Arga dan Erlina sontak kembali ke posisi masing-masing, sementara Bi Darmi meletakkan jus jeruk dan dua stoples camilan di atas meja kecil. Keheningan menggumpal di antara mereka. Namun setelah Bi Darmi selesai dengan tugasnya, dia memecah keheningan.
“Silakan, Neng. Diminum jus jeruknya, ya. Mas Arga juga silakan,” kata Bi Darmi seraya beranjak.
“Makasih, Bi.” Erlina tersenyum simpul.
Erlina, seperti bukan dirinya saja. Namun dia sendiri sadar atas apa yang telah dilakukan. Remaja mana pun jika diperlakukan sama seperti Arga pasti akan sulit mengucapkan sepatah pun kata. Meski demikian, dia juga tidak bisa menyalahkan diri atas semua itu karena begitulah dirinya yang selalu bersikap tanpa pikir panjang.
Dan sekarang dia merasa seolah berkewajiban memecah kesunyian, mengembalikan keadaan seperti semula bagaimana layaknya. Jangan khawatir, sebab Erlina hanya perlu menjadi diri yang biasanya.
“Bunglon!” ujar cewek itu yang seketika mengagetkan Arga. “Sorry, ya! He he. Gue cuma nggak mau lo itu mikir kalau lo nggak bisa balikin kemampuan lo.”
“Jadi, maksud kamu?” tanya Arga. Dia meletakkan gitar di atas sound system.
“Maksud gue, lo masih bunglon. Tapi mungkin sedang lupa cara ngeluarin kemampuan lo.” Erlina menyambar jus di meja. “Udah, lo tenang aja pokoknya. Jangan terlalu dipikirin. Lagian lo cuma mau tampil di kafe doang, kok. Nggak ada juri segala di sana.” Disedotnya jus hingga tersisa setengah gelas.
“Tapi semua pelanggan di sana itu juri,” kata Arga.
“Tapi nggak semua pelanggan itu ngerti soal musik.”
“Seenggaknya aku ‘kan harus berusaha tampil bagus.”
“Jangan maksain diri lo!”
“Yang maksa aku ‘kan kamu!”
Erlina tertawa membahana. Tangannya kembali bergerak mengambil stoples camilan. Dia merogohnya dan memasukkan satu ke mulut.
“Ya, maaf. Namanya juga usaha. Tapi tetep aja lo nggak boleh maksain diri dulu. Kalau gue yang maksa baru boleh,” kata Erlina sambil sibuk mengunyah.
“Hah?! Kenapa aku harus ngikutin semua kata-kata kamu? Aku yang maksa diri aku sendiri, kok, nggak boleh? Sedangkan kamu boleh? Emangnya kamu siapa?!” Nada Arga makin tinggi. Sebab dia tak suka diatur-atur, apalagi oleh orang yang belum terlalu lama dia kenal.
“Serius mau tahu kenapa?” Erlina menyengir.
“Kenapa kamu cengar-cengir? Kamu lagi ngerencanain sesuatu lagi, ya?” tukas Arga. Matanya menyipit, dan tajam.
“Jawabannya itu simpel, kok. Kenapa lo harus nurut? Itu karena lo cowok. Dan lo harus inget, cewek itu selalu bener.”
Mendengar jawaban itu, Arga mendengkus kasar. Saking kesalnya, dia merebut stoples dari tangan Erlina.
“Yah! Kenapa lo rebut, sih? Gue ‘kan belum selesai makannya! Kembaliin! Kembaliin, nggak?!” protes Erlina, lalu berusaha merebut stoples itu lagi.
“Kamu udah makan terlalu banyak. Cewek nggak boleh makan banyak. Kamu bisa gendut.” Arga menjauhkan stoples. Namun Erlina tersenyum merekah, lalu membiarkan Arga menguasai stoples itu. Dia mengambil stoples camilan yang satunya lagi di atas meja.
“Kasihan banget, ya. Lo nggak bisa bikin gue kesel,” kata Erlina.
“Terserah! Pulang sana!”
Dan keseruan di antara mereka berlangsung hingga matahari terbenam. Meski belum sepenuhnya berhasil dengan rencana yang telah disusun, Erlina masih punya semangat tinggi. Dia telah berjanji dalam hati untuk menjebloskan idolanya itu kembali ke dunia musik. Tanpa sadar setiap usaha dan pertemuan yang terjadi membuat mereka makin dekat hingga salah satu di antara mereka merasa kesepian, atau bahkan kehilangan ketika sehari saja tak saling bertemu.
-II-
Di satu hari, Arga tercenung di bangku kelas. Sorotnya kosong, menatap jendela yang terbuka. Angin yang mengembus dari sela-sela jendela sesekali mengibas rambut. Namun lamunannya terpecah ketika beberapa teman sekelasnya masuk sambil tertawa membahana. Pikiran remaja itu menerawang, terbayang sesosok cewek bertubuh ramping, berambut panjang, berlesung pipit, bertingkah barbar, serta bersenyum hangat.
Kenyataannya, sudah tiga hari Erlina tidak menemuinya. Arga merasa ada sesuatu yang ganjil. Setelah cewek itu berkata dengan penuh semangat akan menariknya kembali ke dunia musik, tak mungkin menyerah begitu saja. Pada hari kedua Erlina tak menemuinya, Arga pernah mencoba ke kelas 1-D, diam-diam mengamati ke dalam kelas itu. Dia tidak menemukannya. Arga berjalan ke kantin, dia juga tidak menemukannya. Dia nyaris putus asa. Padahal dua hari lagi akan tiba saatnya dia tampil di kafe tempat cewek itu bekerja.
Sampai di titik itu, dia sadar tidak tahu apa pun mengenai Erlina. Selama ini Erlina yang jauh lebih mengetahuinya. Namun, dia sama sekali tidak mengenal cewek itu. Banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab karena keterbatasan pengetahuan. Kenapa Erlina bekerja? Kehidupan seperti apa yang dijalaninya dalam hari-hari? Dan kenapa dia tidak pula muncul ketika sedang ditunggui?
Ah, sial! Kenapa pikiranku jadi kacau kayak gini sekarang?! Bisa-bisanya aku mikirin dia.
Arga mengacak rambut, kesal. Sekilas kemudian, dia berdiri dengan satu niat yang makin kuat. Dan niat itu menggerakkan kedua kakinya, berjalan keluar kelas, menyusuri lorong deretan kelas 1. Hingga dia tiba di depan kelas 1-D. Dadanya berdebar kencang. Dia tahu banyak orang di sekolah tak menyukainya. Dia juga tahu teman-teman Erlina tidak menyukainya, apalagi setelah melihat sikap kasarnya waktu itu.
“Permisi …,” kata Arga dengan kepala melongok ke dalam kelas. Semua yang berada di kelas itu menyorot ke arahnya. Kekikukannya mulai menguasai.