Lovertone

Marion D'rossi
Chapter #13

Perubahan Arga dan Erlina

Erlina mengalami kekenyangan luar biasa setelah makan camilan sebanyak tiga stoples. Hingga dia tak sadar pada saat berbaring di tempat tidur, matanya memejam. Arga menunggu cewek itu bangun kembali. Lagi pula, dia tak enak membangunkan. Sebab yang Arga lihat di wajah Erlina sejak tadi bukan kantuk karena kenyang, melainkan keletihan akibat menahan perasaan yang sudah lama terpendam.

Sambil menunggu, dia menghabiskan waktu dengan bermain gitar. Dia memetik gitar elektrik tanpa mencolokkannya ke lubang input audio jack.

“Musik cinta,” gumamnya. Arga menyenandungkan nada-nada yang masih berbentuk bayangan. Beberapa ide untuk irama kadang membisik di telinga.

Namun tak lama kemudian, matanya tertumbuk ke tubuh ramping yang tertidur pulas. Arga penasaran dengan wajah polos Erlina saat tidur. Dia menyaksikannya dengan ketenangan intensional. Sesekali senyumannya terbit. Entah bentuk rasa syukur atau ada hal lain yang mendorongnya untuk melakukan itu.

“Cewek barbar kayak kamu ternyata kalau tidur itu kayak cewek-cewek normal,” gumamnya.

Dia emang cantik, sih.

Pada saat beranjak, Arga berhenti karena mendengar cewek itu mengigau tentang ayah dan ibunya. Remaja itu jadi ingat cerita yang dipaparkan Erlina, bahwa sejak SMP, ayahnya sudah tak bersamanya. Meskipun sebenarnya masih dapat dia temui dalam banyak kesempatan, tetap saja seorang anak tidak pernah ingin melihat orang tuanya berpisah. Itu bisa jadi luka paling besar yang sulit diobati.


-II-

 

“Aku punya ide!” kata Arga pada satu hari di taman. Erlina yang sedari tadi sibuk menjilati es krim, lantas mengangkat alis.

“Ide? Buat apa?” tanya Erlina.

“Aku kepikiran cara biar ibu sama ayah kamu bisa ketemu.” Senyuman lebar terbit di wajah remaja itu, sangat percaya diri.

“Hah?! Jadi lo mikirin itu?!” Erlina menghabiskan potongan terakhir es krim, melahapnya sekaligus, lalu membuang stik ke tong sampah. “Buat apa, sih, lo mikirin itu?” imbuhnya sekembali dari tong sampah yang tak jauh dari bangku. Dia mengelap mulut yang sedikit belepotan karena es krim.

“Aku ‘kan udah janji mau bantuin kamu. Lagian, ibu kamu nggak pernah ketemu sama ayah kamu sampai sekarang, kan?”

“Emang bener, sih. Gue udah berkali-kali ngomong, tapi mereka nggak mau.”

Remaja itu mengepal tangan, seolah menggenggam keyakinan rencana itu akan berhasil seratus persen. “Cara kayak gitu salah. Mereka nggak akan mau ngedengerin kamu. Tapi aku punya cara yang lebih efektif.”

“Gimana caranya?”

“Kita bikin jebakan buat mereka berdua biar bisa ketemu di suatu tempat.”

Mata bulatnya membelalak. Erlina seperti langsung mendapat pencerahan. Betapa bodoh karena dia tidak pernah mendapat ide seperti yang dijelaskan Arga. Dia selalu bicara pada ayah dan ibunya agar mereka bertemu untuk bicara sepatah dua patah kata. Namun dia mendapatkan lebih dari seratus kali penolakan. Sampai akhirnya dia menyerah dengan sendirinya, lalu memutuskan membantu ayahnya di kafe.

Ide cemerlang itu pun membawa mereka ke sebuah restoran. Arga dan Erlina pergi menggunakan sepeda masing-masing. Tiba di restoran, tentu saja mereka tak langsung masuk. Beberapa jam yang lalu, mereka sudah memesan meja, dan itulah yang akan dipergunakan mempersatukan kehadiran laki-laki dan wanita yang sudah lama tak pernah bertegur sapa.

“Lo yakin cara ini bakalan berhasil?” tanya Erlina.

Mereka mengendap-endap di samping restoran, sesekali sorot menembus dinding kaca demi memastikan kedatangan laki-laki dan wanita itu.

“Yang penting kita coba aja dulu. Kamu udah ngelakuin semuanya sesuai yang aku minta, kan?”

Erlina mengangguk yakin. “Iya. Tapi nanti kalau nggak berhasil, gue yang bakalan kena marah pas pulang.”

Arga tertawa pelan. “Nggak apa-apa, dong. Aku malah seneng kalau gitu. Jarang-jarang cewek kayak kamu kena marah.”

“Geblek! Mana bisa gitu. Masa lo seneng gue dapet ceramah dari nyokap gue.”

“Ya, ya. Aku cuma bercanda. Jangan masukin ke hati, dong,” kata Arga. “Pokoknya, setelah mereka nerima surat itu, mereka pasti bakalan dateng kalau emang sayang sama kamu.”

Erlina mengangguk-angguk, mencoba percaya dengan rencana Arga. Lama mereka menunggu, bahkan sudah lebih dari lima puluh kali menyembulkan kepala untuk melihat keadaan di restoran.

“Mana, sih? Kayaknya gagal, deh, Ar.” Erlina tampak pesimis. “Soalnya mereka mana percaya sama surat begituan—” kata Erlina yang kemudian tercekat tangan Arga yang mencolek lengannya.

Erlina melongok, dan melihat bahwa ibunya benar-benar datang. Wanita paruh baya itu duduk di meja yang sudah dipesan. Terlihat beberapa saat dia menoleh ke sekitar, lalu mengambil handphone di dalam tas.

“Nyokap pasti nge-chat ke WhatsApp gue, nih.”

“Udah, jangan ditanggepin. Biarin aja dia nunggu dulu,” kata Arga.

“Bokap biasanya jam segini masih sibuk. Mungkin dia nggak bakalan dateng, deh. Kalau dia mau mastiin isi surat itu bener atau nggak, dia pasti nelepon gue,” jelas Erlina.

“Dari tadi kamu pesimis mulu, sih? Kayak bukan kamu yang biasanya aja,” protes Arga. Dia menatap Erlina lamat-lamat, tapi cewek itu berpaling sambil memberengut.

“Kalau kita gagal, tinggal susun rencana lagi,” tambah Arga.

“Iya, iya. Bawel banget lo. Kalau berurusan sama masalah kayak gini, gue emang kurang percaya diri.”

“Kamu ‘kan bunglon, harus bisa beradaptasi.”

“Cerewet amat jadi cowok, deh.”

Lihat selengkapnya