Waktu berjalan cepat tanpa terasa. Kini Arga dan Erlina sudah menginjak bangku kelas 2 SMA. Kebersamaan mereka terus berlanjut. Tak peduli masalah apa pun yang mereka hadapi, Erlina tetap membantu Arga mengembalikan kemampuan bermusiknya. Lagi pula, meskipun terbilang sukses menghibur para pelanggan di kafe waktu itu, tak berarti Arga sudah sepenuhnya menjadi Si Dewa Gitar seperti yang dulu.
Tetap saja Erlina masih merasakan ada yang kurang, dan kadang-kadang merasa hambar dengan suasana musik Arga. Tentu saja dia menyangka itu semua bersumber dari segala pikiran Arga yang rumit, masalah pelik yang keluarganya sedang hadapi.
Erlina menatap secarik kertas yang menampilkan senyuman lebar dari sepasang manusia di sana. Itu adalah fotonya dengan Arga sewaktu selesai tampil di kafe. Dia membalik foto itu sekilas kemudian, membaca tulisan yang beberapa bulan lalu ia tulis sendiri: sepasang bunglon.
Cewek itu beranjak, lalu mengambil tas di atas tempat tidur. Dia keluar dari kamar. Namun pada saat melewati ruang tamu, langkahnya berhenti oleh suara ibunya.
“Mau bantuin laki-laki itu lagi?” Wanita itu terlihat tidak acuh. Matanya terpaku pada TV yang menampilkan program gosip. “Kamu berhenti aja. Itu nggak ada gunanya karena dia nggak akan kembali.”
Erlina memberengut dengan sorot tajam. Dia tak berniat berkata sepatah pun kata, lantas berjalan keluar, ke garasi. Erlina menunggangi sepeda.
-II-
Erlina mendorong pintu kamar itu, melihat bahwa seorang remaja masih tidur pulas. Padahal ini sudah pukul 10.00 pagi.
Ya, ampun. Dia masih tidur, lagi. Ini ‘kan udah jam 10. Emangnya dia nggak sarapan, apa?!
Dengan tak tanggung-tanggung, Erlina menepuk-nepuk kedua pipi Arga.
“He! Bangun, dong!”
Mata remaja itu mengerjap-ngerjap. Sedetik membuka, sedetik menutup. Dia belum sadar sesosok cewek ada di kamarnya.
“He! Bangun, dong! Ini udah siang, tahu! Pemalas banget, sih!” teriak Erlina sambil membentuk tangan seperti kerucut yang kemudian diletakkan di depan mulut.
Arga terkesiap, seolah baru saja malaikat maut memburunya. Pada saat membuka mata, dengan sigap dia beranjak. Namun, dia berhenti kemudian karena wajah Erlina begitu dekat dengannya. Mata mereka membelalak.
Seperti melihat bidadari di surga, tak lagi malaikat maut. Bahkan Arga berpikir sedang berada di surga karena melihat wajah berkulit putih langsat beserta mata bulat, dilengkapi bibir tipis yang tampak glowing.
“Erlina—” kata Arga, yang langsung terpotong oleh kesadarannya sendiri. “Hah?! Kenapa kamu ada di sini?!”
Erlina menarik tubuh. “Emang kenapa kalau gue ada di sini?!”
“Pakai nanya, lagi! Kamu masuk kamar orang tanpa izin! Sembarangan aja, sih!” Arga menyembunyikan wajah yang kusut. Dia bangkit.
“Ini udah siang, tahu! Jam segini masih molor aja. Nggak baik!” tegas Erlina. Dia menarik sudut kanan bibir.
Arga bersungut-sungut. Tangan bergerak mengambil kacamata di atas meja belajar, tapi cewek itu merampasnya lebih dulu.
“Nggak usah pakai kacamata!”
“Loh, emangnya kenapa, sih?!” Arga mendengkus, heran.
“Lo harus mengubah penampilan lo! Mumpung kita lagi libur sekolah, gue mau ngelakuin banyak hal buat lo. Kita balikin kemampuan bermusik lo, dan gue mau lo ngubah penampilan lo yang cupu itu.”
Kedua alis Arga saling bertautan. Itu ide tergila yang pernah dia dengar dari seorang Erlina. Padahal penampilan cupu itu sudah menjadi ciri khas.
“Nggak mau! Kenapa aku harus nurutin kata-katamu?” tolak Arga, tegas.
“Harus! Gue muak sama semua orang yang ngerendahin lo!” kata Erlina yang seketika itu membuat Arga membelalak.
Susah payah remaja itu menelan ludah. Tenggorokannya merasa kering secara tiba-tiba. Namun itu bukan karena dia baru bangun tidur. Dia hanya tak menyangka cewek barbar yang berbulan-bulan lamanya dia kenal jauh lebih peduli. Selain itu, kata-kata Erlina barusan sekaligus menyatakan perasaan. Makna tersembunyi dari kata-kata cewek itu adalah bahwa dia seolah ikut tersakiti ketika semua orang memandang Arga rendah.
“Jangan salah paham, ya! Gue ngelakuin ini karena lo itu udah lama kenal gue! Bukan karena apa-apa. Jangan mikir yang aneh-aneh lo.” Erlina mengingatkan. Wajahnya berpaling, seolah tidak acuh dengan tanggapan Arga.
“S-siapa juga yang mikir aneh. Lagian, belum tentu ‘kan aku mau ngikutin kata-katamu?”
“Harus! Wajib! Nggak ada penolakan. Saat masuk sekolah nanti, lo udah harus berubah,” kata Erlina, berkeras.