Love Zero - Cinta, Omong Kosong!

Nine
Chapter #2

Ketua Osis

Karena sakit, Nisya melewatkan Masa Orentasi Siswa. Dia tidak mengenal area sekolah barunya seperti teman-teman seangkatannya, kerena itu, dia memutuskan untuk datang sepagi mungkin ke sekolah dan berkeliling.

Sayangnya, begitu tiba di sekolah, dia hanya bisa berdiri mematung di depan gerbang. Dia tidak tahu, gerbang sekolah belum terbuka di jam 6 pagi. Dia terlalu cepat, sangat cepat. Bangun paginya menjadi menjengkelkan. Belum ada seorang pun, kecuali satu anak yang berdiri tidak jauh darinya.

Anak laki-laki yang bersandar di tembok samping gerbang, dua meter darinya. Sepertinya anak laki-laki itu sedang mendengarkan musik. Ada handset yang bergelantungan di sekitar telinganya. Tidak begitu jelas, anak itu menutupi kepala hingga area mata dengan tudung jaketnya. Terlebih lagi, dia menunduk‒membuat Nisya, hanya bisa melihat mulutnya saja. Nisya hanya memperhatikannya sekilas, pikirnya, mungkin anak itu mengalami hal yang sama dengannya.

Menit berikutnya, seorang laki-laki berseragam satpam tiba di sekolah. Dia mengeluarkan kunci yang bergelantungan di sekitar lehernya dan dengan buru-buru membuka gerbang, dia tersenyum ramah pada Nisya yang dengan teliti memperhatikannya.

Maaf terlambat.” Kata satpam itu. Nisya mengangguk pelan dan masuk ke sekolah tanpa mengatakan apa pun. Anak laki-laki yang tadi pun ikut masuk, dia berjalan terburu-buru mendahului Nisya.

“Tunggu!” Panggil Nisya, anak itu berbalik. “Kau menjatuhkan sesuatu. Mungkin itu penting, untukmu.”

“Terima kasih sudah mengingatkan, tapi itu hanya kertas. Aku membuangnya.” Jawab anak laki-laki itu.

“Bukan itu maksudku, kau ... tidak boleh membuang sampah sembarangan. Aku tidak suka melihat sesuatu yang kotor, hal itu benar-benar mengganggu.”

“Heh ...? Kau murid baru?” Tanyanya dengan nada intimidasi.

“Ya!”

“Wah, kebetulan. Kalau begitu, tolong ya. Kau saja yang memungutnya dan, sekalian bersihkan semua sampah yang ada di sini. Di seluruh sekolah, maksudku. Jika sudah selesai, pergi ke ruang osis untuk melapor padaku. Mungkin, aku akan meringankan hukumanmu karena tidak ikut MOS kemarin. Aku ada di ruang osis di jam istirahat. Dah!” Katanya santai. Anak itu pergi, meninggalkan Nisya sendirian dengan ekspresi bingung dan merasa sial.

“Kenapa jadi seperti ini? Siapa pula dia, ketua osis? Ketua kedisiplinan? Ketua kebersihan? Atau ...”

“Obi. Ketua osis.” Kata pak satpam itu tiba-tiba. Sejak tadi, ternyata memperhatikan mereka.

Nisya berkeringat dingin, hari pertama masuk sekolah telah sedikit mengacau. Lalu, dia mulai memungut semua sampah di sekitarnya.

“Hah. Dia pasti tahu aku tidak ikut MOS karena tidak mengenalinya. Yang benar saja.” Gerutunya sendirian, sementara murid-murid lain mulai berdatangan, Nisya pun selesai dan langsung menuju kelas.

Dia bertemu dengan banyak orang asing. Tidak seperti dalam bayangannya, sekolah di tempat asing tidak begitu menakutkan. Nisya berpikir akan mencoba berbaur, berteman dengan yang lainnya seperti yang diinstruksikan oleh ayahnya dengan tersenyum kepada semua orang yang dilihatnya di kelas–tapi dia akan melakukannya besok. Hari ini dia belum siap.

Mereka telah menandai tempatnya masing-masing, kah?” Pikir Nisya.

Hanya ada dua kursi yang tidak terisi di dalam kelas, yang tersisa untuknya hanyalah kursi yang ada di deretan terdepan. Murid SMA memang selalu menghindari duduk di depan, hal itu mungkin akan mempengaruhi nilai ujian mereka.

“Nisya, kan?” Salah satu teman sekelasnya menghampirinya. Gadis itu lumayan cantik dan terlihat dewasa.

“Ya. Bagaimana kau tahu?” Tanya Nisya terkesan.

“Hanya ada dua orang yang tidak ikut MOS di kelas ini. Nisya Pulana dan Alfian.”

“Oh.”

“Ngomong-ngomong, aku ini ketua kelas, lho.”

“Kau? Sudah di pilih? Kapan dan kenapa kau?”

“Kami melakukan pemilihan di akhir MOS. Wali kelas kita sangat keren lho, dia itu setengah banci.”

Nisya terdiam, merasa ada yang sedikit tidak normal dengan pembicaraan mereka.

“Apanya yang keren...” Gumam Nisya kemudian.

“Hahaha, jangan syok begitu. Dia perempuan yang sedikit tomboy.”

“Aku tidak mengerti.”

Lihat selengkapnya