Erlina tersenyum menatap Arga berdiri di atas panggung kecil menghadapi puluhan pelanggan kafe yang datang dan pergi silih berganti. Bagaimanapun juga, remaja itu harus tetap mendapatkan motivasi, bahkan lebih dari yang dia dapatkan di hari-hari sebelumnya. Dan Erlina sendiri menggunakan senyuman hangat sebagai penyemangat. Dia tidak tahu apakah itu berhasil atau tidak, paling tidak dia mencoba. Tentu karena tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain itu. Lagi pula, Arga sendirilah yang harus pandai-pandai mengatur mental, yakin dengan kemampuan sendiri, dan juga mengeliminasi setiap kata “tak bisa” yang selalu hadir di dalam pikiran.
Mulut Erlina bergerak, tapi tak bersuara. Baiklah, kita terjemahkan itu seperti ini: “Arga! Lo pasti bisa! Karena gue yakin lo gitaris terhebat yang pernah gue kenal!”
Arga mengangguk tanda mengerti. Meskipun mustahil membaca setiap gerakan mulut cewek itu. Namun dia yakin yang keluar itu adalah kata-kata motivasi.
Suasana kafe masih riuh, obrolan demi obrolan keluar dari mulut semua orang. Ada tawa membahana yang tertangkap telinga, ada kesedihan yang kedap, ada pula duka yang iramanya hanya bisa didengar perasaan.
Setiap orang tak suka bersedih hati. Arga harus bisa membuat mereka semua terhibur, membangkitkan kenangan hangat, meskipun ada banyak dari setiap orang memiliki masing-masing kenangan pahit yang sewaktu-waktu bisa teringat dan air mata pun tertumpah ruah.
“Hai, semuanya!” kata Arga, mencoba menyapa, atau sekadar berusaha mendapatkan perhatian setiap orang.
Dalam pikiran, ia menganggap tak ada yang mengenalnya. Sejumlah pelanggan yang duduk berderet di meja-meja hitam itu mungkin bukan penggila musik, mungkin bukan pemerhati musik, atau mungkin juga hanya sekadar suka, tapi tak tahu banyak.
“Sebelum saya mulai menghibur kalian, perkenankan saya memperkenalkan diri,” kata Arga. Di titik ini, beberapa orang tampak tertarik. Mereka menoleh, memperhatikan Arga lamat-lamat. Walaupun tentu ada saja yang melihatnya seolah meremehkan. “Saya Argadana Prawirya, dan malam ini saya akan menghibur kalian dengan musik intsrumental. Terima kasih.”
Tanpa basa-basi lagi, Arga mulai beraksi. Instrumental itu diawali suara biola dari perempuan yang biasanya mengisi musik di kafe. Dari setiap bow yang menggesek senar, jelas sekali dia adalah pemain biola profesional.
Erlina terlihat masih berdiri dengan senyuman simpul. Tepat ketika pemain biola menjeda permainan, suara gitar Arga masuk. Ritmis nada-nada yang sumbang sama sekali tak pernah ada di panggung itu. Sebab mungkin itulah kekuatan dari keyakinan dan usaha keras yang dilakukan remaja tersebut untuk melawan setiap ketakutan. Dan bahkan tak lupa, selama instrumental itu berlangsung, bukanlah not-not melayang itu yang menjadi perhatian utama, melainkan senyuman Erlina yang merekah, dan ia tahu itu untuknya.
Thanks, Erlina!
Arga memainkan sekitar 10 instrumental. Beberapa di antaranya adalah instrumental-instrumental dari gitaris dunia yang namanya sudah tersohor, bahkan dinobatkan sebagai legenda. Penampilan itu pun berakhir dengan semarak, sebab kini yang tak mengenalnya, menjadi kenal. Mereka yang sudah kenal, makin tertarik padanya.
“Yay! Lo berhasil, kan?! Apa kata gue! Makanya lo percaya aja sama gue!” kata Erlina yang tak kuasa menahan kegembiraan dan rasa bangga, lantas meraih Arga dan memeluknya tanpa disadari.
Tak sekadar membeku, tetapi Arga tampak seperti ikan mati yang terapung di sungai. Dia tak tahu harus bagaimana. Namun yang jelas, dia begitu lega, dan bahagia mendapatkan apresiasi yang jauh lebih meriah daripada saat mempersembahkan setiap usaha kepada ibunya.
Tak lama cewek itu memeluk Arga, kesadaran seolah baru saja kembali dari tidur panjang. Dia tercengang atas apa yang dirinya lakukan. Namun entah dia tak ingin melepaskan tubuh semampai berkulit putih itu.
“E-Er?” kata Arga setelah cewek itu membisu beberapa saat. “Kamu nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa,” kata Erlina. Sebulir air mata haru bertengger di sudut mata. Erlina menyingkirkannya segera, lalu melepaskan remaja itu dari jerat pelukan. “Sorry. Anggap aja hadiah dari gue. Udah rezeki lo.”
Tentu tak sesederhana itu permasalahannya. Sebab Arga bahkan kini menjadi tak punya keberanian menatap wajah Erlina. Jantung berdegup kencang, kedua tangan bergetar, tenggorokan mendadak kering seolah-olah tengah berjalan di padang pasir. Dia membutuhkan oasis, tetapi dalam makna yang berbeda.
“He! Lo kenapa jadi diem?!” Erlina membuyarkan lamunan Arga. Remaja itu berusaha mengatur sikap, tak memberikan kesempatan demi kekikukannya menguasai. “Jangan-jangan lo lagi ngayalin yang aneh-aneh sama gue, ya?! Ihhhh! Kalau gitu gue nyesel meluk lo!” imbuh Erlina dengan bibir yang sengaja dimonyongkan.
Seketika itu tawa Erlina membahana. Dia merangkul Arga.
“Dasar bunglon!”
“Er,” kata Arga.
Cewek itu melepaskan Arga, matanya membelalak. “Ada apa?”
“M-makasih banyak.”
“Nggak perlu. Lo berhasil karena kemampuan lo sendiri.”
“Tapi tetep aja ada kontribusi kamu di setiap usaha aku.”
“Kontribusi dalam hal apa? Maksa lo?”
“Yah—itu juga, sih. Gimanapun juga ‘kan kamu udah berusaha. Meskipun cara yang kamu lakuin itu aku bener-bener nggak suka di awal.”
“Dan sekarang? Lo jadi suka, gitu?”
“Ng-nggak juga.” Arga memalingkan wajah yang memerah. Erlina tak membiarkannya melakukan itu, lalu menarik kepala remaja itu, memosisikannya lurus. Mereka bersitatap satu sama lain.
“Lo harus percaya diri!” kata Erlina. “Kalau lo ngomong sama cewek, lo harus lihat matanya. Jangan noleh ke arah lain, dong. Lo itu ‘kan cowok.”
Seperti bayi yang diberi perhatian penuh, Arga terlena oleh sentuhan tangan cewek itu di kedua pipinya. Tentu tak hanya itu, karena yang paling utama adalah kepeduliannya yang sangat besar.
“Kamu salah,” kata Arga. Erlina mengernyit. “Aku ‘kan bunglon, jadi aku bisa beradaptasi di lingkungan mana pun. Dan bisa aja aku sedang memanipulasi kamu, atau nipu kamu.”