Luna terdiam. Waktu disekitarnya seakan berjalan lambat, seperti di dalam film. Siswa yang menyerahkan topi kerucut, itu sudah memakai celana panjang berwarna hitam, kemeja lengan panjang putih, dan dasi hitam, seragam khas SMA Nusantara. Wajahnya tirus, kulitnya putih, dan berbadan atletis. Tertulis di dada sebelah kanannya, Bobbie Cox.
"Ini punyamu." tangan siswa itu memegang topi kerucut milik Luna yang tadi sempat terjatuh akibat ia berlari. Tangan Luna bergetar menerima topi kerucut hijau stabilo miliknya. Tiba - tiba Luna merasa seperti ada angin berhawa dingin mendesir di sekelilingnya, jantungnya berdegub kencang, serasa akan copot, dan lututnya lemas seakan tulang yang menopang tubuhnya luluh lantah terbawa angin.
"Ter...rima ka...sih." Luna menjawab dengan terbata. Matanya tak berani menatap mata siswa itu. Ia terus menundukkan kepala. Wajahnya tersipu malu dan semburat kemerahan muncul di kedua pipinya.
Pilihannya meninggalkan topi kerucut membawa keberuntungan bagi Luna. Baru beberapa detik, ia sampai ke sekolah baru, ia sudah bertemu dengan penghuni sekolah yang luar biasa level ketampanannya. Walaupun ia tak berani untuk mengetahui warna bola mata siswa itu.
"Hei, kau terlambat, masih saja melamun disitu. Lari!" teriakan kakak kelas tepat di telinga kanannya, membuyarkan lamunan Luna. Sedetik kemudian, ia baru sadar kalau Bobbie sudah meninggalkannya. Ia melihat punggung Bobbie dari posisinya berdiri. Bobbie berlari menjauh, masuk menuju lorong ke dalam gedung sekolah.
Luna mengikuti petunjuk kakak kelas. Ia berlari kembali mengekor beberapa siswa baru yang juga terlambat. Ia digiring menuju lapangan yang sudah penuh dengan barisan para siswa The Chantry School. Barisan para siswa memenuhi lapangan rumput yang hijau, mengelilingi podium yang dibuat portabel.
Barisan anak - anak yang terlambat di buat seistimewa mungkin. Luna dan teman - temannya berbaris berjajar, membelakangi podium. Para siswa yang lainnya dapat dengan jelas memandangi wajah mereka - mereka yang terlambat. Jumlahnya yang hanya tiga orang, membuat para siswa dapat mengingat jelas siapa saja yang terlambat dan Luna juga menjadi satu-satunya perempuan disana. Luna selalu menundukkan kepala, berusaha menutupi wajahnya dengan topi kerucutnya.
Usai pidato panjang Kepala Sekolah, sorak sorai para siswa terdengar meriah. Hukuman buat mereka yang terlambat belum selesai sampai disana. Luna dan kedua siswa yang terlambat dipersilakan naik ke podium. Mereka diminta untuk memperkenalkan nama mereka. Luna semakin kacau. Mau di taruh dimana nama baiknya, kalau di hari pertama sekolah sudah seperti ini.
Satu persatu siswa yang terlambat memperkenalkan nama mereka. Dari yang pertama, seorang siswa berkacamata bulat, berkawat gigi dan berambut agak panjang yang rapi. Kepala sekolah pun memberikan microphone kepada dirinya.
"Tek...Tek...Tek..." jari siswa itu, mengetuk microphone yang telah menyala, sebelum berkenalan.