Mungkin Erlina berteman dengan Raka. Mungkin dia ada keperluan dengan cowok itu. Mungkin mereka secara tak sengaja bertemu. Banyak lagi kemungkinan yang sebenarnya berusaha Arga pikirkan. Dia mencoba percaya, memberikan sedikit ruang untuk prasangka baik. Setidaknya itu adalah cara dia berpikir agar perasaan tidak lenyap hanya oleh praduga. Arga mengerti hatinya terlalu rapuh untuk gagasan-gagasan itu.
Dia mungkin telah berubah secara penampilan, tetapi hati tetap menyedihkan. Dia kembali di titik terendah dalam kehidupan. Sering kali, saat mengalami drama tak berkesudahan dengan batinnya sendiri, dia ingin hilang dari dunia. Dia tak menyangka patah hati bisa sehebat itu. Bahkan untuk dirinya yang baru mengenal cinta.
Beberapa hari yang lalu ketika dia secara kebetulan bertemu Erlina bersama Raka, seuntai kata pun tak dapat keluar dari mulut. Arga hanya bisa membeku sebelum akhirnya sadar bahwa dia harus segera meninggalkan tempat itu. Dia berharap Erlina mengejar, mencoba menjelaskan apa yang terjadi, atau setidaknya menggoda sebagaimana biasa.
Harapan-harapan itu tanggal karena tidak pernah terjadi. Arga menghabiskan waktu dengan kesepian. Dalam hari-hari tanpa Erlina, pikirannya kembali berkutat pada masa lalu menyedihkan.
“Lo udahan sedihnya, lah! Lo yakin aja kalau mereka nggak ada hubungan apa-apa,” kata Gusti mencoba menghibur sang teman.
Meski terbilang percuma, setidaknya sebagai seorang teman yang paling dekat dengan Arga, Gusti harus memberikan yang terbaik. Lagi pula, dia tidak begitu tahu apa saja yang pernah Arga jalani bersama cewek itu. Kebersamaan apa yang pernah mereka alami, Gusti tak pernah ingin mengetahuinya. Yang penting baginya adalah bahwa Arga telah jauh berubah. Sebab dulu remaja itu tidak terlalu mementingkan dunia romansa.
Lebih dari itu, jika seorang cewek memberikan begitu banyak perhatian dan kepedulian pada cowok, itu adalah tanda bahwa dia sudah jatuh hati. Gusti seratus persen percaya dengan gagasan itu. Dia tidak pernah ragu karena ketika melihat Erlina, dia seperti melihat Arga yang punya hati seputih mutiara. Mereka sama-sama bersih dari niat licik dan motif tersembunyi lain.
“Aku nggak sedih,” kata Arga dengan sikap tak acuh. “Lagian, aku sama Er cuma temen. Soal hubungan dia sama anak kelas sebelah itu aku emang nggak pernah tahu. Dan Er nggak pernah cerita.”
“Lo tahu? Lo itu masih punya banyak kesempatan. Ada banyak kemungkinan yang bisa aja terjadi. Bisa jadi si Raka bukan siapa-siapa Erlina, kan?” Gusti memberikan pendapat.
“Bisa aja. Tapi bisa jadi juga mereka udah lama pacaran dan aku nggak pernah tahu,” kata Arga, berkeras membalik kemungkinan itu.
“Ya ampun! Lo harus percaya diri. Meskipun mereka udah pacaran pun, kesempatan lo bakalan selalu ada. Toh, mereka cuma pacaran, kalau itu beneran,” kata Gusti, tak mau kalah. Dia paham betul dunia romansa dan seluk-beluknya. Arga hanya belum bisa memahami setiap rasa sakit yang dia derita. Kendati demikian, Gusti tak menyangkal patah hati itu rasanya sangat sakit.
Biarlah orang berkata terlalu berlebihan. Namun pada kenyataannya, tak ada seorang pun di dunia yang ingin patah hati. Rasanya seperti dunia sudah berakhir.
“Udah, lah. Aku nyerah aja. Erlina banyak bantuin aku. Sampai aku berubah kayak gini juga berkat dia. Aku nggak mau ganggu dia lagi. Sebaiknya aku biarin dia bahagia sama cowok itu.”
“Nggak boleh, lah! Lo cemen amat, sih. Gimana lo bisa maju kalau pemikiran lo masih kayak gini?” kata Gusti yang ditanggapi hanya dengan garukan di kepala.
-II-
Sama seperti hari-hari sebelumnya, Arga pulang sendirian sambil menuntun sepeda. Tidak ada yang istimewa. Jika semula menuntun sepeda berisi harapan agar kebersamaan dengan Erlina terasa lama, kini tak lagi. Baginya sekarang itu adalah sebuah usaha agar beberapa harapan tercapai. Paling tidak, dia berharap bisa bertemu cewek itu. Paling tidak, cewek itu mengejar tanpa sepengetahuannya. Atau mungkin sekadar mengikutinya pulang.
Setiap kebersamaan menjadi jejak memori yang menyengsarakan. Sebab semua tidak akan bisa diulang kembali. Prasangka itu makin menggerogoti pikiran Arga. Dia tidak bisa menepis gagasan buruk yang datang. Sampai dia tiba di rumah, lalu mengambil gitar. Kemampuannya kembali menghilang.
“Ternyata aku orang yang cemen banget, kayak yang Gusti bilang. Ngelihat dia sama cowok lain aja, hidupku kayak udah berakhir.”
Gusti mendatangkan beberapa cewek ke kelas. Arga jadi sibuk sendiri karena para cewek itu terus-menerus mengajaknya bicara banyak hal. Pada dasarnya, dia hanya mengiyakan apa pun yang mereka katakan.
“Arga, kamu beda banget, ya, sekarang. Aku nggak tahu kalau kamu orangnya cakep banget,” kata Risa.
“Kalau aku, sih, dari dulu udah merhatiin kalau Arga orangnya emang cakep. Orang-orang aja yang bodoh karena nggak sadar,” timpal Cici.
Arga menyengir sambil menggaruk tengkuk. Sekilas kemudian, Cici dan Risa berpandangan satu sama lain. Sorot mereka tajam, seolah-olah ada api yang keluar dari bola mata mereka, lalu menyembur berusaha saling membakar.
Gusti senyum-senyum sambil mengamati dari luar kelas. Meskipun dia menyadari dua cewek yang dibawanya cukup aneh dan bukan tipe Arga, setidaknya itu sebagai bentuk usaha dan Arga pasti bisa sedikit terhibur. Namun tatapan Arga menyorot ke arahnya, tajam dan mengintimidasi. Gusti menyengir, lalu beranjak.
“Arga, kamu ‘kan katanya pinter banget main gitar. Coba dong kamu mainin satu lagu buat aku.” Cici merekahkan senyuman.
“Eh? Nggak, kok. Aku cuma bisa sedikit,” balas Arga.
“Masa, sih? Tapi kamu ‘kan sering menang lomba. Aku juga mau lihat kamu main gitar.” Risa memasukkan satu lagi pentol ke mulut. Dia sedari awal masuk kelas itu sudah membawa sekantong plastik makanan.
Daripada dibilang mirip Erlina, cewek bernama Risa itu jauh lebih parah. Badannya saja sudah gempal. Kalau banyak makan terus, dia pasti akan jadi gendut. Sedangkan Erlina, makan sebanyak apa pun, badannya tetap ramping dan berisi. Entah bagaimana cewek itu menjaga bentuk tubuh. Pada suatu hari Arga pernah bertanya, tapi dijawab singkat: “Nggak tahu.”