Kalimat yang dibisikan di telinganya masih terus terngiang. Entah mengapa peristiwa siang itu sulit untuk dilupakan. Luna bersiap untuk terlelap. Pakaian tidur sudah ia pakai, penutup mata sudah disiapkan, seluruh ritual sebelum tidur sudah dilaksanakan.
Ia menyalakan lampu tidurnya dan mematikan lampu utama kamar. Selimut tebal berwarna biru muda telah membalut tubuhnya. Matanya terpejam dan beberapa saat kemudian, ia terlelap, masuk ke dunia mimpi yang indah.
"Drrtt...drrtt..." getaran ponsel, membangunkan tidur Luna. Tangannya meraba - raba meja, menggapai ponsel yang bergetar di atas meja. Di genggam ponselnya dan samar - samar ia mengusap asal layar ponselnya.
"Hallo, Luna?" ucap seseorang dari ujung sambungan telepon.
Setengah sadar, Luna menjawabnya, "Ya? Siapa?"
"Kamu sudah tidur ya, Lun. Maaf ganggu ya."
Seperti mengenal suara itu, Luna menggosok - gosok matanya secara bergantian. Sesegera mungkin, ia mengumpulkan nyawanya kembali dan menyadarkan ingatan akan suara itu. Ia memeriksa layar ponselnya. Tertulis di sana, Bobbie Cox is calling.
"Hallo, Luna? Aku matiin..." belum selesai kalimat yang diucapkan sang penelepon, Luna langsung memotongnya.
"Aku belum tidur kok. Jangan dimatiin." Wajah Luna mengkerut, ia terpaksa menutupi kebenaran kalau ia sudah terlelap tadi.
"Yakin?"
"Iya, beneran kok." jawab Luna meyakinkan Bobbie.
"Nggak apa-apa kan, kalau aku telepon kamu malam-malam begini? Yah, itung-itung menemenin kamu."
Senyum mengembang di bibir tipis Luna. Rasa kantuknya terganti oleh rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Kenapa, tidak. Tapi sebelumnya, can I ask you something?"
"Of course. Go ahead, Luna."
"The Black Statue. Am... maaf maksudku Robbie?" Luna mengernyitkan dahinya.
"Ada apa dengannya? Kudengar kalian satu kelas."
"Dia kembaranmu?"
"Kau tak tahu?" Bobbie balas bertanya.
"Tinah sempat memberitahuku. Tapi kayaknya belum pas, kalau tak bertanya padamu langsung."