“Itu posisi tangan kamu salah. Gimana, sih? Padahal aku udah sering ngajarin kamu waktu di rumah aku,” kata Arga. Dia mendekati Erlina yang duduk di kursi sambil mencoba belajar bermain gitar.
“Namanya juga lagi belajar. Lo itu, ya. Masa gue disamain sama lo yang udah jago banget. Kalau ngajarin orang itu yang sabar. Dasar, Bunglon!” Erlina memberengut.
Arga mendekati cewek itu, lalu berdiri di belakangnya. Dia membenarkan posisi tangan kanan Erlina, menggeser tepat di lekuk badan gitar. “Ini baru bener. Kalau tangan kamu posisinya kayak gini, jadi lebih gampang kalau gerak,” kata Arga. “Dan satu lagi.”
Kemudian, dia menuntun tangan cewek itu ke setang gitar. Jari-jari mungil Erlina diletakkan di beberapa senar. Jari telunjuk menekan senar nomor lima dari bawah di kolom kedua, jari tengah menekan senar nomor enam di kolom ketiga, dan jari manis menekan senar nomor satu di kolom ketiga.
“Nah, itu baru namanya chord G. Udah ngerti, kan?”
Pada saat Erlina menoleh ke kanan, sorot mereka bertemu satu sama lain. Arga membelalak, tetapi tidak dengan cewek itu, seolah-olah menerima setiap getaran yang datang. Arga menelan ludah kasar. Dia membeku dalam makna berbeda. Bahkan suhu ruangan klub musik itu kalah dingin ketika dia menatap wajah Erlina. Dia memandangi bibir merekah tampak glowing itu dengan lamat. Hingga tak lama kemudian, Erlina menyeringai.
“Hayo! Lo pasti lagi ngayalin yang aneh-aneh sama gue, ya?! Ngaku, deh, lo. Hayo! Dasar, Bunglon!” kata Erlina yang seketika itu membuat Arga tersentak kaget. Sontak remaja itu menjauh.
“S-siapa juga yang ngayal aneh-aneh?! Ngawur kamu, ah! Aku c-cuma lagi mikirin tugas …. Yah—tugas matematika tadi. Makanya jadi langsung diem,” kata Arga, buru-buru.