Lovertone

Marion D'rossi
Chapter #18

Menjadi Dewasa

Arga menatap Bastian dengan ketajaman yang sama. “Kami sedang latihan buat kompetisi musik,” kata Arga. Meskipun dia tahu kemarahan ayahnya akan jauh lebih meledak mendengar jawaban itu, Arga seolah sudah tak peduli. Dia terlalu lelah mendengar pernyataan penuh ambisi dari pria itu.

“Musik, musik terus! Kapan, sih, kamu bisa belajar yang bener?! Musik itu nggak bisa bikin kamu menghasilkan apa-apa, Arga!” Bentakan itu menggema ke seluruh ruangan. Bahkan Bi Darmi yang baru saja akan mengantar minuman, lantas urung.

“Arga nggak pernah berharap dapet uang dari musik, Pa. Arga cuma mau menyalurkan hobi Arga. Itu udah cukup bagi Arga selama ini,” kata remaja itu, berkeras. Setidaknya dia sudah menyampaikan aspirasi. Diterima atau tidak oleh pria itu adalah urusan belakangan.

Arga sebetulnya tak pernah berencana menjadi anak pembangkang. Namun benar kata Erlina, berbakti kepada orang tua tidak lantas mengenyampingkan hak-haknya. Arga punya hak untuk melakukan apa pun. Dia punya hak berkarya. Meskipun seni apa pun di dunia ini selalu dipandang sebelah mata, dia tidak pernah berniat mundur. Tekadnya sudah bulat.

“Sudah berani melawan kamu, ya?! Sudah hebat kamu sekarang?! Ingat, Arga!” tuding Bastian, “Yang membiayai seluruh hidupmu itu adalah Papa, bukan mamamu! Kamu bisa makan sampai hari ini karena Papa! Kamu bisa sekolah sampai hari ini karena Papa!”

Atmosfer makin terasa panas. Nyaris Arga menumpahkan bulir-bulir kesedihan karena sadar mulut sudah tak mampu berucap satu pun kata. Dan kini, remaja itu hanya bisa menunduk meratapi ketegangan yang ada.

Namun siapa sangka Erlina bangkit dan berjalan ke depan Arga, membentangkan tangan, seolah melindungi.

“Maaf, Om. Saya mohon izinin Arga ngelakuin hobinya. Dia suka sama musik. Musik itu adalah hidupnya, Om,” kata Erlina. “Saya tahu saya lancang. Tapi demi Arga, saya mohon sama Om. Biarin dia jadi anak Om yang bebas berkarya.”

Keraguan tidak pernah ada di tatapan Erlina. Setiap sikap yang dia lakukan pun, tak sedikit pun menunjukkan rasa takut. Arga bahkan menggeming setelah mendengar ucapan Erlina demi membantu. Dia tak menyangka, bahkan dengan orang paling galak di rumah itu, si cewek tidak gentar.

 “Siapa kamu, berani-beraninya bicara dengan saya?”

 Kini Bastian bersitatap dengan Erlina.

 “Eh, kamu ada di rumah siapa ini, hah?! Kamu nggak berhak bicara dengan saya. Kamu bukan siapa-siapa,” kata Bastian.

 Erlina diancam dengan lototan tajam pria itu. Sayang, dia sudah kehabisan stok rasa takut. Sekali lagi, Erlina justru makin berani.

 “Saya emang bukan siapa-siapa bagi Om. Tapi saya teman Arga. Arga bagi saya orang yang berarti. Lagian, Om nggak berhak ngatur hidup Arga. Meskipun dia emang anak Om. Ingat, Om. Ada hak asasi anak di dalam undang-undang. Om bisa aja dituntut sama Arga.

 “Tapi apa dia ngelakuin itu sampai sekarang? Nggak ‘kan, Om? Coba aja Om pikir.”

 Arga sudah kehabisan kata-kata di dalam hati. Tak mampu lagi mengibaratkan cewek itu seperti apa. Sebab Erlina memang kepala batu. Dia memang selalu ikut campur, tetapi itu baik bagi Arga.

Kemarahan makin membara. Bastian terdorong untuk melakukan kekerasan. Dia beranjak dengan tangan yang melayang. Namun untungnya, sesosok wanita datang sehingga menahan tubuh Bastian.

 “Bastian! Apa-apaan kamu?! Kamu mau mukul mereka?! Kamu mau main kasar sama anak-anak nggak berdosa ini?!” kata Santika. Dia menarik Bastian kasar.

 Suasana makin kelam menyelimuti. Rumah itu benar-benar neraka, seperti yang pernah Arga katakan. Erlina sedari awal pun sudah percaya dengan itu. Dan dia bahkan sudah membayangkan setan seperti apa yang tidak membiarkan Arga lolos dari neraka tersebut.

 Bastian berwajah masam, menatap Santika penuh kebencian. “Orang-orang nggak tahu terima kasih!” katanya sambil lalu.

 Sekilas itu, air mata merebak dari sudut pelupuk. Arga sudah tak bisa menahan setiap kesedihan yang menerobos masuk. Untungnya kedua lengan Erlina terbuka lebar. Dipeluknya remaja itu penuh kepedulian, sebagaimana seorang kekasih yang menyayangi.

 Mata Santika bertemu dengan Erlina. Senyumannya merekah getir, seolah berkata bahwa putranya dia serahkan untuk sementara waktu. Santika turun ke lantai bawah, mencoba bicara dengan Bastian. Mereka berdebat hebat di ruang tamu, sehingga Arga makin ditelan kesedihan.

 

-II-

 

Hari itu adalah hari yang paling tidak pernah Arga bayangkan selama hidup. Kendati keluarganya sejak lama sudah di ambang kehancuran, tapi tak pernah terlintas di pikiran orang tuanya untuk berpisah. Sayangnya, itu terjadi di hari ini. Bastian resmi menceraikan Santika. Tentu saja, Arga memilih ikut dengan ibunya. Dia sudah tak ingin kembali menatap Bastian. Apa pun yang terjadi, Arga sudah diselimuti trauma yang mendalam sehingga tidak ingin berurusan dengan sang ayah.

 Santika dan Arga selesai berkemas. Selama beberapa tahun bekerja, Santika sudah punya cukup banyak tabungan. Dia sudah menyiapkan segalanya karena merasa bahwa hari ini pasti tiba. Dia sudah siap dengan segala sesuatu, termasuk menggantikan Bastian untuk membiayai sekolah Arga dan semua kebutuhannya.

 Remaja itu dijemput sang ibu di kamar. Tak lupa dia membawa gitar pemberian Santika karena benda itu sangat berharga lebih dari apa pun. Sementara figur-figur karakter film dia tinggalkan. Mustahil membawa semua barang itu, karena banyak hasil pemberian ayahnya yang berisiko membuat ingat dengan kehidupan lama yang bahagia.

 Bastian hanya bisa menatap anak dan istrinya masuk ke mobil di halaman rumah. Dia sudah tak punya kuasa apa pun pada mereka. Lagi pula, Arga sudah tumbuh dewasa, tentu dia tak ingin tinggal di rumah bagaikan neraka itu. Arga berhak memilih dengan siapa seharusnya dia tinggal.

 

Mobil tiba di sebuah kompleks perumahan. Arga tercengang karena mengingat jalan-jalan berkelok dengan bentuk rumah yang juga dia tinggalkan dalam memori.

 Ini ‘kan kompleks tempat Erlina tinggal.

 Benar yang Arga pikirkan. Pada saat keluar dari mobil, dia bahkan melihat rumah besar Erlina. Dan lebih mengejutkannya lagi, Erlina ada di depan gerbang dengan senyuman merekah. Rumah mereka berdekatan, hanya terpisah satu rumah. Untungnya tak terpisah satu blok. Mungkin sebelumnya Erlina sudah mengetahui hal tersebut karena diam-diam punya nomor ponsel Santika. Namun Erlina tak memberitahu remaja itu. Itu adalah surprise!

 “Erlina?!” kata Arga, dengan mata membelalak.

 “Arga. He he. Jadi rumah kita sekarang berdekatan, ya. Wah, sial! Lo bakalan nggak kangen sama gue lagi, dong. Padahal gue seneng banget, loh, kalau lo kangen sama gue,” kata Erlina, menggoda.

 Arga tak sempat menyembunyikan senyuman, Erlina sudah lebih dulu melihat. “Hayo, lo senyum. Bagus, deh. Itu berarti lo udah baik-baik aja. Gue jadi nggak perlu khawatir lagi sama lo.”

Santika terlihat membuka gerbang rumah baru itu. Sebelum masuk, dia memperhatikan Arga yang tengah mengobrol dengan Erlina. Wanita itu senang, seolah hatinya yang beberapa waktu lalu kacau, kini jadi lebih tenang.

 “Gue mau bantuin lo sama Tante beres-beres rumah, ah. Sekalian nanti kita latihan di rumah baru lo,” kata Erlina. “Kalau lo mau di kamar gue juga boleh.”

 Arga menarik sudut kanan bibir. Dia seolah enggan membayangkan jika latihan di kamar cewek itu. Yah—seperti yang dia tahu, Erlina itu jorok dan kamarnya sudah seperti kapal pecah. Atau bahkan lebih parah dari itu. Anggap saja rumah berhantu. Arga tertawa ketika membayangkan kelucuan itu dalam benak.

 

Lihat selengkapnya