Dulu sekali ketika orang tuanya sudah tidak punya banyak waktu, Arga selalu menghabiskan hari-hari dengan gitar. Baginya kesedihan adalah motivasi yang sangat berpengaruh dalam proses menjadi seorang gitaris. Akan tetapi, gagasan itu ibarat kaca yang retak, lalu pecah berhamburan di lantai. Ambisinya perlahan-perlahan mulai hilang ditelan kesedihan itu sendiri. Dia tiba di sebuah titik yang membuatnya begitu malas menatap masa lalu. Kendati demikian, dia tidak dapat keluar dari ruang-ruang penuh keluk. Arga dipaksa melihat masa lalu, meskipun dia sebetulnya tak pernah menginginkan.
Arga di kamar memainkan gitar, dengan perasaan penuh kesedihan, dia mengikuti tempo metronom yang diletakkan di atas meja. Tik! Tok! Tik! Tok! Sangat pelan, seperti degup jantungnya yang berdesir saat ini. Pelan sekali. Dia memetik senar-senar, membentuk chord mayor, minor, nada rendah, tinggi, hingga berakhir di nada paling rendah.
Ternyata kesedihan hati masih menjadi hal paling berpengaruh bagi Arga. Buktinya saja, dia mampu menciptakan instrumental dari waktu yang sangat singkat itu. Dan dia terpukau oleh kemampuan sendiri.
“Ini dia instrumental yang aku cari. Bukan lagu kesedihan, tapi lagu …,” kata Arga, tak melanjutkan. Senyumannya yang nyaris terbenam, kini terbit kembali.
-II-
Arga mempercepat langkah pada saat mendengar Raka berteriak memanggil sambil mengejar. Dia tidak ingin berurusan dengan remaja itu lagi. Sebab di hari dia bersama Erlina, remaja itu datang merusak segalanya. Arga tidak bisa dihentikan meskipun Erlina sudah berteriak meminta tetap tinggal. Langkah secara otomatis bergerak, melawan kata hati yang sebenarnya begitu ingin menetap di sana. Jika saja remaja itu tak datang, mungkin dia akan sedikit mempertimbangan cara untuk minta maaf pada si cewek.
“Tunggu, Arga!” Raka merampas lengan Arga, lalu menariknya sekuat hati.
Tak bisa dielak, sebab tenaga remaja dari klub basket itu jauh lebih besar sehingga Arga mau tak mau harus membalik badan. Hal yang wajar karena Raka sudah terlatih mengendalikan tenaga dan stamina yang lebih banyak daripada orang biasa.
“Tunggu, dong. Gue mau ngomongin sesuatu sama lo,” kata Raka yang hanya ditanggapi dengkusan kasar. “Ini soal Erlina dan lo.”
Arga menyeringai nama itu disebut, seolah tak acuh lagi. “Nggak ada yang perlu diomongin. Kalau kamu emang suka sama dia, kenapa nggak diambil aja? Aku nggak punya hubungan apa-apa sama Erlina.”
Kening Raka mengerut, seolah-olah tidak mengerti apa yang baru saja Arga berusaha jelaskan. “Maksud lo?”
Mata Arga membelalak. “Jangan pura-pura nggak ngerti. Gini, deh. Kamu sama Erlina ‘kan punya hubungan khusus. Jadi nggak perlu khawatir karena aku cuma temen dia. Aku nggak ada hubungan khusus sama Erlina,” kata Arga sekali lagi, menjelaskan.
Garis-garis wajah Raka mengendur. Tawa pekak keluar dari mulut. Arga makin tercengang. Kemungkinan mereka telah salah paham.
“Kayaknya kita salah paham, deh,” kata Raka.
“Salah paham? Maksud kamu, apa? Bukannya kamu pacar Erlina?” kata Arga, memperjelas.
“Ya, ampun. Nggak, lah!”
Mendengar sanggahan Raka, Arga menggaruk kepala. Sebetulnya ada perasaan lega yang seketika itu menguasai dirinya, tetapi dia masih belum percaya.
“Jadi, selama ini lo ngira gue sama Erlina pacaran, ya?”
“Kalau nggak pacaran, terus apalagi?” Arga mencari kepastian. Dia membuang pandangan ke lapangan basket yang sedang berlangsung pertandingan.
“Arga,” kata Raka sambil menepuk pundak remaja itu. “Lo itu salah satu musisi yang juga sangat gue idolakan.”
Arga menelan ludah kasar. Tiba-tiba saja dia membeku. Namun ini terasa jauh berbeda. Sebab dia mendengar kata-kata yang sungguh meleburkan setiap emosi yang menggumpal di benak. Arga sedang mendapatkan apresiasi dari Raka, itulah yang terjadi.
“Gue nanya banyak hal sama Erlina tentang lo. Gue sama bingungnya kayak dia. Karena setelah Festival Musik Cinta, lo tiba-tiba nggak pernah lagi ikut kompetisi. Dan sewaktu lo perform di kafe, Erlina juga ngasih tahu gue. Lo nggak merhatiin gue duduk di bangku paling depan? Gue di sana waktu itu, bela-belain datang cuma buat nonton lo.”
Arga menggeleng. Dengan saksama, dia mencoba terus mendengarkan penjelasan Raka.
“Nah, gue seneng karena Erlina cerita banyak soal lo dan perjuangan lo buat kembali ke dunia musik.”
“Terus kalau kamu bukan pacar Erlina, kamu siapanya?”
“Arga, gue sepupu Erlina. Kenalin,” kata Raka, mengacungkan tangan ke depan Arga, “gue Raka. Gue anak dari saudara bokapnya.”
Arga menyambut tangan besar yang tampak kotor itu. Raka memang baru selesai bertanding basket. Dan ketika dia melihat Arga, dengan segera dia menghampiri.
“S-sepupu?! Tapi Erlina nggak pernah cerita,” kata Arga, terkejut.
“Lo tahu sendiri ‘kan kalau Erlina itu seneng banget ngejahilin lo? Dia itu sengaja banget mau bikin lo kesel. Gue udah pernah bilang sama dia buat ngejelasin semuanya ke lo. Tapi dia nolak. Katanya, biarin aja lo tahu rasa, gitu.”
Setelah mendengar cerita itu dari Raka, tak lantas Arga senang. Justru dia makin kesal sampai-sampai ingin berteriak sambil menggaruk kepala. Namun tentu saja dia sangat lega karena orang yang selama ini dia anggap pacaran dengan Erlina, ternyata hanya sepupu.
“Kenapa kamu suka sama musik aku?” tanya Arga.
“Karena lo yang terbaik di sekolah ini. Gue punya kakak kandung, dia sering ikut kompetisi musik dan akhirnya sering juga ketemu sama lo. Dia selalu cerita kalau lo hebat. Lo nggak pernah bisa dikalahin.”