Lovertone

Marion D'rossi
Chapter #2

Kenangan yang Hilang

Arga tercenung di bangku ruang tunggu peserta festival, dengan garis-garis wajah yang menegang cemas. Sesekali pandangan tertumbuk pada peserta yang baru saja selesai dikomentari para juri. Sekilas pandangan menyorot ke lampu-lampu terang yang menghiasi panggung dengan sound system besar. Musik semarak, gitar digaungkan, instrumental mengalun berirama.

Apa aku bisa menang di festival kali ini?

Orang-orang biasa menyebutnya sebagai Arga Si Dewa Gitar karena kepiawaiannya dalam memainkan alat musik dengan enam senar itu. Telah puluhan kompetisi musik dan festival ia menangkan dalam berbagai kategori musik. Mulai dari jazz, blues, pop, bahkan rock dan metal. Tak hanya para laki-laki yang mengenal sosoknya sebagai pemain gitar solo andal di atas panggung, tetapi juga para perempuan banyak yang mengidolakan.

Karena prestasi gemilang itu, Arga dikenal di seluruh pelosok Kota Bandung. Para pemain gitar senior kerap kali kagum dengan kemampuannya. Apalagi ketika dia telah bersungguh-sungguh mengikuti sebuah kompetisi, kehadirannya di panggung memberikan warna tersendiri yang sangat khas. Tak satu kali pun para juri memintanya berhenti ketika musik digaungkan. Sebab, merekalah yang paling tahu mana nada sumbang dan mana yang elok serta memiliki ritme beraturan dibalut teknik-teknik memukau.

Argadana Prawirya lahir di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Dan tentu saja, dia bukan warga asli Bandung. Namun, pekerjaan ayahnya sebagai pengusaha material bangunan yang telah memiliki banyak sekali cabang dan berpusat di Bandung mengharuskannya tinggal di kota itu sejak duduk di bangku kelas 1 SMP. Arga tidak punya pilihan lain selain tunduk dan menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Sehingga itu dia memutuskan ikut bersama sang ayah dan ibu tinggal di Bandung.

Kini Arga menginjak kelas 1 SMA. Dan di usianya yang ke-15 tahun itu dia berhasil memenangkan 20 kompetisi, baik yang diadakan dalam skala besar maupun kecil. Dan di malam ini, tepatnya malam Minggu pertama sejak hari ulang tahunnya yang bertepatan dengan tahun baru, dia ingin mempersembahkan sebuah hadiah yang lebih besar kepada ibunya, Santika.

Festival Musik Cinta adalah sebuah kompetisi musik yang diadakan komunitas musik terbesar di Bandung dan telah berafiliasi dengan puluhan produser musik dan beberapa industri besar sebagai sponsor. Itu adalah festival musik dalam skala paling besar sejauh pengalaman Arga. Ambisinya melonjak tinggi ketika mengetahui festival musik itu diadakan dalam waktu dekat. Hingga akhirnya dia kembali mengasah kemampuan yang terbilang sudah sangat tinggi serta menciptakan salah satu instrumental terbaik yang menurutnya bisa menghendakinya naik ke atas podium bernomor satu.

Tentu saja kali ini jauh berbeda dengan puluhan festival yang pernah dia ikuti sebelumnya. Karena Santika tidak pernah hadir setiap kali Arga mengikuti kompetisi. Di Festival Musik Cinta tersebut, dia ingin menghadirkan sosok paling berjasa dalam hidupnya itu. Namun, sekitar 15 menit sebelum naik ke atas panggung, Santika belum juga kelihatan batang hidungnya. Arga mulai resah. Berkali-kali tangannya merogoh saku celana jin ketat yang dia kenakan, mengambil ponsel dan mengirimi ibunya pesan singkat.

“Mama di mana? Kenapa lama banget?! Cepetan, Ma. Udah mau giliran Arga, nih.”

Pesan itu dikirim dan tercetak tanda dua centang biru beberapa detik kemudian. Kendati demikian, tidak ada balasan dari Santika. Dan Arga berusaha berpikir positif bahwa ibunya sedang dalam perjalanan menuju lapangan luas tempat festival itu diadakan.

Sambil duduk di sebuah bangku stainless, Arga menatap gitar kesayangan yang akan dia gunakan memukau para juri dan penonton beberapa saat lagi. Untuk menghilangkan kebosanan dalam menunggu, dia mengeluarkan gitar itu dari guitar case dan mulai pemanasan, sekadar membuat jari-jari lemas dan tidak kaku.

Beberapa menit berlalu, satu peserta kompetisi menjauh dari panggung karena gilirannya baru saja berakhir. Arga makin khawatir bahwa dirinya tidak bisa memukau para juri. Meskipun kita sama-sama tahu bahwa dia telah banyak memenangkan kompetisi, tetapi dia sadar kompetisi kali ini penilaiannya akan jauh lebih ketat. Dan Arga mengerti akan hal itu.

Tiba-tiba saja ponsel Arga berdering panjang. Dia melihat ke layar, dan yang menelepon adalah ibunya. Arga mengangkat telepon.

“Halo, Arga. Maaf, Mama nggak bisa balas pesan kamu, Nak. Mama sedang di jalan karena tadi terjebak macet. Sekarang Mama secepatnya ke sana. Semoga Mama masih sempat, ya,” kata Santika di ujung telepon.

“Hmm. Arga tunggu, Ma.”

Telepon langsung dimatikan secara sepihak. Arga menelan ludah karena keresahan itu makin bersarang di benak.

Bahwa dia menghadirkan sosok ibunya bukan tanpa tujuan. Arga percaya bahwa kehadiran ibunya bisa membuat sedikit tenang. Lagi pula, dia juga akan membawakan instrumental yang dia ciptakan sendiri dan itu hanya untuk ibunya. Arga ingin menyatakan perasaan yang lama tidak tersampaikan pada sosok paling dicintainya itu.

Dalam keseharian, Santika selalu sibuk bekerja sebagai seorang akuntan profesional di sebuah perusahaan besar. Dia jarang punya waktu untuk Arga. Paginya dia bekerja, begitu pun dengan Arga yang pergi bersekolah. Santika selalu pulang tengah malam dan tidak pernah kesampaian bertemu dengan putranya itu atau bahkan sekadar mengobrol. Karena lelah seharian bekerja, dia juga harus beristirahat.

Itulah alasan mengapa Arga sangat ngotot ingin ibunya datang ke festival itu. Dari jauh-jauh hari, dia sudah berpesan melalui chat WhatsApp agar Santika tidak boleh beralasan untuk tidak bisa hadir ke festival. Dan di malam inilah Santika berhasil mendapat izin beberapa jam kepada atasan yang sebetulnya sangat membutuhkan kehadirannya. Pekerjaan masih menumpuk karena keadaan perusahaan sedang gonjang-ganjing. Santika adalah sosok yang berperan penting bagi perusahaan itu untuk selamat menghadapi detik-detik menegangkan di saat era digital seperti ini.

Dan karena itulah, Santika punya gagasan cemerlang untuk menyelamatkan perusahaan itu. Atasannya ingin dia bekerja secara maksimal, bahkan memintanya untuk berkorban beberapa waktu. Karena jika perusahaan telah mampu melewati masa-masa krisis itu, keuntungannya akan jauh lebih besar.

Sekali lagi, Arga mendengkus dengan air muka harap-harap cemas. Dia menoleh ke pintu masuk menuju panggung. Tersisa satu kontestan lagi sebelum gilirannya.

Lihat selengkapnya