wanita itu membuka pintu kaca balkonnya dan menghirup udara pagi yang segar. Tercium beberapa aroma bunga yang bermekaran dari taman belakang dan dia tak pernah bosan menghabiskan waktu luangnya untuk sekadar bersantai di kursi balkon kamar tersebut.
Sayangnya dering telepon yang mengalunkan lagu favorit Leanna berhasil menyabotase kegiatannya menikmati udara segar dan ketenangan di balkon tersebut. Leanna langsung menekan tombol terima dengan segera begitu tahu siapa yang meneleponnya.
“Pagi, Leanna. Apa kabarmu pagi ini?” tanya Arvian lembut.
“Aku baik. Kenapa meneleponku sepagi ini? Memangnya kamu tidak ada syuting?”
“Ini aku sudah di lokasi syuting. Hari ini aku syuting mini drama dan suasananya sangat membosankan. Andai saja kamu ada di sini Leanna,” keluh Arvian.
“Memang yang jadi lawan mainmu sekarang siapa?”
“Soraya. Dari dia datang sampai break syuting, dia selalu saja mengikutiku dan membuatku jengkel. Jadi aku melarikan diri darinya dan bersembunyi supaya bisa mendengar suara manismu, Leanna!”
“Loh, kenapa begitu? Kelihatannya dia baik padamu?”
“Baik kalau ada maunya! Nanti malam kamu ada waktu luang tidak?”
“Sayang sekali ... aku sudah ada janji malam ini. Lain kali saja, ya.”
“Begitu, ya. Memangnya ada janji dengan siapa? Apa kamu mau
pergi dengan pacarmu nanti malam?” Terdengar semburat nada kecewa dalam kalimat yang dilontarkan Arvian.
“Bukan. Aku harus menghadiri pernikahan sahabatku. Maaf, ya.”
“Ah, begitu. Leanna, nanti kutelepon lagi ya. Sutradara sudah memanggilku. Sampai nanti, Leanna.”
“Ya, sampai nanti.”