Lovertone

Marion D'rossi
Chapter #6

Cewek Nyebelin di Malam Hari

Di ruangan dengan cat dinding berwarna putih, lampu-lampu neon yang bersinar terang, meja rendah penuh figur karakter animasi, serta rak yang menampung ratusan buku. Kesunyian bagaikan pisau yang membunuh dalam gelap. Tak terlihat. Dan perasaan seolah layar gadget yang menyala putih, redup menjadi hitam pekat, putih lagi, redup lagi, dan begitulah seterusnya seperti manifestasi perasaan Arga yang tak kunjung dapat ia pahami sendiri maknanya.

“Aduh! Dari tadi diem mulu! Arga!” ujar Gusti, menepuk bahu Arga yang tengah bersandar di depan dipan sambil menunduk. “Ngomong, dong! Lo sebenarnya kenapa? Lo ada masalah sama si Erlina?” imbuhnya. Kali ini Gusti beranjak, menjuntai kedua kakinya ke bawah. Bergerak-gerak, dengan mata yang secara otomatis menatap ke layar TV berukuran 32 inci menempel di dinding, menampilkan acara komedi usang yang tak lagi lucu.

Arga membeku. Mulut terkatup bungkam. Ia seperti lupa caranya membebaskan diri dari kebekuan yang menahan seluruh anggota tubuh.

“Ditanya malah diem.” Gusti mendengkus. Tak habis pikir dirinya mengapa Arga makin hari menjadi orang yang sulit buka suara. Padahal sewaktu mereka pertama kali bertemu, dia selalu bercerita masalah yang dia hadapi. Namun yang jelas, Gusti sudah tahu sedikit gambaran mengenai permasalahan sahabatnya tersebut.

“Aku nggak mau main gitar lagi, Gus.” Akhirnya suara yang dinanti keluar dari rongga tenggorokan setelah melewati berbagai rintangan pelik dengan batin. “Bukan karena aku udah janji nggak mau main gitar lagi, tapi aku nggak bisa. Aku dikutuk. Aku nggak bisa denger nadaku. Bahkan kalau aku bisa denger, suaranya sumbang dan nggak enak. Itu nyiksa aku sendiri, Gus.”

Tampaknya kali ini Gusti berusaha mengerti, ingin bahwa Arga bercerita tanpa paksaan darinya. Mungkin itu jauh lebih baik daripada terus-menerus memaksakan kehendak.

“Aku udah pernah nyoba, tapi aku sama sekali nggak tahu senar gitar mana yang harus aku petik. Aku lupa, Gus. Aku lupa sama nadaku sendiri.”

Setelah itu, keheningan kembali terjadi, dan itu adalah tanda bahwa Arga mengizinkan Gusti berkomentar mengenai penuturannya barusan. Gusti dengan sikap yang serius, menepuk pundak Arga, lalu berkata, “Gue emang nggak ngerti apa-apa soal musik, Ga. Tapi lo mau nggak dengar pendapat gue soal musik lo?”

Arga mengangguk pelan menyetujui. Gusti turun dari dipan, duduk di sebelah Arga, dengan mata yang tak sedetik pun berpindah dari TV.

“Waktu itu gue pernah bilang ke lo, biar hidup lo nggak terlalu suram, carilah cinta. Cinta itu bukan cuma sama cewek, Ga. Lo bisa nyari cinta sama segala hal di dunia ini. Lo bisa ngelakuin sesuatu yang lo cinta. Bahkan dengan gitar, kalau lo bisa mencintai diri lo sendiri, lakuin, Ga.

“Nggak ada alasan buat lo ninggalin dunia musik, yang udah lo cinta. Dan soal musik lo, gue suka semua musik lo. Musik-musik mengandung cinta. Gue bisa ngerasain semua perasaan lo di setiap usaha dan petikan lo.”

Arga membelalak menatap Gusti. Seolah-olah mendapatkan motivasi baru, tingkat fokusnya sangat tinggi dan ketenangan didapat secara intensional. Setiap gagasan yang sebelumnya bersembunyi kembali terbit. Remaja itu sadar akan kepecundangannya dalam urusan musik dan juga cinta. Namun Gusti berbeda darinya. Dia lebih bisa melihat sesuatu dari sisi yang berbeda.

“Musik dan cinta?”

“Ya. Lo udah ngelakuin yang terbaik semampu lo selama ini. Kalau lo bisa ngelakuin itu dari awal, kenapa nggak berusaha buat ngulang semua dari awal? Gue yakin lo bisa, Ga. Karena lo udah terbukti bisa. Lo belajar gitar berapa lama?” Gusti memberikan Arga senyuman simpul.

“Aku berlatih terus-menerus selama enam bulan sejak kelas 2 SMP di hari ulang tahunku.”

“Dan lo sadar nggak kalau lo sebenarnya bisa ngelakuin sesuatu yang luar biasa kayak gitu? Maksud gue, orang lain belum tentu bisa nguasai alat musik dalam waktu singkat kayak lo.”

Arga mengangguk setuju.

“Dulu gue pernah nyoba belajar gitar. Cuma sehari aja gue udah nyerah duluan. Jari-jari gue sakit semua. Lagian, gue juga susah ngerti orangnya. Gue nggak paham sama nada dan telinga gue nggak cukup peka buat itu semua,” jelas Gusti sambil menyengir.

“Kamu yakin aku bisa?” Arga berusaha mencari kekuatan dari setiap kata-kata Gusti. Sebab hanya itu yang bisa dia harapkan. Hanya Gusti yang bisa dia percaya dan tak ada yang lain. Meskipun kadang-kadang Gusti suka nyebelin, tapi Arga tetap bersyukur bisa mengenalnya, apalagi sampai bisa berteman dekat.

“Lo pasti bisa. Lo harus buat Erlina terpukau sama lo. Jangan lari dari kenyataan. Walaupun kenyataannya lo nggak bisa main gitar lagi sekarang, tapi lo bisa kalau mau berusaha keras. Buktiin ke semua orang. Lo nggak cupu, Ga. Lo itu keren.”

Arga tersenyum simpul dengan kekuatan baru yang dia dapatkan dari Gusti. Sebulir air mata bertengger di sudut manik, dia segera membuka kacamata dan menghapusnya.

Thanks. Aku bakalan berusaha dari sekarang. Aku udah nggak peduli kalau mama sama papaku nggak ngasih apresiasi ke aku. Tapi aku yakin orang lain bakalan bisa lebih ngasih apresiasi.”

Kemantapan hati Arga seolah lahir kembali. Dan Gusti senang bisa berkontribusi dalam meningkatkan kepercayaan diri remaja itu. Mereka saling memberikan senyuman kemudian.

“Ahem! Jangan lepasin Erlina. Dia itu kayaknya udah jatuh cinta sama lo!” tegas Gusti yang seketika itu membuat wajah Arga merah, dan kekikukannya kembali muncul.

“B-bercanda kamu! Aku mana bisa kalau yang itu!”

“Bisa!” Gusti berdiri. Dia menuding Arga sambil menatapnya tajam. “Lo bisa! Harus bisa! Wajib bisa! Misi lo sekarang naklukkin Erlina! Bikin dia bertekuk lutut sama lo!” Dia menyeringai.

Mendengar tantangan Gusti, Arga meneguk ludah kasar.

 

-II-

 

“Kalau kamu begini terus, aku akan ceraikan kamu, Santika!”

Suara bernada tinggi itu seketika membuat tangan Arga berhenti pada saat akan meraih kenop pintu. Baru saja dia mendapatkan motivasi dari Gusti untuk berjuang lebih keras, tapi ibarat cermin yang pecah seketika oleh bantingan keras tak tanggung-tanggung. Tiap-tiap keping bagian dari cermin berserakan. Bagaimanapun kuatnya keinginan untuk menyatukan setiap kepingan itu, pada akhirnya akan tetap ada bagian yang hilang. Seperti itulah Arga yang sekarang.

Tak lama dia membeku, dia berbalik badan, meninggalkan kebisingan menyedihkan itu. Padahal baru saja dia rindu rumah, berencana mengganti pakaian, makan, lalu membuka kembali gitar yang telah lama tersimpan di lemari penyimpanan barang bekas.

Lihat selengkapnya