Aku menatap papan tulis yang penuh tulisan itu tanpa minat, pikiranku telah dipenuhi hal lain yang lebih menyenangkan, daripada mendengarkan penjelasan guru TIK atau pelajaran komputer. Seseorang yang menyita perhatianku akhir-akhir ini, siapa lagi kalau bukan cowok itu? Mengenang saat bertemu dengannya adalah hal yang menyenangkan bagiku. Sampai-sampai Dea yang duduk di samping menatapku heran. Tapi wajar kalau Dea seperti itu, aku senyam-senyum sendiri saat pelajaran TIK yang membosankan berlangsung.
“Kenapa lo? Nggak frustrasi gara-gara pelajaran SB kan?” bisik Dea tersenyum jahil.
SB alias Sleeping Bences, julukan yang diberikan oleh teman-teman di kelasku untuk Pak Doni, guru TIK kami yang tukang tidur meski sedang mengajar sekalipun. Semua berawal dari beberapa waktu yang lalu, ketika beliau mengadakan praktik di laboratorium komputer. Lalu, ada murid cowok yang memainkan ponselnya seperti merekam sesuatu ke arah depan lab. Ternyata saat itu Pak Doni sedang tertidur pulas. Hanya saja anehnya dia tidur sembari duduk tegak di depan komputernya.
Tiba-tiba temanku ada yang berkelakar, “Sleeping beauty masih mending, tukang tidur tapi cantik, nah dia? Sleeping Doni?”
“Kebagusan, ‘sleeping bences’ saja,” celetuk seseorang lagi sembari menunjukkan gaya bancinya. Spontan kelasku menjadi ramai karena candaan mereka. Untungnya Pak Doni tidak sampai terbangun, bisa-bisa satu kelas akan bertambah ramai. Wajah Pak Doni yang sedang bangun tidur justru lebih menggelikan daripada momen tidurnya. Dia akan menunjukkan tampang polos yang membuat anak-anak tertawa, bahkan terkesan tidak menghormatinya.
Aku tertawa mengenang awal mula nama ‘sleeping bences’ itu terbentuk. Walau sebenarnya tidak tega menjuluki seorang guru dengan sebutan bences, tapi aku bisa apa? Sedangkan anak-anak satu kelas sudah terlanjur mencintai nama itu ketimbang nama asli Pak Doni sendiri.
“Ya nggak lah, gue cuma lagi ingat kali pertama gue ketemu sama cowok itu.”
Dea kembali heran, ia menatapku seolah tak percaya, “Jadi penasaran gue, siapa sih Prince of Library lo itu?”
“Prince of Library? Nggak sekalian saja Prince Mateen?” Aku mesem-mesem membayangkan betapa bahagianya kalau putra mahkota dari kerajaan Brunei tiba-tiba suka denganku, ah … dunia bakalan sirik. Aku cekikikan kecil.
“Dih, ngimpi!” Dea membuyarkan imajinasiku, “Lagipula Prince Mateen udah punya pasangan. Mau jadi pelakor?”
“Selama janur kuning belum melengkung, nggak apa-apa lah hahaha ….”
Dea menggelengkan kepala sembari menyunggingkan bibir.
“Eh tapi gue serius, masalahnya sudah dua minggu lho sejak pertemuan lo itu, tapi sampai sekarang lo masih kukuh banget pingin tahu siapa tuh cowok.” Dea mengelus dagu, setengah berpikir selayaknya detektif yang mencoba memecahkan sebuah kasus, “kayaknya spesial banget,” lanjutnya lagi.
“Martabak telor kali ah spesial,” jawabku sekenanya.
“Tumpengan nggak nih?”
“Maksudnya?”
“Kan jarang-jarang lo bertahan sampai dua minggu. Nggak ngobrol, nggak ketemu, bahkan nggak tahu namanya. Prestasi pertama lo tuh,” sahutnya tertawa puas.
Aku bersungut menatapnya. Dea tertawa saja melihat kegondokanku, tak peduli apakah aku benar-benar kesal atau tidak kepadanya. Tiba-tiba terdengar suara pintu kelas terketuk. Awalnya aku tak menghiraukannya. Di pikiranku paling-paling hanya seseorang yang ada keperluan dengan Pak Doni atau anak-anak rohis yang biasanya—setiap hari Jum’at—membantu pihak sekolah untuk mengumpulkan amal dari murid-murid. Sampai akhirnya Pak Doni menyuruh orang itu memasuki kelas, dengan segera kuminta Dea untuk berhenti tertawa.
“Dea, lo kenal dia nggak?” Mataku tak lepas dari cowok yang berdiri di depan kelas. Cowok yang akhir-akhir ini merampas perasaanku.
“Kak Radit?” Dea malah balik bertanya.
Aku terkesiap. “Oh, namanya Radit?”
“Temennya Kak Anwar dia mah,” lanjutnya lagi, “Kenapa? Lo suka?” Tanpa basa-basi Dea menyerang dengan kalimat yang tepat sasaran.
Seketika bibirku semringah. Dea hanya mengangguk-angguk saat kuberitahu, lelaki di depan kelas itu adalah lelaki yang dua minggu ini membuat hatiku tak karuan.
“Astaga, gue pikir lo suka sama siapa. Ternyata Kak Radit. Selama ini ke mana aja, Bu? Dia kan nempel terus sama Kak Anwar,” ejek Dea kemudian terkekeh pelan.
“Kak Anwar siapa lagi?”
Seketika Dea menjitak kepalaku, “Makanya kalau orang curhat dengerin. Ck!”