Jangan sampai kamu mengetahui siapa aku. Aku takut kamu akan kecewa kalau kamu mengetahui siapa aku yang sebenarnya. —Lovesick Bear.
Perempuan bertubuh besar, menampar kedua pipi Luna bergantian. Ia juga memukul bagian pelipis Luna. Kedua temannya menonton dan memegangi kedua tangan dan kaki Luna. Sedangkan Mili diam dengan kedua tangan yang sibuk. Tangan kanannya memegang gagang pintu dan tangan kirinya memegang ponsel yang diarahkan pada Luna, mungkin ia sedang merekam video.
Ia membenturkan kepala Luna pada lantai dan terus menarik rambut Luna. Ia terus mengulang gerakannya tersebut sambil berteriak, "Awas lo. Enggak ada ampun buat perempuan durjana kayak lo."
Tanpa mereka duga sebelumnya, terdengar samar suara seseorang dari luar. Ia menggedor - gedor pintu, mengoyang - goyangkan gagang pintu naik - turun. Samar teriakannya terdengar sampai ke dalam, "Buka pintunya!" Suara seorang lelaki yang tak asing bagi Luna terdengar jelas di telinganya. Ia kembali mendorong pintu mamar mandi.
Mili berusaha menahan pintu dengan sekuat tenaganya. Tenaga Mili tak mampu melawan. Ia terpaksa melepaskan tangannya dari gagang pintu, membiarkan pintu kayu tersebut terbuka begitu saja. Ia menjauh dari pintu.
Tanpa basa - basi, keempat perempuan yang berada di dalam kamar mandi bersama Luna, berlari keluar. Seorang lelaki yang mendorong pintu, ikut berlari pergi menjauh mengikuti arah lari mereka. Wajahnya tak sempat terlihat oleh Luna karena sinar matahari yang menyilaukan mata. Kini tersisa Abel di depan kamar mandi. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan dengan cekatan Abel membantu Luna keluar dari sana. Ia membawa Luna ke klinik dekat sekolah dengan mengendarai mobilnya.
Seorang laki - laki kembali masuk ke dalam kamar mandi tempat Luna sempat dipukuli. Ia menatap bercak darah yang dihasilkan dari jemari Luna. Kelopak bunga mawar berwarna merah pemberian Bobbie, berceceran di lantai. Ia menghela napas panjang berusaha menahan amarahnya. Tak lama, ia keluar dari sana dan pergi entah kemana.
***
"Lo enggak apa - apa, Lun?" tanya Abel ketika di klinik, usai paramedis mengobati luka Luna. Luna menganggukkan kepalanya pelan. Matanya kembali terpejam.
"Abel, makasih ya kamu sudah tolong aku." ucap Luna sembari menahan rasa sakit. Ia baru terbangun dari tidurnya akibat minum obat. Jemarinya sudah berbalut kain kasa, pelipis dan ujung bibirnya kebiruan akibat memar.