Semenjak Arga salah bicara pada Erlina di kantin beberapa hari lalu, dia jadi makin kikuk. Bahkan terhadap hal-hal kecil di sekitar. Contoh, saat salah seorang teman sekelas membagikan hasil ulangan minggu lalu, dia mengambil secarik kertas penuh coretan tinta merah itu dengan tangan bergetar-getar. Seolah-olah mengambil benda paling berbahaya di dunia. Terlebih lagi, dia tidak sanggup menatap lawan bicaranya.
“M-makasih,” ucapnya pada cewek berambut kepang dua itu.
Karena kekikukan tersebut, gosip jelek tentang dirinya menyebar makin luas, dari mulut ke mulut. Jika sebelumnya beberapa di antara para siswa membicarakan keburukannya dengan cara sembunyi-sembunyi, kali ini lebih dari itu. Hal tersebut dia buktikan sendiri ketika mencoba berjalan sendiri ke kantin. Baik cewek maupun cowok, memandangnya tajam, seolah melihat makhluk paling rendah yang pernah ada di dunia.
Bisik-bisik samar itu dia dengar makin jelas, menciptakan kebisingan yang membuatnya makin cemas bila keluar dari kelas. Kelas adalah zona paling aman, meskipun bisik-bisik tentang kehidupan suramnya masih terus menghantui. Namun dibandingkan saat dia keluar dari zona paling aman itu, dia memilih diam membeku di tempat duduk. Rasa lapar kerap kali terjadi, tetapi keluar adalah keputusan paling bodoh yang pernah dia pikirkan. Setidak-tidaknya bagi dia sendiri.
Hingga hari paling melelahkan tiba. Hari Jumat saat jam pelajaran olahraga, satu-satunya pelajaran yang paling Arga benci. Dia selalu melemparkan tanya pada entah siapa. Mengapa olahraga identik harus di luar kelas? Mengapa guru tidak memberikan teori saja? Mengapa olahraga harus voli, sepak bola, bulu tangkis, atau bahkan ping-pong, yang notabene membutuhkan pasangan? Semua pertanyaan itu adalah bentuk protes terhadap jagat sekolah dan seisinya yang selalu bicara buruk tentangnya. Meskipun tak semuanya begitu.
“Tolol! Kenapa ngelamun?! Lo bisa main voli nggak, sih?!”
Jiwa Arga kembali ke tubuh sehabis mendapatkan sumpah serapah dari Riki, pasangannya dalam olahraga voli yang beberapa menit lalu ditentukan Pak Suherman selaku guru olahraga.
“M-maaf. Bakal aku ambil bolanya,” lirih Arga, yang kemudian berlari mengejar bola menggelinding hingga koridor deretan kelas 2. Sialnya, dia terlalu kikuk dalam segala hal, kecuali musik sehingga fokus hilang pada setiap hal di sekitar.
Anggaplah dia berambisi mengejar bola voli itu, tetapi dia makin mengabaikan hal-hal di sekeliling. Sebuah bola voli melesat dari kanan, menghantam kepalanya amat keras karena baru saja seorang cowok melakukan smash bertenaga besar. Arga terdorong ke kiri. Terhuyung. Otaknya lambat berpikir, bahkan kaki hilang keseimbangan. Kepala mendongak dengan bola mata yang berada di ujung atas kelopak. Dia tergeletak di lapangan yang bersinar-sinar memantulkan terik matahari yang amat sangat menyengat.
“Arga!” Gusti berlari secepat kilat membantu Arga yang tengah hilang kesadaran.
-II-
“Aduh, pusing banget,” gerutu Arga setelah puluhan menit tak sadarkan diri. Dia kebingungan saat membuka mata, dirinya tidak lagi ada di lapangan voli. Dipandangi lampu-lampu neon dalam kondisi menyala, terpasang secara berderet setiap dua meter di plafon ruangan.
“Udah sadar lo? Syukurlah lo sadar juga,” kata Gusti sambil melepas napas penuh kelegaan. “Gue pikir lo bakalan minggat dari dunia ini tadi. Hampir aja salah satu temen gue mati konyol, gara-gara bola voli,” sambungnya.
“Aku di mana?” tanya Arga, mengabaikan kalimat-kalimat Gusti yang biasanya tidak penting, tapi tetap dikatakan.
“Yaelah. Pakai nanya di mana, lagi. Udah kayak sinetron aja, sih. Lo lagi di UKS. Harusnya lo langsung tahu saat buka mata, Ga. Pakai pura-pura lupa ingatan segala.”
Arga beranjak duduk dengan sisa tenaga yang masih dia miliki. Kepalanya masih merasa pusing. Selain terkena bola voli, dia juga langsung jatuh pingsan, kepalanya terbentur lagi dengan cukup keras.
“Oh, gitu,” katanya, manggut-manggut.
“Eh, lo mau ke mana?” Gusti menahan Arga yang beranjak dari ranjang.
“Aku udah nggak apa-apa. Cuma pusing. Lagian, aku juga butuh makan. Sekarang jam berapa?”
Gusti melirik ke jam tangan sport-nya. “Jam 10. Udah jam istirahat.”
“Kalau gitu, pas. Aku mau ke kantin, mau makan.”
“Eh, serius?!” Gusti terkejut. “Bukannya beberapa hari ini lo nggak berani keluar kelas? Kemarin pun gue ajakin, lo uring-uringan dan milih tetep diem kayak patung di bangku lo.”
“Sekarang beda,” kata Arga, seolah mendapatkan kekuatan dan keyakinan entah dari mana. “Bodo amat aku sama omongan orang. Anggap aja nada sumbang.”
“Wih, keren!” seru Gusti, turut senang. “Tapi nada sumbang ‘kan ngeganggu banget.”
“Ya, justru itu. Lebih baik pura-pura nggak denger, kan? Harus sabar ngadepinnya.”
Lebih dari senang, Gusti sampai geleng-geleng kelapa atas ucapan Arga yang bisa dibilang cukup berkelas. “Lo udah mirip kayak gue sekarang. Keren lo. Ya, udah. Ayo, ke kantin. Masa bodoh, lah, sama omongan orang.”
Beberapa menit melawan ketakutan mendengar gosip buruk tentang dirinya dari orang lain, Arga tiba di kantin. Dia masih hidup dan sehat. Lebih sehat daripada terbentur smash bola voli. Gusti yang bersamanya menyeringai, seolah bangga beranggapan paling berjasa dalam hidup remaja itu.
“Bener, kan? Lo masih hidup, nggak mati, dan nggak sakit.” Gusti tertawa terbahak-bahak, lalu menjatuhkan pantat di sebuah kursi. Dia memilih meja paling tengah, sengaja agar semua orang di kantin itu bisa memperhatikannya bersama Arga.
Sebelum Arga duduk, Erlina tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya. Dia terkesiap.
“E-Erlina?” tegur Arga, bergantian menatap cewek itu dan Gusti.