Untuk kamu yang tiba - tiba hadir dalam kehidupanku. Katakan saja sejujurnya siapa dirimu yang sebenarnya. Aku tak akan kecewa, toh aku tak pernah berekspetasi akan muncul dirimu dihidupku. —Luna Lugo.
Luna tak bisa tidur malam itu. Ia terus berusaha menyusun satu persatu potongan puzzle yang belum utuh. Tak ada acuan dalam menyusunnya. Ia belum tahu, gambaran utuh puzzle tersebut. Banyak pertanyaan yang seketika muncul di otaknya. Yang ia pun tak tahu bagaimana menjawabnya. Apa? Siapa? Bagaimana? Kapan? Mengapa? Ia menelepon kawannya, Tinah. Barangkali, ia punya analisa yang bagus.
"Hey, idola baru SMA Nusantara! Ada urusan penting apa sampe lo telepon gue pagi buta. Lo nggak punya jam? Atau nggak tahu ini jam berapa? Ini masih jam satu, Luna. Kita bisa ketemu di sekolah nanti." oceh Tinah seketika mengangkat telepon dari Luna.
"Ak—ku, butuh saran Tin. Kamu tahu kan. Pleas--se." bujuk Luna.
"Presiden yang mikirin rakyat dari Sabang sampai Merauke yang jumlahnya 250 juta jiwa aja tiap hari bisa tidur. Bisa mikirin anak, cucu, menantu, ibu, sama bininya. Emang lo mikirin siapa? Bobbie? Lovesick Bear? Yoga? Thomas? Siapa? Atau jangan - jangan malah The Black Statue?" protes Tinah.
"Sudah, mulai berceritanya, gue dengerin. Cepet, jangan sampai gue berubah pikiran. Mumpung Tinah lagi baik" Tinah melunak. Bertekuk lutut pada Luna. Yah, begitulah Tinah. Mulutnya saja yang terkadang jahat untuk urusan hatinya, jangan ditanya.
"Menurutmu, hmm... begini, apa aku terlalu dini untuk berpikiran kalau Bobbie menyukaiku? Aku pengen jaga jarak, Tin."
"Lo sakit? Makan apa lo semalam. Apa dokter salah kasih resep obat?" Tinah malah balik bertanya pada Luna.
"Tunggu, dengar dulu. Hmm... aku pengen jaga jarak sebelum semuanya terlambat. Baru satu kali aku jalan, satu kali dia kasih bunga. Tapi apa? Aku malah babak belur karena Mia. Untung aku masih tak apa-apa." Luna berusaha menjelaskan maksud hatinya.
"Lo yakin? Gue berani taruhan, kalau lo jatuh cinta sama dia. Nggak butuh waktu lama buat lo bales pesan dari dia. Mata lo waktu liat atau ngomongin dia nggak bisa bohong, Luna."
"Aku tak jatuh cinta padanya. Aku tak akan membalas pesan darinya lagi. Hmm...dan aku tak akan mengangkat telepon darinya lagi." Luna mengumbar janji yang sebenarnya dia sendiri tak tahu apakah dapat ia laksanakan.
"Yakin? Coba periksa, last call history lo. Coba bacakan siapa?" Tinah ragu akan jawaban Luna. Dari raut muka, tutur kata, dan sorot mata Luna ketika berhadapan langsung dengan Bobbie sangat kentara, kalau ia memendam rasa. Ketika mengobrolkan Bobbie, Luna menjadi yang paling antusias dibanding Tinah dan Abel.