Arga duduk termenung di bangku ruang tunggu peserta Festival Musik Cinta. Jemarinya saling meremas, sementara garis-garis wajahnya menegang, mencerminkan kecemasan yang berusaha ia sembunyikan. Pandangannya sesekali tertumbuk pada peserta yang baru saja keluar dari panggung setelah mendapat komentar dari para juri. Beberapa tampak lega, sementara yang lain menunduk kecewa.
Matanya kemudian bergerak ke arah panggung, di mana cahaya lampu sorot bersinar terang, menyinari sound system besar yang menggetarkan ruangan. Musik semarak menggema—gitar berdentang, melodi instrumental mengalun harmonis, membangun atmosfer yang menggetarkan dada.
Bisakah aku menang kali ini?
Orang-orang mengenalnya sebagai Arga Si Dewa Gitar—julukan yang ia dapatkan karena kepiawaiannya dalam menaklukkan alat musik berdawai enam itu. Ia telah menjuarai puluhan kompetisi musik di berbagai kategori, dari jazz, blues, pop, hingga rock dan metal. Bukan hanya kalangan musisi yang mengenal bakatnya, tetapi juga banyak perempuan yang diam-diam mengaguminya.
Kehebatannya telah membuat namanya tersiar di seluruh Kota Bandung. Para gitaris senior tak jarang dibuat kagum oleh kemampuannya yang nyaris tanpa cela. Setiap kali ia naik ke panggung dengan kesungguhan penuh, ia membawa sesuatu yang khas—gaya bermain yang sulit ditiru dan teknik yang memukau. Tak sekali pun juri memintanya berhenti saat musiknya menggema. Mereka tahu betul bagaimana membedakan nada yang sumbang dengan melodi yang indah dan beraturan.
Namun, di balik sosoknya yang dielu-elukan itu, Arga bukanlah putra asli Bandung. Nama lengkapnya, Argadana Prawirya, lahir di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Namun, pekerjaan ayahnya sebagai pengusaha material bangunan yang memiliki banyak cabang, dengan kantor pusat di Bandung, mengharuskannya pindah ke kota itu sejak duduk di bangku kelas satu SMP. Ia tidak punya pilihan selain mengikuti orang tuanya, mengubur kerinduannya pada kampung halaman, dan menjalani kehidupan barunya di kota yang dingin ini.
Kini, di usia 15 tahun, Arga telah mengoleksi 20 gelar juara dari berbagai kompetisi musik, baik berskala kecil maupun besar. Namun, Festival Musik Cinta adalah panggung terbesar yang pernah ia hadapi. Kompetisi ini diselenggarakan oleh komunitas musik terbesar di Bandung dan berafiliasi dengan puluhan produser serta beberapa industri besar sebagai sponsor.
Ambisinya melonjak tinggi begitu mendengar festival ini akan segera digelar. Sejak saat itu, ia kembali mengasah kemampuannya—meski banyak yang sudah menganggapnya sebagai seorang maestro muda. Ia menciptakan instrumental yang menurutnya adalah karya terbaik yang pernah ia buat.
Dan malam ini, di malam Minggu pertama sejak ulang tahunnya yang bertepatan dengan tahun baru, Arga bertekad mempersembahkan sesuatu yang lebih besar. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ibunya, Santika. Hadiah kemenangan yang ingin ia serahkan dengan bangga, sebagai bukti bahwa kerja keras dan bakatnya tak pernah sia-sia.
Festival kali ini terasa jauh berbeda dibandingkan puluhan kompetisi yang pernah Arga ikuti sebelumnya. Bukan karena persaingan yang lebih ketat atau panggung yang lebih megah, melainkan karena satu alasan yang lebih personal—kehadiran ibunya.
Santika, ibunya, tak pernah hadir di setiap kompetisi yang ia menangkan. Selalu ada alasan yang menghalangi, entah pekerjaan atau urusan rumah tangga yang mendesak. Tapi malam ini, Arga ingin menghadirkan sosok paling berjasa dalam hidupnya di antara sorot lampu panggung dan gemuruh tepuk tangan penonton. Ia ingin ibunya melihat sendiri bagaimana jemarinya menari di atas senar, bagaimana setiap nada yang ia petik adalah ungkapan cinta yang selama ini tak pernah terucap dengan kata-kata.
Namun, sekitar lima belas menit sebelum ia naik ke panggung, sosok yang paling ia tunggu tak juga muncul. Keresahan mulai menyusup ke dadanya. Berulang kali tangannya merogoh saku celana jins ketat yang ia kenakan, mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat.
"Mama di mana? Kenapa lama banget?! Cepetan, Ma. Udah mau giliran Arga, nih."
Pesan terkirim. Dua centang biru muncul beberapa detik kemudian. Namun, tidak ada balasan.
Arga mencoba berpikir positif. Mungkin Mama sedang di perjalanan. Mungkin sebentar lagi sampai. Tapi seiring waktu berjalan, kegelisahan kian menguasai pikirannya.
Ia menghela napas, lalu membuka guitar case di sampingnya. Jari-jarinya dengan lincah mengambil gitar kesayangan, lalu mulai memetik senar, mencoba mengusir kegugupan yang semakin menumpuk di dadanya. Bukan latihan serius, hanya pemanasan kecil untuk melemaskan jemari. Tapi tetap saja, hatinya tidak tenang.
Seorang peserta baru saja turun dari panggung dengan wajah penuh harap. Arga menyadari, sebentar lagi namanya akan dipanggil. Ia menggigit bibir bawahnya, merasa ada yang kurang. Ia bisa saja tampil tanpa ibunya di antara penonton, tapi entah kenapa kali ini terasa berbeda.
Tiba-tiba, ponselnya berdering panjang. Arga buru-buru menatap layar—nama yang ia nantikan akhirnya muncul.
“Halo, Arga.” Suara ibunya terdengar dari seberang. “Maaf, mama nggak bisa balas pesan kamu tadi. Mama terjebak macet, tapi sekarang sudah dalam perjalanan. Semoga mama masih sempat sampai sebelum kamu tampil, ya.”
Arga menghela napas panjang. “Hmm. Arga tunggu, Ma.”
Sebelum ia sempat berkata lebih banyak, telepon terputus. Ia menelan ludah, matanya kembali menatap panggung yang sebentar lagi akan menjadi miliknya. Ia tahu, bukan tanpa alasan ia begitu menginginkan kehadiran ibunya malam ini. Bukan sekadar untuk menenangkan hati atau menguatkan mental. Bukan hanya untuk membuktikan bahwa ia pantas berada di panggung sebesar ini. Namun, karena malam ini, ia akan membawakan instrumental yang ia ciptakan sendiri. Sebuah karya yang lahir dari perasaan yang selama ini terpendam. Dan itu—hanya untuk ibunya.
Santika adalah seorang akuntan profesional di sebuah perusahaan besar, dan kesibukannya nyaris tak mengenal batas. Sejak pagi ia tenggelam dalam angka dan laporan keuangan, sementara Arga sibuk dengan sekolahnya. Hari demi hari berlalu tanpa banyak interaksi di antara mereka. Santika selalu pulang larut malam, terlalu lelah bahkan sekadar untuk menyapa putranya. Percakapan mereka lebih sering terjadi lewat pesan singkat daripada tatap muka.
Itulah sebabnya Arga begitu ngotot ingin ibunya hadir di festival ini.
Sejak berminggu-minggu lalu, ia sudah berkali-kali mengingatkan melalui WhatsApp, menekankan bahwa kali ini tidak ada alasan untuk absen. Ini bukan sekadar festival biasa—ini adalah momen yang ingin ia bagi dengan ibunya, kesempatan langka di mana ia bisa mempersembahkan sesuatu yang lahir dari hatinya.
Malam ini, Santika akhirnya berhasil mendapatkan izin beberapa jam dari kantornya. Padahal, situasi perusahaan sedang tidak stabil. Laporan keuangan dalam kondisi kritis, dan para petinggi menaruh harapan besar pada kepiawaian Santika untuk menyelamatkan mereka dari krisis. Bosnya bahkan meminta kesediaannya bekerja lebih keras, lebih lama, dengan janji bahwa jika perusahaan berhasil melewati masa sulit ini, keuntungan besar menanti. Namun, malam ini berbeda. Santika memilih pergi. Meninggalkan sejenak angka-angka yang selama ini mengikatnya, demi putranya yang mungkin diam-diam telah lama menunggu.
Sementara itu, di ruang tunggu festival, Arga kembali mendengkus gelisah. Wajahnya penuh kecemasan. Ia menoleh ke arah pintu masuk, berharap menemukan sosok yang ia nanti-nantikan. Tapi tak ada siapa pun.
Tersisa satu peserta lagi sebelum gilirannya.
Arga mengepalkan tangan. “Aduh, sebentar lagi giliranku. Mama belum juga datang. Ke mana, sih?! Sial!” gerutunya, tangannya refleks membentur bangku stainless yang didudukinya.
Matanya kembali jatuh pada gitar Fender putih di pangkuannya—satu-satunya benda yang selalu setia menemani. Jemarinya menyentuh bodinya yang halus, dan seketika pikirannya melayang ke masa-masa bahagia yang terasa seperti kehidupan lain.