Tepat pukul 07.30 malam, Arga sedang dalam bahaya. Atmosfer di rumah berubah secara drastis. Dia makin kikuk, membayangkan berbagai hal yang membuat kepala makin panas. Sambil mondar-mandir di kamar, dia berusaha berpikir.
Apa yang harus aku lakuin sekarang? Dia mau nginep. Masa dia tidur di kamarku? Kan, nggak lucu itu. Tapi kalau dia tidur di sofa, kasihan juga.
Sebetulnya ada satu kamar yang tidak terpakai di rumah itu. Namun bagi Arga itu bukan solusi tepat meminta Erlina tidur di sana. Selain belum pernah dibersihkan, kamar itu juga sangat berantakan. Dia memikirkan betul-betul kesehatan cewek itu seperti memikirkan diri sendiri.
Erlina dia tinggalkan di ruang tamu menonton TV. Sementara dirinya makin waktu berlalu, makin merasa tidak tenang.
Apa tidur berdua di kamarku? Sial! Pikiran macam apa, sih, ini?! Nggak, lah! Bisa keciduk aku!
Lebih penting daripada memikirkan di mana cewek itu akan tidur, Arga resah jika ayahnya sampai mengetahui dia membawa cewek. Hal yang tidak pernah terbayangkan. Mungkin setelah itu dia akan diusir dari rumah ini. Mana mungkin Arga membiarkan itu terjadi. Meskipun rumah adalah neraka baginya, tapi dia masih butuh tempat tinggal. Beda halnya jika dia sudah bisa mencari uang sendiri, diusir dan apa pun itu dia pasti tidak akan terlalu memikirkan.
“He!” Erlina mengejutkan Arga hingga bola matanya hampir keluar dari kelopak.
“E-Erlina?! K-kenapa masuk ke sini?!” kata Arga, tak sadar nada suaranya tinggi.
Cewek itu tersenyum simpul. Adalah bagian paling menarik baginya di saat Arga mulai dikuasai kekikukan. Namun satu hal yang tidak dia ketahui, mengapa wajah remaja itu merah padam?
“Oh, gue tahu, nih!” kata Erlina sambil mendekati Arga. Dia mondar-mandir di depannya. “Lo pasti lagi ngayalin yang nggak-nggak sama gue, ya?! Hayo, ngaku lo!”
“S-s-siapa juga yang ngayalin kamu?! Nggak, lah! Mana mungkin! Aku … aku cuma lagi mikir,” balas Arga, masih dengan kekikukan yang konsisten.
“Yah—emang lo lagi mikir, sih. Makanya gue bilang, lo ngayalin kita,” kata Erlina seraya mendekati Arga, lalu membawa mulutnya ke telinga remaja itu. “Tidur bareng,” bisiknya.
Remaja itu membeku. Seperti baru saja terkena ratusan anak panah, dan semuanya tepat sasaran, menancap di jantung. Itu membuat rongga pernapasan makin sempit, merasa sesak, panas dalam sekali serang. Bahkan bisikan itu membuatnya bergidik. Hingga bulu-bulu tipis di sekujur tubuh mengangkat.
Tawa cewek itu pecah melihat reaksi Arga. Betapa konyol karena Arga tidak punya usaha perlawanan lagi. Itu membuktikan bahwa tebakan Erlina benar.
“He! Malah makin ngelamun, lagi!” Dia menepuk bahu remaja itu, dan seketika kesadarannya kembali.
“S-sorry. Habisnya kamu, sih. Seneng banget bikin orang jadi ….” Arga tidak melanjutkan.
“Bikin orang jadi apa?” tanya Erlina. “Jadi bunglon maksud lo?”
“Ih, nggak, lah! Apa hubungannya.” Arga mengempaskan pantat di tempat tidur. Otak kembali bekerja, berusaha menyelesaikan gagasan yang sempat tiba-tiba lenyap. “Aku lagi bingung, kamu harus tidur di mana. Aku punya satu kamar lagi, sih, di rumah ini. Tapi berantakan dan banyak debu. Nggak mungkin juga kamu mau tidur di sana.”
“Nggak mau, lah! Lo pikir gue babu, apa. Ogah! Masa lo jahat nyuruh gue tidur di tempat kotor gitu.”
“Nah, makanya. Ini aku lagi mikir. Aku juga takut kalau papaku sampai tahu aku bawa cewek ke rumah ini, pakai nginep segala, lagi,” jelas Arga.
Erlina tiba-tiba mendapatkan sebuah ide. Dia mendekati remaja itu dan duduk di sebelahnya. Arga bersikap waspada.
“Bokap lo orangnya gimana? Apa dia orang yang suka ngecek kegiatan lo? Maksud gue, apa dia sering ke kamar ini?” tanya Erlina. Tangan kirinya bergerak menggesek-gesek di tangan kanan.
Arga memperhatikan hal sekecil itu pada diri Erlina. Mungkin dia kedinginan, pikir Arga.
“Hmm, nggak juga, sih. Hubunganku ‘kan nggak baik sama papaku. Dia juga jarang pulang. Waktu pulangnya itu nggak pernah bisa kita prediksi. Dia orang yang sibuk, ngurus beberapa cabang perusahaannya,” tutur Arga.
“Terus gimana sama nyokap lo?”
“Kalau mamaku, biasanya pulang jam 11 atau jam 12. Makanya mereka sering bertengkar. Nanti juga nggak tahu, nih, mereka bakalan bertengkar atau nggak. Pokoknya rumah ini neraka bagi aku, lah. Kalau aku punya duit banyak, aku pasti milih ngekos aja.”
Mata Erlina menyorot tajam. Betapa dia mengerti perasaan remaja itu. Bagi Erlina sendiri, Arga sangat kuat karena masih bisa bertahan di rumah. Masih mampu berkarya dengan sepenuh hati. Meskipun hasil dari broken home-nya itu punya efek yang berbeda di dalam hidupnya.
“Kenapa kamu diem? Jangan ngelihatin aku terus, dong,” kata Arga. Dia mengalihkan pandangan lagi. Maklum saja, sebab dia tidak bisa memenangkan pertarungan saling menatap dengan Erlina.
“Jangan kegeeran kalau dilihatin terus.”
Arga bersungut-sungut. “Siapa juga yang kegeeran. Buktinya kamu emang ngelihatin aku, kok.”
“Kalau gitu, udah gue putusin apa yang harus lo lakuin,” kata Erlina seraya menggeliat karena lelah, lalu mengempaskan diri di atas tempat tidur. Arga menatapnya dengan bingung.
“Gue tidur di sini. Sama lo.”
Tak ada hal yang lebih mengejutkan daripada saat seorang gadis berkata akan tidur bersama cowok, apalagi mereka tak punya hubungan khusus. Dan itulah yang terjadi pada Arga sehingga dia lagi-lagi membeku dengan segala pikiran yang keluar masuk silih berganti. Tampaknya ucapan Erlina mampu menyihir mulutnya menjadi bisu.
Erlina sendiri tahu bahwa Arga pasti tidak akan setuju dengan ide tersebut. Hanya saja, tidak ada lagi hal yang bisa dia pikirkan.
“Kalau lo diem, gue anggap lo setuju.”