Waktu tersisa lima belas menit lagi. Tapi di lembar jawaban yang kupegang, masih ada empat dari tiga nomor belum terisi. Kok bisa? Bisalah, secara satu nomor ada tiga pertanyaan, alias beranak bercucu. Sekarang kalau dihitung 3x3=9. Jadi, sebenarnya soal yang kukerjakan ini sembilan nomor. Gurunya saja ngeles tiga nomor.
Mana aku lupa caranya, lebih tepatnya aku nggak ngerti rumus mana yang harus kupakai. Gawat!
Kucoret-coret kertas yang semula putih bersih, kini kotor karena hitung-hitungan yang kutulis sembarang tempat. Tak mengenal kata rapi jika sudah mepet seperti ini.
“Oh iya lupa, masih ada soal teori. Kerjain yang ini dulu deh,” gumamku pelan, “Sebutkan faktor-faktor yang memengaruhi laju reaksi dan sebutkan alasannya?” Aku membaca perlahan. Sebagian sudah kuisi, tapi ternyata ada satu faktor yang terlupakan.
Kucoba mengingat-ingat hafalan semalam.
“Hm, konsentrasi, katalis, temperatur … apalagi? Oh, iya luas permukaan,” ujarku semringah menemukan jawabannya.
***
Aku mengembuskan napas lega karena ulangan Kimia telah berakhir. Meski akhirnya masih menyisakan dua jawaban kosong. Aku sudah tidak peduli.
Nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba Rafa nongol di depanku, “Sudah siap remedial, Wedha?” tanyanya iseng.
“Seorang Wedha nggak siap remedial? Mati saja ke laut!” jawabku asal.
“Bagus-bagus. Anak yang optimis,” katanya lagi sambil mengacungkan jempol.
“Pale lo optimis!”
Dia cengengesan, lalu pergi bergabung dengan teman yang lain. Aku melihat ke arah Rafa. Dengan seksama kuperhatikan. Rafa memang ganteng. Dia juga cukup pintar, hanya saja pemalas, dan teman-teman di sekitarnya yang membuat dia menjadi seorang badboy. Yup, Rafa masuk ke dalam genk berandalan di sekolah ini. The Brother, sebuah genk yang cukup terkenal dan ditakuti, meski—katanya—dia hanya ikut-ikutan dan tak terlalu dekat dengan anggota inti. Saat itu aku bingung, Rafa begitu takut jika aku mengetahui dia anggota genk The Brother atau bukan. Mungkin karena dia tahu kalau aku tak terlalu respect dengan cowok badboy.
Tapi anehnya, semakin tenar nama genk itu, semakin badboy orang itu, semakin buruk di mata guru-guru, justru semakin keren di mata anak-anak lain. Bahkan ada beberapa teman yang tergila-gila kepada Rafa hanya karena dia anggota The Brother. Wow! Mereka yang tahu aku mantannya Rafa sampai bertanya-tanya, kok aku bisa putus dengan Rafa? Bukankah dia secara fisik, kekayaan, bahkan ketenaran sudah oke? Dia anak yang humoris dan menyenangkan bagi sebagian orang.
Mereka pasti tidak akan menyangka bahwa yang memutuskan hubungan kami adalah kami berdua. Lucu memang, antara aku dan Rafa tak ada yang ingin melanjutkan hubungan. Sebenarnya Rafa menyenangkan tapi terkadang sifat humorisnya membuatku kesal. Rafa seperti tidak pernah berusaha untuk serius, bahkan terkesan sangat menyepelekan dan tentu saja aku tidak suka. Saat itu, ketika kami sama-sama menyadari kejenuhan satu sama lain, akhirnya kami jujur. Rafa yang mengakui dirinya sedikit playboy, merasa sejak pacaran denganku seolah-olah terikat dan tidak bisa bebas bergaul dengan wanita lain. Saat itu pula dia mengaku bahwa dia memang anggota tetap The Brother. Makanya dia berniat putus agar aku tidak terus cemburu ataupun sakit hati berkepanjangan. Sedangkan aku, dengan sifat yang cenderung serius dan meminta konsisten seseorang, sudah pasti bete dengan sifat Rafa yang super petakilan, apalagi di depan cewek-cewek.
Jadi, semenjak saat itu kami memutuskan untuk berteman saja. Tidak ada yang namanya mantan, lalu bermusuhan. Karena kami putus dengan persetujuan kedua belah pihak. Setelah dijalani, ternyata hubungan kami memang lebih menyenangkan seperti ini daripada berpacaran.
Rrtt ….
Ponselku tiba-tiba bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Dea.
<From: Dea best friend>
Cari gue ga? Hehe gue ada di perpus ya.
Aku hanya tertawa membacanya. Pesan yang menyiratkan seolah-olah penulisnya tahu bahwa aku hendak mencari dirinya. Feeling Dea masih cukup kuat ternyata, kataku dalam hati. Segera saja kukirim pesan balasan. Lalu, secepat kilat aku menuju perpustakaan yang berada di sebelah Ruang Tata Usaha.
Krekk ….
Pintu perpustakaan sedikit berderit saat aku membukanya. Beberapa orang yang ada di dalam sana—terutama mereka yang duduknya dekat dengan pintu, termasuk penjaga perpustakaan—melirik ke arahku. Aku hanya tersenyum tanpa berkata-kata. Biasanya mereka hanya ingin tahu siapa saja yang masuk ke dalam perpustakaan. Aku segera mencari Dea. Gadis itu sedang duduk di bilik kedua paling ujung, dekat rak-rak buku bagian sastra. Aku memanggilnya pelan.
“Baca apaan sih?” tanyaku sembari duduk di sampingnya.
Dea mengulum senyum sembari menunjukkan cover novel kepadaku. Setelah itu, dia kembali menenggelamkan kedua bola matanya pada deretan kata yang tidak pernah membuatnya bosan.
Hm, ngapain ya sekarang? Enaknya baca buku apa ya?, pikirku.
“Mendingan lo baca buku astronomi sana, lo kan sebentar lagi mau OSN Astronomi,” ucapnya mengusulkan. Aku yakin, niatnya pasti agar aku tidak mengganggunya baca novel.
“Oke deh.” Aku beranjak menuju rak di bagian pinggir yang menyatu dengan dinding. Rak kaca yang memuat buku-buku referensi, serta kamus-kamus tebal.