“Waktu itu dia mengikutiku, mengejekku, menertawakanku, menarik rambutku dan memanggilku Ame’−apa ya artinya? Aku tidak tahu, sampai sekarang aku masih tidak tahu. Tapi Ame’ terdengar sangat aneh, itu mungkin berarti buruk atau semacamnya. Aku tidak menyukainya! Aku marah saat dia mengatakannya−dan dia semakin menikmatinya, dia tertawa lepas. Anehnya, aku selalu memaafkannya, aku menyukai gema suaranya saat dia tertawa. Bebas.
Di samping semua itu, dia adalah teman yang baik. Dia menghargaiku, dia tertawa bersamaku, dia melindungiku−dia berharga bagiku. Dialah Zero-ku. Kenapa Zero? Karena Zero (nol) adalah angka yang berapa pun ditambahkan dengan dirinya akan tetap menjadi dirinya, Zero. Tapi, Zero merupakan awal dari segalanya. Tanpa Zero semuanya bernilai rendah.
Aku selalu memanggilnya Zero, di tahap sampai aku melupakan nama aslinya. Mungkin keterlaluan, tapi aku benar-benar lupa. Yah, sudahlah! Lagi pula, dia pindah bertahun-tahun yang lalu dan aku tidak pernah melihatnya lagi−tidak pernah berhubungan dengannya lagi. Saat ini dia hanyalah sedikit potongan dari kenangan masa kecilku yang tidak begitu berpengaruh pada hidupku dan, ingatan tentang wajahnya pun … sedikit samar.
Mungkin kami akan bertemu lagi, mungkin juga tidak. Aku tidak begitu yakin apakah dunia ini luas atau kah sempit. Apapun itu, aku berharap dia masih hidup dan bahagia.
***
Nisya menutup diarynya sambil meraba kembali goresan di halte bus−yang terbuat dari kayu−yang hampir roboh dimakan usia. Halte itu adalah tempat favoritnya dengan Zero untuk beristirahat ketika pulang sekolah, mereka selalu singgah sebelum sampai di rumahnya, yang hanya sekitar 300 meter dari sana.
Halte bus itu sudah sangat lama tidak digunakan, Nisya hanya kebetulan berada di sana menunggu ayahnya keluar dari rumah kerabatnya dengan mobil pinjamannya−mengantarnya ke kota−saat itulah dia melihat tulisannya sendiri, "Zero".
Sejak Zero pergi, dia dan keluarganya pun ikut pindah dan tinggal di kebun kelapa neneknya yang jaraknya 700 meter dari ujung desa.
"Seperti cakar ayam. Waktu itu aku masih kelas 5 SD." Pikirnya.
“Nisya!” Panggil ayahnya, mengejutkannya dari belakang.
“Ayah, jangan tiba-tiba seperti itu. Nisya sangat kaget. Kita berangkat sekarang?”
“Ya.”
Mereka berdua masuk di mobil, sementara barang-barang yang ingin Nisya bawa telah tertata rapi di belakang mobil, perlengkapan rumah tangga. Tahun ini, dia masuk SMA. Dia memilih sekolah di kota, di STM−SMKN 2 Kota Bima. Dia telah lulus, besok pagi adalah hari pertamanya masuk sekolah sebagai murid kelas satu SMA.
“Ayah.”
“Hmmm?” Angguk ayahnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya.
“Apa ayah ingat anak kecil yang tinggal di sebelah rumah kita dulu?”
“Anaknya pak Ibnu? Teman masa kecilmu?”
“Ya.”
“Kenapa dengan dia? Kau melihatnya di suatu tempat?”