“Cowok aneh!” jerit cewek berambut lurus sepunggung yang ternyata adalah Erlina, siswi dari kelas 1-D yang beberapa kali sudah mulai mengamati pergerakan Arga. Secara otomatis, dia menjauhi remaja itu dan menatap dengan penuh kekesalan.
Arga masih fokus dengan rasa sakit di bagian tulang pantat. Sebab sewaktu terjatuh barusan, tubuhnya refleks memilih bagian mana yang tidak terlalu sensitif saat membentur lantai yang keras. Kini, saat dia mendongak, dia melihat Erlina dengan mata membelalak. Sikapnya berubah kikuk.
“M-m-maaf, maaf. A-aku nggak sengaja. K-kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Arga sambil beranjak bangkit dan memeriksa si cewek dengan saksama, mulai dari atas hingga turun ke paha. Kesannya bukan malah baik, tapi sebaliknya. Erlina justru makin menganggap Arga cowok mesum karena kekikukannya itu.
Pada saat remaja itu menyadari sikap yang tidak sopan, lebih tepatnya menatap ke paha si cewek, dia lantas berdiri dengan gelagat khawatir. “M-maaf, maaf. Aku … aku ….”
Tiba-tiba Arga tidak melanjutkan kalimatnya. Dia mengalihkan pandangan ke kanan karena makin dia menatap Erlina, makin dia harap-harap cemas. Padahal, Erlina sedikit pun tidak berniat menamparnya lagi. Lagi pula, cewek itu barusan hanya refleks karena sangat terkejut ada cowok aneh yang mengendap-endap di depan toilet bak orang mesum yang kesengsem.
Sedetik kemudian, Arga kembali menatap Erlina karena pada saat itu si cewek tertawa renyah. Kedua alis tebalnya saling bertautan.
“Ya ampun. Aneh banget. Ha ha.”
Tawa Erlina yang membahana memaksa Arga tersenyum getir. Di saat yang bersamaan, dia menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali. “Maaf, ya. Aku sama sekali nggak sengaja. Aku nggak berniat ngintip atau apa pun,” kata Arga, menjelaskan.
Erlina tampaknya telah puas menertawakan kekonyolan yang dialaminya tersebut. “Ternyata bener kamu itu orangnya aneh.”
“Aneh?” ulang Arga, mengernyit. “Emangnya kamu kenal sama aku? Kita kayaknya … nggak sekelas, kan?” imbuhnya.
Tanpa merespons pertanyaan remaja berkacamata itu, Erlina mengacungkan tangan. “Gue Erlina, kelas 1-D.”
Tanpa Arga sadari, Gusti yang sebetulnya sudah keluar dari toilet sejak mendengar jeritan Erlina beberapa saat lalu, tersenyum lebar. Dia seolah lega melihat Arga ternyata bisa bicara dengan lawan jenis. Yah, maklum saja. Lagi pula, selama satu semester sekolah dan bersama Arga setiap hari, dia tidak pernah melihat temannya itu berinteraksi dengan cewek. Dia sempat curiga kalau Arga itu tidak suka cewek. Sebab setiap kali curhat padanya, Arga selalu menunjukkan ekspresi tidak tertarik.
Mungkin sekarang saat yang tepat. Apalagi Gusti lebih tahu mengenai suasana hati Arga yang sedang tidak baik-baik saja. Tanpa ingin mengganggu momen sang teman, Gusti kembali ke kelas melalui arah sebaliknya. Dan tentu saja tanpa disadari Arga.
“Ada apa? Lo nggak mau?” tanya Erlina karena Arga terlalu lama menyambut tangannya. Seri-seri wajahnya pun meredup. “Ternyata bener, ya, kalau lo orangnya aneh. Dan nggak mau temenan.”
“Hah?! Ng-nggak, kok. Gue … aku—” kata Arga, yang kemudian terpotong oleh tawa Erlina yang memiliki ritme teratur.
Dasar pemusik. Dia selalu memperhatikan nada dan suara, sekecil apa pun itu. Bahkan tawa si cewek dianggapnya punya irama yang konsisten.
“Jadi, sebenernya aku apa gue?” Erlina mengangkat sebelah alis tipis lancipnya. “Kenapa garuk-garuk lagi? Lo kikuk banget, sih? Gue pikir lo orangnya cool, gitu.”
Arga bersumpah demi apa pun di dalam hati, dia tidak pernah segugup itu. Itu mengalahkan kegugupan saat dia naik ke panggung dalam mengikuti kompetisi musik. Sepedas apa pun komentar juri, berhadapan dengan cewek cantik dari kelas 1-D jauh lebih membuat hatinya berdebar kencang.
“Aku Argadana Prawirya, biasa dipanggil Arga. Aku dari kelas 1-B. Hobiku bermusik dan makanan kesukaanku …,” kata Arga, lugas. Dia lupa sedang bicara dengan cewek berwajah tirus yang bibirnya tampak glowing karena memakai lip tint. Berkenalan saja seperti membayangkan perkenalan dengan teman-teman sekelas pada hari pertama masuk sekolah.
Sambil meredakan tawa yang ke sekian kalinya tidak dapat ditahan, Erlina berkata, “Astaga. Lo udah kayak perkenalan di grup WhatsApp aja. Santai aja, lagi.”
Arga mengangguk. “Maaf.”
“Lagian, gue itu udah tahu nama lo.”
Mata Arga membelalak, dan langsung menatap Erlina yang seketika itu memberikan senyuman lebar. Dugaannya benar. Logikanya: jika si cewek tidak mengenalnya, maka dia tidak akan menyenandungkan instrumental ‘Kenangan yang Hilang’.
“J-jadi—” Bel sekolah memotong ucapan Arga.
“Yah, udah bel. Kalau gitu, gue masuk kelas dulu, ya,” kata Erlina sambil berjalan menjauh. “Oh, ya. Aku suka sama ‘Kenangan yang Hilang’.”
Arga mengembuskan napas panjang. Seperginya Erlina, dia merekahkan senyuman, bersyukur masih ada orang yang mengingat instrumental ciptaannya.
-II-
Kini dalam keadaan apa pun, sesepi dan seramai apa pun, saraf otak Arga hanya membentuk bayangan Erlina, cewek dari kelas 1-D yang beberapa hari lalu dia kenal. Dia seperti menemukan hidup baru, lembaran baru, nada baru, ritme baru, serta aliran musik baru. Tepatnya, seperti dia baru belajar menggenjreng senar gitar. Ketika dia mendapatkan gitar baru, hadiah dari ibunya. Setiap baru bangun tidur, atau baru tiba di rumah setelah pulang sekolah, dia selalu ingin memainkan.
Harapan yang sempat hancur, terbentuk kembali ibarat puzzle yang berserakan di atas lantai. Dengan kesabaran dan ketekunan, bahkan dengan antusias yang tinggi, dia terus berusaha menciptakan suatu gambar yang utuh.
Hari itu di kelas saat mata pelajaran matematika sedang berlangsung, Arga tak biasanya mengacuhkan Bu Nuni yang mengoceh di depan papan tulis. Yah, walaupun sebenarnya pada saat-saat tertentu dia juga akan menunduk dengan gelagat sendu dan mengabaikan hal apa pun yang ada di sekitar. Tak jauh berbeda dari kebiasaan itu, tapi kali ini wajah Arga dihiasi senyuman merekah.