Lovertone

Marion D'rossi
Chapter #10

Cara Hidup Bunglon

Arga membelalak memasuki kamar Erlina. Bola matanya seolah-olah enggan berputar demi menyaksikan sekeliling ruangan itu. Namun rasa penasaran amatlah besar. Rasa heran hinggap di perasaan, dan mendesak.

“Ada apa? Sini, duduk!” kata Erlina sambil mengeluarkan semua isi kantong plastik. Wajahnya semringah. Satu per satu snack diletakkan di meja rendah. Kini dia seolah bingung memulai santapan dengan yang mana terlebih dahulu.

“I-ini kamar kamu?” tanya Arga, kaku. Dia berjalan ke meja, dan duduk di lantai beralas tikar berbulu lebat.

Memang bukan seperti kamar gadis pada umumnya yang semestinya rapi dan segala sesuatu tertata dengan baik. Kamar cewek itu sangat luas, tapi dibandingkan kamar Arga, itu jauh lebih berantakan. Buku-buku berserakan di lantai, ada juga di meja belajar. Di rak pun posisinya tidak beraturan. Poster beberapa gitaris dunia di dinding yang posisinya ngawur bikin kepala Arga tambah pusing. Belum lagi tempat sampah kecil di sudut ruangan, tapi beberapa isinya berserakan di sekeliling.

Sambil memasukkan snack ke dalam mulut, Erlina berkata, “Kamar gue, lah! Emang kamar siapa lagi?”

“Tapi … sorry, berantakan banget kayak kapal pecah. Maksudku, kamu udah lihat kamarku, kan? Dan jauh banget perbedaannya,” kata Arga, menyengir. Dia sangat hati-hati berbicara, setidaknya menjaga perasaan Erlina.

Arga sekarang jadi bertanya-tanya, yang cewek itu sebenarnya siapa? Meskipun dari segi jenis kelamin jawabannya sudah sangat jelas. Namun tetap saja dia masih tak percaya ada cewek yang kamarnya seperti begundal cowok yang habis frustrasi diputusin pacar, dan melampiaskan setiap kesal pada benda apa pun.

“Jadi, lo ngebandingin kamar lo sama kamar gue?! Emang apa untungnya?!” Erlina memasukkan satu keping snack lagi ke mulut. “Lagian, lo itu orangnya kayak cewek, yang apa-apa harus rapi, harus bener. Gue, sih, beda.”

Arga menelan ludah karena menyaksikan Erlina yang sangat lahap menyantap snack. Dia seolah tidak percaya orang sakit bisa makan selahap itu. Apalagi hanya sekadar snack. Baginya sekarang, Erlina betul-betul cewek tidak waras. Sebetulnya itu tidak sopan. Mungkin lebih baik istilahnya diganti dengan “cewek barbar”, dalam artian yang sebenarnya.

“Kalau aku kayak cewek, berarti kamunya kayak cowok, dong.”

“Nggak apa-apa. Yang penting aku hidup,” kata Erlina, mantap.

Arga kembali mengingat kata-kata Gusti: “Cewek kayak Erlina itu langka di dunia ini.” Dan seperti itulah yang terjadi. Gusti jadi seperti peramal, atau bisa jadi pakar cinta yang punya jam terbang tinggi.

“Ya, udah. Katanya kamu sakit. Tapi aku perhatiin dari cara makan kamu kayaknya kamu sehat-sehat aja. Bahkan lebih sehat dari aku,” kata Arga, mengalihkan pembicaraan.

“Emangnya kalau sakit itu nafsu makan juga harus sakit? Nggak, kan? Justru gue kalau sakit itu, ya, makannya banyak. Jujur aja, semua yang lo bawa ini masih kurang bagi gue,” jelas Erlina. Sampai saat ini, dia sudah menghabiskan lima snack berbeda-beda bentuk.

Arga kembali tercengang. “S-serius itu masih kurang?”

Erlina mengambil susu kotak, lalu menyedotnya hingga tandas, dan terdengar bunyi khas dari cairan yang bercampur udara di dalam sedotan ketika disedot. “Masih kurang, lah! Ini nggak ada apa-apanya!”

“Tapi kamu nggak apa-apa, kan?”

“Gue udah nggak apa-apa. Kemarin itu gue cuma kecapekan doang. Sepulang dari rumah lo, gue ‘kan langsung kerja. Dan sepulang kerja, gue udah ngerasa nggak enak badan. Makanya gue nggak sekolah selama tiga hari,” tutur cewek itu. Dia bersandar di depan tempat tidur bersprei biru muda.

“Harusnya kamu nggak kerja.”

“Lah, emang kenapa?!” Alis Erlina mengangkat.

“Soalnya aku ngira kamu nggak sekaya ini. Tapi kamu aja tinggal di rumah besar kayak gini. Aku jadi nggak ngerti alasan kenapa kamu kerja.”

Tawa Erlina meledak begitu saja. Sebetulnya, dia tidak berniat menipu beberapa orang yang dia temui. Namun orang-orang sering kali menilai hanya dari apa yang mereka lihat. Selain itu, Erlina adalah cewek yang penuh misteri. Bahkan ketiga teman dekatnya di sekolah pun tidak cukup tahu tentang kehidupan yang dijalaninya dalam hari-hari.

Ada kemungkinan cewek itu menyembunyikan rahasia besar dari semua orang. Kemungkinan itu menjadi terbuka sangat lebar pada saat Arga mulai menyadari beberapa keganjilan darinya. Sekali lagi, tidak ada yang tahu pasti hubungan Erlina dengan orang tuanya bagaimana. Akan tetapi, Arga menyadari atmosfer di rumah ini tak jauh berbeda seperti rumahnya. Lingkungan mereka tampaknya sama-sama menyedihkan.

“Jadi, lo ngira gue kerja karena gue miskin? Pikiran lo kolot banget, sih?”

“Ya … wajar aja, kan? Soalnya kamu kerjanya juga di kafe gitu, kan?”

“Terus, kenapa? Orang kayak gue nggak boleh kerja di kafe? Lah, orang kaya juga harus kerja, dong! Masa orang miskin doang yang harus kerja?! Gimana, sih, lo.”

Sampai titik ini, Arga mengaku telah salah menilai. Dia memang tidak tahu apa pun mengenai Erlina. Namun dia mencoba membuka hati dan membiarkan setiap informasi tentang cewek itu masuk ke memori. Setidaknya, Erlina sudah membuktikan tekad untuk membantunya menjadi seorang musisi lagi. Hal itulah yang seolah menuntut Arga untuk melakukan hal yang sama.

 “Ya, udah. Aku minta maaf kalau gitu. Aku ‘kan emang nggak tahu banyak soal kamu.”

 Sudut kanan bibir Erlina tertarik. Dia mencondongkan tubuh ke depan, lalu bertopang dagu di atas meja. “Jadi, lo pengin tahu semua hal tentang gue?” Nadanya seolah menggoda.

 Seketika itu Arga menolak tatapan si cewek yang terkesan jahil. “Y-yah—sebagai temen. Nggak apa-apa, kan?”

“Hah?! Sejak kapan kita jadi temen?!” Nadanya meninggi.

“Eh? I-iya juga, sih.”

“Tapi lo yakin cuma mau jadi temen?”

Kali ini Arga sangat berhati-hati dalam memilih jawaban. Dia menunduk sejenak, lalu kembali menatap cewek yang mengenakan baju tidur di depannya itu.

Lihat selengkapnya