Tanpa pernah Arga bayangkan, ternyata musik tidak lantas memperbaiki hubungan dengan ibu dan ayahnya. Setelah Festival Musik Cinta berakhir dan Arga dinobatkan sebagai pemenang juara satu, Santika dan Bastian hanya bersikap biasa-biasa saja. Remaja itu bahkan dengan sengaja membawa piala besar dan medali yang berhasil dia menangkan, lalu menaruhnya pada meja di ruang tamu, tetapi sama sekali tak menggerakkan hati mereka.
Arga paling-paling hanya diberikan ucapan selamat kodian yang secara otomatis diucapkan manusia normal. Benar-benar tidak ada yang istimewa. Ibunya berangkat ke kantor seperti biasa. Ayahnya pun demikian. Dan ketika Arga keluar dari kamar menuju meja makan, hanya Bi Darmi yang ia lihat tengah sibuk menyapu ruangan.
“Mas Arga. Nyonya dan Tuan udah berangkat pagi-pagi sekali. Kata Nyonya, Mas harus sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Itu sarapannya di meja udah bibi siapkan,” kata Bi Darmi dengan seulas senyuman ramah.
Arga hanya mengangguk-angguk sambil menggigit bibir bawah. Dia kemudian duduk dan mulai menyantap hidangan di atas meja. Ada berbagai hidangan lezat, tetapi yang dia santap hanya roti yang dibalur selai rasa nanas.
“Bi, Arga berangkat!”
Arga beranjak dari duduk, lalu berjalan menuju pintu. Sebelum dia benar-benar keluar, Bi Darmi mengingat sesuatu. Dia kemudian berlari ke kamar Arga dan mengambil gitar. Sebagaimana yang biasa dilihatnya, remaja itu selalu membawa gitar ke sekolah. Dia beranggapan Arga lupa.
Sekembalinya Bi Darmi dari kamar Arga dengan membawa gitar, dia berucap, “Ini, Mas. Mas lupa bawa gitarnya.”
Arga hanya bisa tersenyum getir melihat Bi Darmi jauh lebih perhatian daripada orang tuanya sendiri. Itu tidak bisa dielak dan membuatnya sangat sedih. Namun, sebisa mungkin dia tersenyum kepada Bi Darmi. “Nggak, Bi. Arga sengaja nggak bawa gitar.”
“Loh? Kok, tumben? Biasanya Mas Arga selalu bawa. Sekali aja nggak pernah lupa bawa gitarnya,” kata Bi Darmi dengan mata membelalak.
“Nggak apa-apa, Bi. Cuma lagi lelah aja. Soalnya berat. He he.” Arga tercengir. “Ya, udah, Bi. Arga berangkat, ya.”
Bi Darmi tercenung menyaksikan punggung remaja itu sampai keluar dari gerbang rumah.
“Aneh sekali Mas Arga,” katanya, lalu berjalan masuk menaruh kembali gitar pada tempat dia menemukan.
-II-
“Yo! Argadana Prawirya!” ujar remaja itu sambil mempercepat langkah kaki mengejar Arga yang baru saja memasuki gerbang sekolah.
Arga yang merasa mengenal suara itu menoleh ke kanan. Sebuah tangan merangkulnya. Dia adalah Gustiawan, teman sekelasnya di kelas 1-B. Orang yang lebih peduli dengan penampilan dan punya banyak topik untuk dibicarakan. Dia andal dalam merayu cewek, sehingga itu tak heran dia sudah puluhan kali mendapat gamparan karena mempermainkan cinta.
Gustiawan menyebut dirinya Pujangga Cinta, yang sedang mencari cinta sejati. Padahal, cewek mana pun sering kali jadi bahan permainannya. Apalagi saat dia jenuh dan merasa bosan. Dia akan lebih gencar merayu cewek-cewek di tiap-tiap kelas. Ibarat menjaring ikan, mana yang tersangkut di jaring cintanya, maka itulah yang siap dipacari.
Remaja dengan gaya rambut poni terbelah itu sangat puitis. Karena itulah sebabnya dia dapat menggombali setiap cewek yang dia temui. Selain pelajaran bahasa Indonesia, tidak ada lagi mata pelajaran yang dia suka. Dan dia kerap kali mendapatkan nilai rendah di beberapa mata pelajaran lainnya. Jangan sekali-sekali ajak dia menghitung, apalagi mempelajari rumus-rumus matematika, dia bisa kebingungan setengah mati dan pikiran bisa rusak karena overheat.
“Wih, muka lo udah kayak nggak ada niat hidup aja. Kenapa lo, Ga? Lagi mens lo?! Muka muram gitu,” celetuk Gusti sambil menaik-turunkan kedua alis dengan seulas senyuman lebar.
“Nggak apa-apa. Biasa aja,” kata Arga, dingin.
Gusti sudah biasa mendapatkan balasan dingin dari Arga dan itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun, dia memahami perasaan temannya itu. Lagi pula, Arga beberapa kali pernah bercerita mengenai betapa berantakan hubungan keluarganya. Dia jadi tersadarkan oleh itu karena selama ini hidupnya terbilang sangat enak dan membuaikan. Selain itu, dia jadi tahu bahwa ada hidup orang lain yang tidak menyenangkan. Tak semua orang beruntung mendapatkan keluarga dan kehidupan yang bahagia bak negeri dongeng. Bagaimanapun juga, masalah seperti yang dialami Arga bisa saja dia alami.
“Kalau ada apa-apa cerita aja sama gue. Lagian, tumben-tumbennya lo nggak bawa gitar ke sekolah. Biasanya lo nggak pernah lupa sama gitar lo—” kata Gusti yang kemudian tercekat karena melihat seorang cewek berjalan ke arah yang berlawanan. “Mampus gue. Ga, lo duluan, ya. Nanti gue nyusul ke kelas!”
Gusti buru-buru lari, menjauhi tatapan tajam cewek berambut sebahu dengan pita merah itu. Tampaknya dia adalah Seril, salah satu cewek yang sudah mengetahui kebusukan si Pujangga Cinta.
“Mau ke mana lo, Gusti?! Nggak akan gue biarin lo lolos!” pekik Seril. Langkahnya secepat kilat. Dan memang itu karena dia seorang pelari maraton yang telah beberapa kali membanggakan sekolah. Gusti pasti tidak akan punya kesempatan kabur darinya, kecuali menggunakan kemampuan bersembunyi yang ulung.
Arga berhenti, menyaksikan keseruan aksi kejar-kejaran Gusti dan Seril. Garis bibirnya yang bergerak naik seolah-olah memberikan makna bahwa dia ingin menikmati hidup yang benar-benar hidup seperti temannya itu.
Remaja itu mendengkus kasar. Dia kembali berjalan dan tiba di koridor deretan kelas 1. Orang-orang yang melihat kelesuan wajahnya pasti berpikir kalau kehidupan Arga sangat suram. Di sekolah tersebut, dia sudah melewati satu semester. Dan sikapnya yang tidak terlalu peduli sekitar sudah menjadi rahasia umum. Sebagaimana biasanya, dia bahkan berjalan dengan kepala menunduk.
Segerombolan cewek bahkan sempat membicarakan tentangnya, tetapi senyap saat berpapasan. Salah satu dari cewek itu membalik badan. Matanya membelalak.
“Ada apa, Er?” tanya salah satu teman si cewek.
“Dia itu … Argadana Prawirya, kan?” tanya cewek bernama Erlina itu sambil menuding Arga yang masih berjalan pelan di koridor.
“Iya, dia emang Arga. Emangnya kenapa? Naksir lo sama dia? Jangan, deh, Er. Dia itu orangnya aneh, tahu,” kata si cewek bandana putih.
“Idih! Siapa juga yang naksir. Gue ‘kan cuma nanya doang. Soalnya dia orangnya terkenal banget, kan?” kata Erlina. “Tapi kenapa lo malah ngatain dia aneh, Lia?”
Si cewek bernama Lia menarik sudut bibir ke kanan, lalu menjawab, “Karena emang aneh. Walaupun dia terkenal, dia itu nggak pernah mau diajak temenan. Udah, ah. Ayo, kita ke kelas. Lagian, buat apa peduli sama dia?”