“Dea, nanti lo langsung pulang?” tanyaku menyenggol tangan Dea yang sedang mengerjakan soal Kimia di buku paket. Sedangkan aku hanya memerhatikan guru Kimia menjabarkan satu persatu jawaban yang tadi dia beritahu. Beberapa murid bisa mengerjakannya, salah satunya Dea. Sedangkan aku tidak dan kurasa bukan hanya aku yang tidak bisa, hingga guru itu sampai harus menerangkan berkali-kali, dengan contoh soal yang berbeda.
“Iyalah, besok kan ada ulangan Kimia. Gue mau belajar,” jawabnya tak menoleh sedikit pun.
“Ya justru itu, karena besok mau ulangan Kimia. Nanti lo ajarin gue sebentar ya, please,” pintaku dengan menunjukkan wajah memelas.
Dia memikirkan sesuatu, “Gue tanya seseorang dulu,” jawabnya sembari mengeluarkan ponsel dan menaruhnya di bawah meja. Ia mengetik pesan perlahan agar tidak ketahuan guru Kimia kami.
Aku tidak tahu Dea mengetik apa dan untuk siapa, tapi beberapa menit kemudian dia mengiyakan permintaanku. Saat kutanya siapa orang yang dia kirimi pesan, Dea malah tersenyum penuh rahasia sambil lanjut mengerjakan soal. Sebenarnya aku penasaran, tapi ya sudahlah yang penting nanti Dea mau mengajariku untuk ulangan besok.
Beberapa puluh menit berlalu, bel pun berbunyi. Dea langsung merapikan buku-bukunya. Semua dia masukkan ke dalam tas, kecuali buku tulis dan paket Kimia. Lalu, dia menenteng keduanya sambil mengajakku keluar kelas. Kami tidak segera turun ke lantai 1, Dea menyuruhku bersabar untuk menunggu seseorang. Ternyata Dea menunggu Anwar. Mereka berencana pulang bareng, tapi karena aku meminta Dea mengajariku, jadilah Anwar harus rela menunggu Dea beberapa menit atau mungkin beberapa jam.
“Maaf ya, Kak,” ucapku kepada Anwar.
“Yaelah, santai saja kali,” jawabnya ramah. Lalu, kami berjalan menuju lantai 1 karena peraturan sekolah, yaitu siswa-siswi dilarang berkeliaran di lantai 2 dan 3 bila waktu sekolah telah usai.
“Mau belajar di mana?” tanyaku kepada Dea yang berjalan di sebelahku.
“Di kelas X-G saja,” jawabnya.
Letak kelas X-G memang cukup strategis. Berada di lantai satu, sebelah kirinya terdapat toilet wanita, kemudian di sebelah toilet itu langsung menuju pintu keluar sekolah. Dari jendela kelas juga langsung berhubungan dengan area parkir guru, walaupun kadang-kadang dipakai oleh murid yang nggak kebagian tempat parkir di depan sekolah. Mau bagaimana lagi, tempat parkir siswa di sekolah lumayan sempit. Kalau dikira-kira hanya muat dua sampai tiga mobil terparkir di sana. Sisanya harus parkir di belakang sekolah yang halamannya lumayan lebih luas daripada parkiran depan. Bahkan kadang-kadang, jika sekolah sedang mengadakan acara pengambilan rapor, PENSI, atau undangan lain yang melibatkan seluruh murid serta orangtua, bisa-bisa mereka mesti numpang parkir di Gedung Kelurahan yang berada tepat di sebelah sekolahku. Benar-benar sempit, saking sempitnya aku sampai bisa menemukan sosok Radit di sekolah.
Aku tertawa lagi.
“Woy Radit!!” panggil Anwar setengah berteriak.
Spontan aku menoleh ke depan, mencari nama yang diteriaki Anwar. Jantungku berdebar lagi.
Radit … Radit … Radit … Kenapa lelaki itu bisa tepat sekali, datang di saat aku memikirkannya?
“Ngapain lo duduk-duduk di sini?” tanya Anwar mendekatinya. Radit memang tampak aneh, duduk di salah satu kursi dekat meja piket, walau sebenarnya tidak sendirian. Meja piket yang menuju langsung pintu gerbang sekolah terlihat sangat ramai.
“Motor gue nggak bisa dikeluarin. Gue taruhnya di tengah-tengah. Itu yang punya motor di pinggir pada belum pulang,” jawabnya sedikit ngedumel, “motor lo di mana?”
“Di parkiran guru, tadi gue telat.”
Sampai akhirnya Radit menyadari kehadiran kami, lalu menyapa dan cukup ingin tahu alasan kami tidak segera pulang.
“Besok ulangan Kimia,” jelasku, “lo mau ngajarin, Kak?” Aku mencoba bercanda agar suasana lebih cair.
Tapi Dea menyahut, meragukan Radit, “Memang bisa ya? Dia kan anak IPS.”
“Jangan salah, Adik-adik,” Anwar menepuk pundak Radit, “walau Kakak kita yang satu ini anak IPS bukan berarti dia buta sama pelajaran IPA.” Anwar membela Radit, “Radit jago sama rumus dan hitungan. Gue saja heran, kenapa ini anak ngotot minta ke IPS padahal waktu kenaikan kelas, nilai dia memenuhi standar masuk ke IPA.”
“Sok tahu lo.” Radit mendorong pelan bahu Anwar.
“Lah gue kan dikasih tahu wali kelas kita, Odong,” jawab Anwar membalas dorongan Radit, “gue saja mati-matian masuk IPA tapi akhirnya terjerumus ke IPS. Lah elo malah mati-matian ke IPS padahal rapotnya tertulis IPA.”
“Ya sudah sih, nggak usah curhat gitu,” ledek Radit memberi smirk.
“Sial!”
Kami pun tertawa melihat tingkah Radit dan Anwar yang sedikit kekanak-kanakkan.
Lalu, Radit berkata lagi, “Lagipula lebih baik kita menjadi macan di antara tikus-tikus, daripada menjadi tikus di antara macan-macan. Gue juga lebih suka Ekonomi daripada rumus Fisika.”
See? Siapa yang tidak kagum jika ada orang yang berkata bijaksana layaknya motivator? Kak Radit benar-benar membuatku terpesona dengan caranya sendiri.
“Memang enak diceramahin sama Mbah Google kw,” celetuk Anwar, “gue saja bingung, nyokapnya ngidam apaan waktu hamil nih anak. Hitungannya pinter, hafalannya juga kuat banget. Orang normal, kapasitas otaknya paling kisaran 1.000 terabyte, kalau Radit bisa sejuta terabyte kayaknya.”
“Lebay!” kata Radit dengan nada ditekan, “Raja Patah Hati diam saja deh,” balas Radit menggoda Anwar yang kemudian berusaha memiting Radit. Aku tak mengerti dengan masalah hati Anwar, mungkin Radit hendak memancing masa lalu Anwar kepadaku dan Dea atau salah satu di antara kami.
Dea beranjak melongok ke dalam kelas X-G yang masih dihuni beberapa orang. Mereka bukan pemilik kelas tapi sama seperti kami yang hendak menumpang untuk suatu keperluan. Kemudian Dea duduk di kursi kedua paling depan kelas dekat pintu masuk. Lalu, meletakkan bukunya di meja dan membukanya segera.
“Mau nanya yang mana?” Dea langsung bertanya setelah melihatku mengeluarkan buku.