Hari-hari berlalu, setiap jam istirahat atau bahkan pada saat kelas tengah kosong karena guru beralasan sibuk rapat, Arga benar-benar dihantui Erlina. Ke mana pun kaki melangkah selama masih ada di kawasan sekolah, cewek itu mengekori, menatap dengan seringai dan berbicara hal-hal tak penting baginya. Namun kenyataan bagi Erlina, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat penting. Dia ingin terus mengingatkan Arga ke masa-masa gemilang beberapa bulan yang lalu, ke berbagai kompetisi yang telah dia menangkan.
Sehingga dengan begitu, remaja tersebut bisa terpacu untuk kembali ke dunia musik. Erlina tak peduli dengan beberapa ocehan ngawur teman-temannya tentang Arga. Baginya, dunia yang dia tinggali adalah miliknya. Jadi, tak ada alasan orang lain bisa ikut campur. Mereka berhak menyampaikan pendapat, melarang untuk dekat dengan remaja itu, tetapi hak Erlina juga untuk tidak tunduk pada mereka.
“Bunglon! Gue bawa banyak buku musik buat lo!” ujar Erlina sambil tergopoh-gopoh mengejar Arga yang baru saja keluar dari kelas. Kedua lengannya memeluk beberapa buku yang masing-masing sampul identik dengan simbol not. “Lo harus baca semua buku ini biar makin pinter!”
“Aku nggak perlu baca apa pun,” kata Arga sambil tetap berjalan. Dia hanya melirik ke arah Erlina yang berada di sebelah kanannya sekilas.
“Bandel banget, sih! Lo harus bangkit!” Erlina berkeras. “Kalau nggak, masa depan sekolah ini di dunia musik bisa tamat!”
“Aku bukan satu-satunya pemusik di sekolah ini. Masih banyak yang lain.”
“Emang bukan, tapi lo satu-satunya yang hebat!”
Arga tidak menanggapi. Mungkin sudah kehabisan kata-kata karena pada kenyataannya, Erlina punya lebih banyak stok kata-kata melebihi Arga.
Baru saja akan berbelok ke lorong menuju kantin, Erlina menyambar lengan Arga dan menariknya. Remaja itu terpaksa memutar badan. Mereka saling berhadapan satu sama lain, begitu pun dengan bola mata mereka yang saling beradu pandang.
“Ayo, ambil bukunya. Jangan males, ah. Lo pasti bisa!” kata Erlina, menyodorkan semua buku yang telah dikumpulkannya. Entah dapat dari mana.
Arga terpaksa mengambil buku-buku itu.
“Nah, gitu, dong. Bagus! Lo emang bunglon.”
Setelah berkata begitu, Erlina lenyap dari pandangan Arga. Remaja itu hanya bisa mendengkus kasar sambil menatap buku-buku tebal yang kini ada di tangannya.
Sementara itu, ketiga teman sekelas Erlina diam-diam mengamati dari kejauhan. Lia dan Linda seperti biasa terlihat tak suka.
“Ih! Sebel, deh! Kenapa si Er masih aja baik sama itu cowok cupu! Padahal dia udah dikasarin!” cetus Lia. Tangannya bersidekap, mata mengerling malas, garis bibir melengkung ke atas.
“Nggak ngerti gue sama Erlina,” timpal Linda.
“Biarin aja, lagi. Orang Erlina seneng, kok. Kalian nggak bisa apa lihat si Er seneng? Kan jarang-jarang dia seneng kayak gitu,” kata Neha yang seketika itu membeku ditatap kedua sahabatnya.
Arga mulai bosan dihantui Erlina. Tapi sebaliknya, Erlina justru makin berbunga-bunga setiap kali usai menghantui Arga dan dia mengetahui remaja itu sangat terganggu karena tingkahnya. Hingga di satu hari lainnya, Erlina kembali datang menemui Arga. Kali ini di kelasnya, karena Arga tidak berencana pergi ke kantin atau ke mana pun selama jam istirahat.
“He! Lo pikir bisa lolos dari gue, hah?! Nggak bakalan bisa! Gue bisa masuk ke kelas lo ini sesuka hati gue,” kata Erlina dengan nada riang. Namun suaranya yang tiba-tiba tinggi itu mengejutkan beberapa orang di kelas itu.
Ada salah satu cewek di sana yang mengenal sosok Erlina. Namanya Tia, salah satu teman dekat Lia. Dari si Tia inilah Lia selalu mendapatkan informasi tentang Arga. Semuanya adalah informasi kehidupan aneh remaja itu. Dia menghampiri Erlina dan mencoba membisikkan sesuatu.
“Jangan deket-deket dia. Orangnya aneh. Nggak mau temenan,” kata Tia.
Erlina membelalak.
“Gue temennya Lia, Er. Gue udah sering diceritain sama Lia tentang lo.”
Mulut Erlina membentuk huruf o. “Nggak apa-apa. Gue bakalan tetep ngedeketin Arga. Karena dia bukan cowok aneh! Dia itu unik! Namanya juga bunglon!”
Tia tersenyum getir mendengar kata-kata Erlina. Dia pun berjalan keluar dari kelas. Sementara di kelas itu masih tersisa sekitar sepuluh orang, termasuk Arga. Sebelas jika Erlina juga dihitung.
“Siapa pun yang nganggep Arga itu aneh, berarti orang itu yang aneh!”
Arga tak habis pikir mengenai kegilaan yang dilakukan si cewek. Dia menutupi wajah dengan telapak tangan, seolah malu karena kegilaan Erlina.
“Bunglon!” Erlina menggebrak meja, sehingga Arga tersentak kaget. “Gue punya kabar bagus buat lo!”
Dahi Arga mengernyit. “Aku nggak mau denger kabar apa pun. Kabar bagus bagi kamu itu buruk bagi aku.”
Erlina menyeret sebuah bangku, lalu duduk di samping meja Arga. Dengan sengaja dia menggeser bangku agar lebih dekat dengannya. Dia menatap mata remaja itu lamat-lamat. Wajahnya bergerak jauh lebih dekat lagi.
Sampai di titik itu, Arga tak berkutik. Sikapnya seperti ikan mati yang tak bisa melawan arus. Tak ada perlawanan karena dia memasrahkan diri apa pun yang terjadi setelah itu. Keheningan berlangsung. Bola mata remaja itu makin mengecil seiring tempo detak jantung makin meningkat. Raganya kosong. Segala pikiran sirna, tersisa satu ketika bola mata hitamnya memproyeksikan wajah berkulit putih dengan pipi tembam di depan memberikan senyuman elok. Dan itu adalah senjata terakhir paling ampuh mengubah kepribadian seorang Arga.
Tiba-tiba Erlina merenggut kacamata remaja itu dan menyembunyikannya di belakang punggung. Nyawa Arga kembali ke tubuh, tersentak. Saat dia berniat protes, Erlina mendahului.
“Ternyata lo ganteng juga, ya,” kata Erlina. Dia mengacak rambut Arga, lalu menyambung, “Tuh ‘kan lo cakep!”
“J-jangan seenaknya, dong, kamu! Balikin kacamataku!” jerit Arga, kesal.
“He he. Sorry, sorry. Oke, kalau lo mau kacamata lo balik, lo harus dengerin apa yang mau gue bilang ke lo.”
Arga mendengkus. Ingin protes, tapi tak sanggup. Percuma juga karena makin protes, Erlina akan makin jahil.
“Ya, udah. Kamu mau bilang apa? Cepetan,” kata Arga.
“Sebentar dulu, dong.” Erlina memperhatikan kacamata yang telah dia rampas dari Arga. Sambil mengenakannya, dia menambahkan, “Ini kayaknya bukan kacamata minus, ya? Wah, iya, bener. Ternyata bukan kacamata minus!”
Arga memalingkan muka.
“Jadi, selama ini lo ngebohongin semua orang?! Kenapa lo pakai kacamata cupu kayak gini?! Padahal bukan kacamata minus.”