Lovertone

Marion D'rossi
Chapter #8

Mengelabui Erlina

“Sebenernya rumah lo di mana, sih? Kok dari tadi kita belum nyampe juga? Apa jangan-jangan lo lupa rumah lo, lagi?” Erlina mengernyit. Bola mata mengitari sekeliling kompleks yang tengah dilewati.

Arga tercenung sambil terus berjalan. Bahkan pertanyaan Erlina tak sempat dia jawab sebab otak sibuk mencari solusi agar cewek itu tidak ke rumahnya. Tak dimungkiri, sejak lahir Arga tidak pernah membawa teman ke rumah, apalagi seorang cewek. Dia tak pandai berurusan dengan hal-hal seperti berteman. Padahal sewaktu masih SD, dia punya cukup banyak teman. Hanya saja, dia menganggap mereka bukan sebagai teman baik. Dan karena itulah dia tak pernah membawa satu pun teman ke rumah.

“He! Lo ngelamun, ya?!” Erlina mengejutkan Arga sampai-sampai kekikukannya kembali menguasai. “Hayo! Gue nanya, loh, tadi. Masa lo nggak jawab, sih?”

“I-iya … sabar dulu kenapa, sih? Sebentar lagi juga kita nyampe, kok,” kata Arga, dengan leher berkeringat. Tidak, itu bukan keringat karena lelah berjalan, tetapi justru karena gugup.

Bagaimana apabila Erlina benar-benar mengetahui niat buruknya? Bagaimana jika Erlina sudah tahu rumahnya dan dia ketahuan berbohong? Apa yang akan terjadi bila cewek itu marah? Semua pertanyaan itu dipikirkan Arga secara matang. Meski tak bisa menemukan jawaban pasti, setidaknya kemungkinan yang paling dekat.

“Ini kompleks ‘kan luas banget. Tapi masa dari tadi kita muter-muter terus, sih? Gue masih inget, loh, jalan ini. Kita udah lewat sini dua kali berturut-turut,” papar Erlina.

Arga menggaruk leher, berusaha menelan ludah karena ucapan Erlina. Ternyata memang benar cewek itu bisa dengan mudah mengenali setiap jalan yang dilewati. Apabila Erlina sudah mengetahui jalan ke rumah Arga, dia pasti akan terus-menerus datang untuk mengganggunya. Arga tidak boleh membiarkan itu terjadi. Dia harus punya alasan kuat agar cewek itu tidak jadi ingin ke rumahnya.

“Aduh! Gue udah capek banget, nih. Masa belum nyampe juga, sih?! Gue juga udah haus. Lo yang bener, dong. Sebenernya mau ngajak gue ke mana, sih?” Mendadak Erlina membelalak. “Jangan-jangan lo mau ngapa-ngapain gue, ya?!” imbuhnya sambil menjauh dengan kedua tangan menutupi tubuh bagian atas.

Arga memberengut. “Apaan, sih?” katanya sambil menghentikan langkah. “Emangnya aku penjahat? Enak aja.”

Erlina menurunkan tangan, dan seperti biasa tertawa karena berhasil membuat remaja itu kesal lagi. “Oke, sorry. Tapi beneran, deh. Ini kita mau ke mana, sih, sebenernya? Lo lupa rumah lo?”

“Nggak juga,” kata Arga. “Kalau kamu nggak sanggup jalan lagi, kamu pulang aja sana. Rumahku masih jauh juga.”

Tatapan Erlina penuh selidik. “Masih jauh? Terus kenapa lo ke sekolah jalan kaki? Kita udah jalan sejam, loh.”

“Yah—aku seneng aja jalan karena sehat.”

“Nggak percaya gue. Orang lesu kayak lo seneng jalan? Apa kata dunia?!” bantah cewek itu.

“Ya, udah. Makanya kamu pulang aja. Latihannya besok aja di sekolah.”

“Nggak!” tolak Erlina. Garis bibirnya mengangkat, cemberut. Melihat itu, Arga sangat gemas. “Oh, gue tahu, nih. Lo pasti mau ngelabui gue, ya? Jangan-jangan lo sengaja, ya, biar gue nyerah ke rumah lo dan akhirnya gue pulang, deh.”

“Nggak!” tepis Arga, cepat.

Walau demikian, Erlina senyum-senyum sendiri. Arga orangnya tidak bisa berbohong, setidaknya seperti itu bagi si cewek. Sebab sangat jelas remaja itu tidak bisa menyembunyikan raut wajah ketika berbohong.

“Kalau mau bohong itu yang totalitas, dong! Gue mana bisa dibohingin,” kata Erlina, berbangga diri. “Tapi ngomong-ngomong gue haus banget. Di sekitar sini ada toko nggak, ya? Gue mau beli minuman.”

Arga membisu. Dia mengatur air muka agar niat buruknya tidak ketahuan. Padahal Erlina sudah tahu, tapi dia berkeras melanjutkan rencana.

“He! Gue nanya sama lo, ada toko di kompleks ini, nggak?”

“Iya, ada. Ayo, jalannya lewat sini.”

Mereka kembali berjalan di bawah terik matahari yang makin rendah. Waktu itu sudah pukul 16.30 sore. Namun rasa haus di tenggorokan tidak bisa diredakan hanya oleh angin yang mengembus sepoi.

Di kompleks itu terdapat banyak pohon di tepi-tepi jalan, juga di trotoar pembatas untuk kedua lajur. Selain sebagai penghias, juga tentu agar angin bisa sedikit menyejukkan seluruh kawasan. Itu sisi positifnya. Namun di bulan-bulan tertentu seperti Januari pada saat musim angin dan hujan, pohon-pohon itu sering kali memakan korban berupa tiang listrik karena rubuh. Untungnya tak pernah ada korban jiwa.

Tak lama berjalan, mereka tiba di sebuah toko serba ada yang dikelola oleh orang dari kompleks tersebut. Erlina masuk, sedangkan Arga menunggu di luar. Namun Erlina berjalan mundur kemudian.

“Lo mau minum apa?” tanyanya.

“Nggak usah. Aku nggak haus.”

Erlina mengangkat kedua bahu, lalu masuk. Dia mengambil sebotol minuman jeruk bervitamin C. Setelah membayar ke bapak berkumis di kasir, dia keluar sambil menenggak minuman.

“Ayo, jalan lagi,” kata Arga.

Sepanjang perjalanan, dia menatap Erlina yang sesekali menenggak minuman. Di matanya, cairan berwarna kuning itu sangat segar. Dan seketika itu tenggorokan Arga merasa kering. Erlina menyadari remaja itu diam-diam menatapnya.

“Ada apa? Tadi katanya nggak mau. Makanya jangan sok nolak tawaran orang. Nih, kalau lo mau.” Erlina menawarkan, dengan tangan terulur. Sebotol minuman jeruk segar ada di depan Arga. Lumayan, masih tersisa seperempat botol. “Kalau mau lo habisin aja.”

Arga lantas menyengir, lalu dengan malu-malu dia mengambil minuman itu. Namun tiba-tiba saat membuka tutup botol, dia teringat sesuatu. Matanya lamat menatap ujung botol. Bekas bibir Erlina, dan itu membuatnya gugup setengah mati. Apalagi dilema, jangan ditanya. Bahkan dia sempat bertengkar dulu dengan dirinya sendiri di dalam hati.

Udah lo minum aja! Itu namanya rezeki!

He! Jangan! Dosa, tahu. Kamu nggak boleh ngelakuin itu. Bukan muhrim.

Dosa dari mana? Itu ‘kan nggak beneran juga, kali. Minum aja! Anggap itu bonus. Lagian, cuma bekas jigong mana ada dosa.

Lihat selengkapnya