Lovertone

Marion D'rossi
Chapter #15

Peningkatan Popularitas

“Lo inget, ya. Kalau jalan itu jangan nunduk, terus gaya jalan lo jangan kayak cewek. Lo harus tegap,” kata Erlina pada satu hari.

Arga menggaruk tengkuk karena tidak mengerti bagaimana harus mempraktikkan gaya berjalan seperti yang Erlina paparkan. Pada saat itu, dia memang punya bayangan, setidaknya seperti anak-anak geng di drama sekolahan.

“Kenapa? Lo masih belum ngerti?” tanya Erlina, yang kemudian dibalas anggukan. “Oke, gue contohin. Gini caranya. Lo perhatiin yang baik.”

Erlina mengambil sikap layaknya laki-laki. Posisi badan tegap, kepala dan dagu mengangkat, sorot tegas, dan gaya berjalan seolah-olah begundal mencari mangsa.

“Gimana? Lo ngerti, kan?”

“Kamu cocok banget, sih. Kenapa nggak kamu aja yang jalan kayak gitu?” kata Arga sambil menyengir pelan.

“Pakai ketawa, lagi. Masa gue jalan kayak cowok, bisa-bisa gue yang dikatain aneh sama anak-anak di sekolah. Gue itu nyuruh lo yang berubah biar orang-orang nggak ada yang ngeremehin lo lagi. Pokoknya sekarang lo harus bisa. Cobain!”

“Iya, iya. Bawel banget, dah.”

Seperti itulah potongan memori dalam pikiran Arga. Hingga pada saat masuk sekolah hari pertama setelah libur kenaikan kelas, dia mempraktikkan apa yang diajarkan cewek itu. Tak disangka-sangka, sebab memang tak ada yang menyangka seorang Arga yang notabene cupu, selalu menunduk saat berjalan, tidak percaya diri, mata empat, kini terlihat jauh lebih keren.

Bukan hanya gaya berjalan yang berubah. Arga sudah tak memakai kacamata cupu, karena Erlina yang meminta waktu itu. Bahkan gaya rambut pun berubah. Sehari sebelum masuk sekolah, dia sudah buru-buru ke barber shop, dipaksa Erlina sehingga menjadi lebih modis dan kekinian. Dengan kehati-hatian yang tinggi, dia memilih gaya rambut Fade Haircut. Di bagian samping dan belakang tipis, dan di bagian atas dibiarkan panjang.

Berpasang-pasang mata tertuju ke remaja itu, baik cowok maupun cewek. Dengan mulut menganga, mata membelalak, dan perasaan heran yang tidak bisa ditepiskan. Itu adalah perubahan paling mencolok dalam sejarah di SMA Nusantara Padu. Meskipun sebelum melakukan perubahan itu, Arga sudah dikenal karena kepiawaiannya dalam bermusik, tapi pandangan orang sangat buruk terhadapnya karena tidak terlalu pandai berkomunikasi dengan orang lain.

Namun Erlina juga sudah mengajarkan bagaimana berkomunikasi yang baik dengan orang lain. Yang Arga butuhkan sebenarnya adalah kepercayaan diri. Erlina bermaksud mengubah penampilan remaja itu agar mendapatkan kepercayaan diri sebagai musisi berprestasi. Yah—cewek itu memang sudah merencanakan semuanya dari awal. Selain itu, dia sangat pandai dalam mengatur strategi. Ada kemungkinan saat dewasa nanti, dia akan menjadi konsultan bagi orang-orang yang belajar personal branding.

“Bukannya itu si cupu, ya?” kata salah seorang teman kelas Arga.

“Eh, iya. Dia itu si Arga yang itu, ya?”

“Wow! Dia orangnya cakep juga, ya?!”

“Dia bakalan jadi saingan berat Raka dari klub basket, nih, kayaknya.”

Di hari pertama remaja itu menunjukkan perubahan, masih ada perasaan malu yang menggumpal di dada. Dia mencoba menahan semua itu. Sebab tak mungkin dia tiba-tiba berubah menjadi cupu lagi.

Tanpa Arga sadari, Erlina mengamati dari belakang. Senyuman cewek itu merekah seolah-olah puas dengan niat dan usaha keras yang dilakukan Arga. Meskipun ada kontribusinya di dalam setiap perubahan itu, Erlina tidak pernah menganggap hasil dari setiap usaha itu berasal darinya. Itu murni dari kemampuan seorang Arga.

“Serius, dia si cupu?!” kata Lia, terkejut setengah mati. Padahal dia juga sudah melihat bagaimana Arga saat tidak memakai kacamata.

“Gue juga nggak nyangka banget kalau itu si cupu!” timpal Linda.

“Serius, lah! Perhatiin aja,” kata Erlina sambil lalu.

 

Gusti pagi-pagi sekali memajang puisi karyanya di mading. Sekilas itu dia tersenyum simpul, membaca untaian diksi indah itu di dalam hati.

“Oh, udah bener,” gumamnya.

Dia beranjak, tapi berhenti pada saat menoleh ke kanan. Sama seperti kebanyakan siswa lain, Gusti sampai berdebat hebat dengan dirinya sendiri setelah melihat Arga yang telah jauh berubah.

“Sialan. Dia Arga bukan, sih?!” gumamnya sambil berjalan dengan sorot awas.

Remaja itu berhenti. Meskipun dari segi penampilan sudah banyak berubah, tetapi kepribadiannya masih tetap Arga yang dulu. Dia menggaruk tengkuk sambil menyengir di depan Gusti yang dengan lamat memperhatikan dari kaki hingga kepala.

“Ini aku, Gus. Arga,” kata remaja itu.

“Serius lo?!” Mata Gusti makin mencelos.

“Serius, lah! Masa aku bohong, sih.”

“Sial, nggak percaya gue. Lo keselek biji apaan?! Kenapa penampilan lo jadi kayak artis gini sekarang?! Baru pulang bertapa dari gunung lo, ya?!”

Rentetan pertanyaan itu menggelitik sensor tawa Arga. Bahkan teman dekatnya seperti Gusti pun tidak menyangka dia telah berubah drastis. Maka tak heran seisi sekolah ini juga merasakan hal yang sama.

“Yah—aku terpaksa, sih. Soalnya aku dipaksa Erlina. Katanya aku harus berubah biar kepercayaan diriku meningkat. Dia emang ada-ada aja. Gini, deh, jadinya kayak yang kamu lihat sekarang,” papar remaja itu.

“Tapi serius, deh. Gue bahkan sampai harus ngelihat lo dari deket dulu biar percaya kalau lo itu Arga,” kata Gusti. “Dan lihat di belakang lo. Cewek-cewek banyak yang penasaran sama lo.”

Arga menelan ludah kasar. Sebenarnya sejak masuk gerbang sekolah, dia sudah tahu banyak cewek yang mengikuti. Mereka yang dia temui di gerbang, di koridor, dan bahkan di tempat parkir, mengikutinya sampai ke depan kelas 1-B—kelas lama Arga.

Lihat selengkapnya