Aku masih harus menunggu Dea untuk bisa pulang bareng dengannya. Saat istirahat terakhir, Dea mulai sibuk mengurus kegiatan eskul PMR. Lalu, selepas bel pulang sekolah berbunyi dia langsung bergegas ke ruang UKS, alasannya biar urusan cepat selesai. Dia bilang masih perlu menyelesaikan beberapa permasalahan, mengenai proposal dana yang hendak diajukan ke pihak sekolah untuk kegiatan eskulnya. Sebagai bendahara, Dea memegang tanggung jawab besar atas proposal tersebut.
Setahuku, dana tersebut akan dipakai untuk acara donor darah menjelang PENSI (Pentas Seni) sekolah nanti. Tapi berhubung aku bukan anak PMR, jadi aku tidak tahu masalah inti dari proposal dan acara tersebut. Dea selalu bilang ‘rahasia perusahaan’ jika aku sudah menanyakan masalah-masalah yang berhubungan dengan aib atau rahasia, entah itu mengenai eskul ataupun keluarganya. Tapi satu hal yang aku yakini sekarang, Dea dan anak-anak PMR itu akan rapat tidak dalam waktu yang sebentar!
Akhirnya kuputuskan untuk duduk di salah satu kursi kantin. Daripada menunggu lama sambil melamun nggak jelas, lebih baik makan.
Aku segera menghampiri tempat penjual nasi rames, “Bu, beli nasinya satu ya.”
Lalu, pandangan mataku kembali menyusuri kantin. Tidak terlalu ramai, karena sebagian anak memilih untuk pulang ke rumah daripada nongkrong di kantin setelah pulang sekolah. Aku melihat ke arah tempat duduk yang tadi kududuki. Ternyata sudah ada orang lain di sana. Aku menyesal, mengapa tadi tasku tidak kutaruh di sana? Setidaknya dengan begitu orang yang di sana tahu bahwa tempat itu sudah ada yang menempati.
“Ini, Neng,” kata ibu itu sembari memberikan sepiring nasi rames sesuai permintaanku. Setelah membayarnya aku bingung mau duduk di mana.
Memang bangku-bangku masih banyak yang kosong tetapi rata-rata mejanya sudah ditempati orang. Satu meja ada beberapa bangku dan yang makan hanya satu sampai tiga orang. Tapi aku nggak enak kalau harus bergabung dengan anak-anak yang tidak terlalu kukenal. Sampai akhirnya di ujung sana, dekat pintu keluar kantin, aku melihat ada pasangan cewek-cowok berdiri dari kursi mereka dan beranjak pergi.
Akhirnya, batinku lega. Aku segera menghampiri meja kosong itu sebelum ada orang lain lagi yang menempatinya.
Tapi, tunggu … Dua meja di sebelah meja itu siapa?
Cowok itu! jeritku dalam hati.
Aku gemetar dibuatnya. Tanganku mendadak dingin melihat dirinya sedang asyik makan bersama teman-temannya. Pipi chubby-nya lagi-lagi membuatku gemas. Hampir saja aku tak bisa menahan rasa senangku. Jantung ini semakin terasa berdegub, Ya Allah ... sesuatu banget hari ini. Kupikir bakalan bete nungguin Dea, tapi kayaknya nggak deh, soalnya ada cowok itu. Hm, namanya siapa sih?
Aku penasaran kepada dirinya, terutama namanya. Ini juga gara-gara Dea sempat meledekku ketika kuceritakan soal lelaki itu. Respons Dea menyebalkan. Dia benar-benar tidak percaya bahwa laki-laki tersebut mengagumkan, chubby, pintar, suaranya lembut, dan … Dea malah bilang mataku jelalatan. Menyebalkan!
“Sekarang saja lo bilang cowok ini perfect, nanti muncul cowok baru bilang lagi yang ini lebih perfect. Nanti muncul lagi cowok lain, yang ini benar-benar perfect. Wedha, Wedha, kayak gue nggak kenal lo saja.”
“Sabar … Sabar ….” ucapku sembari mengelus dada saat suara Dea terngiang-ngiang di kepala.
Hanya saja, hal aneh terjadi. Tiba-tiba rasa laparku hilang. Mendadak aku kenyang hanya karena melihat dengan wajah cowok itu. Mungkin jika aku kembali cerita sama Dea, dia pasti bilang kalau aku berlebihan, tapi mau gimana lagi? Aku memang mendadak tidak berselera makan! Rasa laparku hilang. Jantungku masih berdebar kencang. Kalau pun aku memaksakan makan secuil demi secuil nasi, tetap saja rasanya justru mual seperti sudah makan, lalu disuruh makan dua piring nasi lagi. Bener-bener mual jadinya …
Aku gaduh sendiri. Tiba-tiba tatapan mataku beradu dengan tatapan mata cowok itu. Tajam namun tetap menampakan kelembutan. Ada sensasi tersendiri terutama saat senyumnya sedikit terukir ke arahku.
Aku segera menunduk, pura-pura sibuk dengan makananku. Aku tidak tahu pasti apakah cowok itu melihat ke arahku, lalu senyumannya untukku atau hanya sekadar perasaanku saja? Terserah! Lalu, kuberanikan diri untuk melihatnya lagi sambil pura-pura menyuapi sesendok nasi ke dalam mulutku. Lelaki itu benar-benar berbeda. Dari sekian lelaki yang pernah kusukai, dia benar-benar terlihat istimewa. Wajah orientalnya terlihat begitu dewasa. Rambutnya yang hitam dan cukup tebal membuatku dengan mudah mengenalinya. Lalu, senyumannya yang … Ya Allah bagaimana caranya Engkau membuat lelaki setampan dia? Wajah, suara, bahkan otaknya begitu mengagumkan. Engkau Maha Sempurna! Allahu Akbar!, aku hanya mampu berdecak kagum dan bersyukur karena Allah telah mempertemukan lelaki itu padaku. Walaupun aku belum bisa berteman dengannya tapi rasanya aku seperti sudah dekat dengan lelaki itu.