Lovertone

Marion D'rossi
Chapter #19

Lovertone

Beberapa bulan yang lalu, Arga sudah resmi terdaftar sebagai peserta kompetisi di Festival Music Roman yang bertema Lover’s Tone, yang jika diartikan dari bahasa Inggris ke Indonesia berarti “Nada Kekasih”. Itulah mengapa instrumental-instrumental wajib yang harus dimainkan peserta kebanyakan bertema cinta harmonis. Peserta boleh membawakan instrumental dari gitaris dunia, seperti Steve Vai, Joe Satriani, Yngwie Malmsteen, dan masih banyak lain.

Selain itu, gitaris juga harus melakukan improvisasi sendiri, juga menciptakan karya sendiri yang temanya tidak jauh berbeda dengan festival. Arga sendiri sudah siap dengan kedua lagu yang akan dibawakan. Tiga hari yang lalu, nomor pesertanya sudah keluar. Erlina yang mengurus semua itu, sementara Arga fokus pada latihan.

“Lo dapet nomor peserta 99,” kata Erlina.

“Hah?! Jauh amat, ya,” kata Arga, kaget.

“Biasanya gitaris yang udah terkenal mainnya paling belakang,” balas Erlina, yakin.

“Aturan dari mana itu?”

“Nggak ada, sih. Cuma feeling doang.”

Tak hanya latihan dari segi teknik gitar di atas panggung, tapi Arga juga latihan mengimprovisasi koreografi. Seorang gitaris solo tentu saja harus bisa berimprovisasi di atas panggung. Itu salah satu hal yang diwajibkan. Kita bisa melihat hal tersebut menjadi ciri khas sang gitaris ketika memetik nada tinggi, rendah, maupun ketika suara gitar mulai masuk.

“Aku jadi deg-degan gini, ya,” kata Arga sambil melihat dirinya di cermin. Erlina sudah memilihkan pakaian yang bagus dua hari sebelumnya. Bahkan Santika ikut berkontribusi dalam hal tersebut.

“Wajar, sih. Gitaris dunia kayak Joe Satriani aja masih suka deg-degan, apalagi lo,” sambut Erlina.

Erlina mengambil topi Fedora berwarna hitam di atas meja, lalu mengenakannya di kepala remaja itu. “Hmm. Lo keren juga ternyata. Kayaknya lo tipe gue, deh.”

Arga membelalak karena Erlina memperhatikannya lamat-lamat. “Orang lagi deg-degan malah digodain. Nanti aja kalau udah selesai perform kenapa, sih.”

“He he. Ya, ya. Gue itu nggak bisa buat nggak ngegodain lo soalnya. Ngegodain lo itu udah kayak salat wajib,” kata Erlina sambil tertawa.

Sebetulnya Arga baru kali ini berpenampilan totalitas. Dia mengenakan jas hitam dengan dalaman putih, dasi, celana bahan, dan satu lagi yang menarik, yaitu ada sekuntum bunga mawar di saku jasnya. Bahkan selama mengikuti lebih dari 20 kompetisi musik, inilah penampilan terbaik. Sebab Erlina selalu ada membantu. Jika saja dari dulu dia bertemu cewek itu. Mungkin Arga bisa dikenal sebagai gitaris dengan persiapan paling matang.

Namun waktu-waktu sudah berlalu. Jika dia tidak menjadi diri sendiri di awal karir, tentu saja dia tidak akan bisa bertemu dengan cewek itu. Arga percaya kebiasaan kikuk itu yang membuatnya menjadi lebih dekat dengan Erlina.

“He, kalian sudah siap, Anak-anak?” tanya Santika yang seketika itu membuyarkan keheningan antara Arga dan Erlina. Wanita itu masuk ke kamar anaknya, lalu menatap remaja itu dengan senyuman lebar.

“Udah siap, dong, Tante,” kata Erlina.

“Anak Mama sudah cakep,” puji Santika pada Arga.

Setelah itu, mereka berangkat dengan mobil Santika. Ibunya Arga maupun Erlina tentu saja ikut. Ini adalah hari paling bersejarah bagi mereka, bisa menyaksikan salah satu musisi berbakat di Kota Bandung.

Ada sedikit penyesalan yang tersisa di hati Santika, tepat saat dia mengingat kejadian di belakang panggung Festival Musik Cinta. Dulu, betapa dia tidak mengerti bahwa putranya sangat ingin diberikan apresiasi. Santika memahami semua itu sekarang. Namun ternyata dia tidak bermaksud bersikap layaknya ibu jahat yang tidak peduli pada putranya sendiri. Lebih dari itu, Santika sedang berusaha memperjuangkan sesuatu untuknya.

Sebagai bukti kecintaan Arga pada Santika pun sudah jelas terlihat bagaimana dia merawat gitar pemberian itu. Gitar tersebut merupakan salah satu benda yang tidak pernah bisa Arga lupakan. Hari apa, tanggal berapa, jam berapa, bahkan menggunakan bungkus kado warna apa. Dia mengingat semua itu karena kecintaannya sebagai seorang anak pada Santika. Perasaan cinta itu tidak pernah sirna sejak awal. Sekesal apa pun Arga pada Santika, dia tetap akan luluh jika diberi pelukan kasih sayang.

 

Festival Musik Roman diadakan di sebuah lapangan sepak bola terbesar Bandung. Tidak tanggung-tanggung penyelenggara acara juga membuat panggung yang megah, lengkap dengan berbagai alat musik, tak hanya gitar. Acara itu seperti yang tertulis pada brosur akan dibuka dengan orkes dari grup-grup band besar yang namanya sudah tersohor.

Mereka tiba di tempat parkir yang beberapa jam lalu sudah sesak. Baik penonton maupun para peserta berdatangan silih berganti. Para penonton yang datang sama antusiasnya dengan menonton konser besar dunia. Selain karena itu adalah festival terbesar setelah Festival Musik Cinta, penonton tidak membayar sepeser pun untuk masuk dan menyaksikan kompetisi yang akan diselenggarakan. Itu menjadi salah satu daya tarik festival tersebut.

Sambil membawa keluar gitar kesayangan, Arga mengembuskan napas dalam, menghirup udara sesak tempat parkir yang ramai. Erlina berdiri di sampingnya sambil menatap panggung megah dengan lampu-lampu terang yang akan menyinari setiap kontestan malam nanti.

“Besar banget! Gila!” kata Erlina, terpukau.

“Aku baru kali ini ngelihat panggung festival sebesar itu. Udah kayak musisi beneran aja rasanya,” sambut Arga, tak kalah terpukau.

Mereka berjalan masuk ke tempat khusus para peserta kompetisi. Sementara Santika dan Rita langsung menuju tempat duduk para penonton. Hari itu mereka datang sudah agak gelap. Jadi tidak perlu menunggu lama sampai acara dimulai. Meskipun nomor peserta Arga terbilang sangat jauh, tapi festival besar seperti ini biasanya akan berlangsung cepat karena juri akan memilih peserta yang instrumentalnya sudah matang dari segi teknik dan pembawaan. Begitu pun sebaliknya.

Untuk melenyapkan sebagian waktu, mereka pergi membeli minuman dan beberapa makanan. Sambil mengobrol di sebuah bangku, tepat di bawah pohon depan gedung peserta, Arga dan Erlina duduk menikmati santapan.

“Lo kenapa? Nggak makan?” tanya Erlina yang makan sangat lahap.

“Aku … tiba-tiba nggak nafsu. Kayaknya ini efek gugup. Aku kayaknya demam panggung,” kata Arga dengan wajah pucat.

“Ya, ampun. Sampai segitunya, ya? Lo ‘kan udah biasa tampil di panggung? Kenapa harus gugup, coba? Biasanya lo juga percaya diri,” kata Erlina sambil mengigit potongan terakhir burger, lalu mengelap mulut menggunakan tisu.

“Namanya juga orang gugup. Gimana, sih? Aku ‘kan udah bilang dari tadi. Efek masing-masing panggung itu beda-beda. Kalau skalanya udah gede kayak gini, aku gugupnya nggak tanggung-tanggung, deh,” jelas Arga. “Nih, buat kamu aja. Makan. Kamu ‘kan doyan makan.”

Erlina menyengir. “He he. Bener nggak, nih? Nggak bakalan nyesel, kan?”

Lihat selengkapnya