UNTUK ANAK-ANAK YANG REMEDIAL BAHASA INGGRIS, JAM ISTIRAHAT LANGSUNG KE PERPUSTAKAAN. JANGAN LUPA BELI LJK!
Kalimat yang terpampang jelas di papan tulis kelas seolah menjadi noda tebal. Apalagi huruf perhuruf sengaja ditulis dengan kapital, membuatku semakin bersungut. Beberapa menit lalu, ketua kelas menyebutkan hasil ulangan bahasa Inggris di depan kelas, dan aku mendapat nilai 78,5. Hal yang paling menyebalkan dalam hidupku, jika sudah berhadapan dengan yang namanya remedial. Terutama gara-gara nilainya tanggung. Bayangkan saja, aku hanya butuh satu nomor lagi agar lolos KKM! Hah!
Kalau saja remedial pelajaran lain yang berbau rumus-rumus, mungkin saat ini aku akan coba mengerjakan soal-soal ulangan sebelumnya. Tapi kalau pelajaran bahasa? Apa yang harus kupelajari? Bahkan setiap ulangan yang berjudul bahasa pun aku tak pernah belajar. Baik bahasa Inggris maupun mulok bahasa Arab, kecuali bahasa Indonesia. Sejak duduk di sekolah dasar, aku sangat menyukai dan memberi perhatian khusus pada pelajaran yang satu ini.
Segera aku menoleh ke arah teman sebangku. Ekspresinya biasa saja, tidak sesenang anak-anak pintar yang dapat nilai 100, tapi tidak juga semuram mimik wajahku sekarang, “Dea, nilai lo berapa? Remed nggak?”
Orang yang bernama lengkap Dea Nurmalasari menggeleng, “Nilai gue 85. Memang lo remed?” tanyanya kemudian.
Aku mengangguk lemas, “Nilai gue 78,5. Nyesek gue. Kenapa sih KKM kita naik jadi 80? Coba masih 75 seperti tahun lalu pasti sekarang gue nggak remed,” keluhku kesal kepada pihak sekolah yang seenaknya menaikkan angka KKM begitu saja. Meski alasan mereka demi meningkatkan prestasi dan standar nilai sekolah, namun tetap saja membuat jengkel beberapa murid, salah satunya aku.
“Bu Lala juga pelit banget, kenapa yang nilainya 78,5 nggak diselamatin? Dikasih dispensasi gitu,” ucapku kesal.
“Dispensasi? Kayak lo ngerti saja artinya.”
Sial, umpatku dalam hati. Bibirku maju beberapa centi pertanda mulai bete. Di saat-saat seperti ini Dea malah meledekku. Mentang-mentang nggak remedial, batinku lagi.
“Sensitif deh, jangan marah dong,” ucapnya langsung tersenyum sok imut. Membuatku geli sampai ingin tertawa, tapi karena gengsi akhirnya kutahan.
“Siapa yang marah? Gue tuh lagi bete sama nilai-nilai ulangan gue, anjlok banget.” Langsung kurebahkan kepala di atas meja tempat dudukku. Dea terlihat memikirkan sesuatu.
“Selain bahasa Inggris lo remedial apalagi? Kalau mau, hari Minggu kita belajar bareng aja, bahas soal-soal ulangan yang kemarin.”
Tanpa mengubah posisi tempat duduk, aku semakin lemas menjawabnya, “Hampir semua mata pelajaran, kecuali bahasa Indonesia.”
Di luar dugaan, Dea malah tertawa, lalu agak memaksaku untuk menyetujui idenya.
***
Bel istirahat kedua berbunyi nyaring memenuhi seluruh sudut sekolah. Pada saat yang sama, pelajaran Sejarah di kelasku selesai. Anak-anak bersorak girang setelah Guru Sejarah pergi bersama pelajarannya yang membosankan. Masalahnya materi yang guru itu bahas serupa dengan materi Kewarganegaraan hari Senin kemarin, tentang sistem pemerintahan yang ada di Indonesia. Ditambah lelaki setengah baya itu menjelaskan dengan sangat monoton, hingga sebagian murid terutama yang duduk di bagian belakang lebih memilih tidur daripada mendengarkan penjelasan beliau.