Lovestory About Choirmaster

princess bermata biru
Chapter #8

Bagian 8

51. EXT. KAWASAN TALAMRIA. MALAM HARI

Gabriel menyetir mobilnya. Pikirannya kacau. Ia sedih dan kalut. Konsentrasinya terpecah. Di depan gedung Universitas Hasannuddin, ia nyaris menabrak seorang gadis. Gabriel terburu-buru melangkah keluar dari mobilnya, menghampiri gadis itu.

Gabriel:

“Maaf...kamu baik-baik saja? Astaga...Silvi?”

Silvi:

(mengusap mata, menatap Gabriel tak percaya) “Gabriel, aku...”

Gabriel:

“Kamu menangis?”

Silvi terdiam.

Gabriel:

“Kenapa? Apa karena menulis novel lagi?”

Silvi menggelengkan kepala.

Gabriel:

“Karena kekasihmu itu?”

Kali ini Silvi mengangguk.

Silvi:

“Mantan...”

Gabriel:

“Mantan?” (menuntun Silvi masuk ke mobilnya) “Kamu harus cerita sama saya.”

52. INT. ESPREZZA CAFE. MALAM HARI

Gabriel:

“Cerita sama saya, Silvi.”

(backsound: Isyana Sarasvati-Tetap Dalam Jiwa)

Gadis itu mengaduk-aduk es krimnya. Pelan memakannya. Namun belum juga bicara.

Gabriel menanti dengan sabar. Mengawasi Silvi dari sudut mata. Yakin tak lama lagi seluruh kisah akan terungkap.

Silvi:

“Saya sudah tak tahan,”

Gabriel:

“Iya, kenapa?”

Silvi:

“Gabriel tahu? Dia tipikal pria antisosial, apatis, egois, dan hanya bisa menuntut waktu. Dia...dia bahkan trauma bersosialisasi dan berorganisasi. Beda kan, sama saya?”

Gabriel:

(V.O) “Mirip dengan Dani...”

Silvi:

“Dia hampir tak punya teman. Hanya satu orang di dunia ini yang dia anggap sebagai teman dan sahabat. Dan dia percaya sekali pada sahabatnya itu. Lantaran saya sibuk dan jarang ada waktu, dia sering membandingkan saya dengan sahabatnya. Dia bahkan mengaku sering tak tahan dengan kesibukan saya. Lebih mengecewakan lagi... dia membenci dunia saya. Dia tak mau bergabung dalam dunia saya, dan lebih mencintai dunianya sendiri. Menolak jadi relawan, tak mau berbuat kebaikan, dan tak punya kepedulian sosial tinggi. Yang dia pedulikan hanya diri sendiri, keluarga, dan sahabat perempuannya itu.”

Gabriel:

(V.O) “Ya Tuhan...ternyata Silvi dan Najwa memiliki kisah cinta yang sama.”

“Dia juga pernah minta izin untuk berselingkuh. Oh ya, saya izinkan. Wanita mana yang tidak hancur hatinya saat kekasihnya minta izin untuk berselingkuh? Tapi saya bisa apa? Saya mengizinkannya, lalu malam berikutnya dia mengatakan saya bodoh karena telah memberinya izin untuk melakukan itu. Sungguh, saya tak mengerti jalan pikirannya.”

Gabriel:

“Silvi...kalau saya boleh tahu, kenapa dia bisa begitu?”

Silvi:

“Karena dia jadi korban bullying saat kecil dan remaja. Belum lagi, ia pernah mendapat penolakan dari keluarganya. So, dia tumbuh dengan pribadi seperti itu.”

Silvi mulai menangis. Gabriel tak bisa diam saja melihat hal itu. Ia memeluk gadis cantik itu. Menghapus air matanya.

Gabriel:

“Menangislah jika itu bisa membuatmu lega, Silvi. Kalau kamu mau cerita lagi juga tidak apa-apa. Saya akan bantu kamu agar perasaanmu lebih baik.”

Lagi-lagi Gabriel mengesampingkan perasaannya sendiri. Menenangkan Silvi jauh lebih penting dari pada memedulikan perasaannya sendiri yang hancur.

53. EXT. TAMAN MACCINI SOMBALA. SIANG HARI

(backsound: musik instrumen bernada ceria)

Gabriel mendekati teman-temannya sesama relawan Komunitas Kekuatan Cinta. Kesebelas anak angkatnya berlarian gembira di rerumputan, tak jauh dari tempat para profesional muda itu berkumpul.

Relawan 1:

“Kangen...udah lama sih, aku nggak kumpul bareng Komunitas Kekuatan Cinta.”

Relawan 2:

(tertawa) “Makanya, kumpul dong. Anak-anak kan butuh kita. Pak Ketua yang ganteng juga butuh kita buat sejumlah kegiatan sosial. Iya kan, Gabriel?”

Gabriel:

“Iya betul.”

Sejumlah relawan perempuan menatap Gabriel penuh kekaguman. Beberapa lagi mengambil posisi di kanan-kiri Gabriel.

Safa dan Savina:

“Ayah...”

Gabriel:

(beranjak bangkit lalu menggendong Safa) “Iya, Sayang...”

Savina:

“Kenapa hari ini Bunda nggak sama kita, Ayah?”

Gabriel:

“Bunda sibuk, Safa. Tapi Bunda bilang, kalau Bunda selalu sayang Safa dan Savina.”

Savina:

(Ia baru saja digendong oleh salah satu relawan lainnya) “Begitukah? Savina juga sayang Bunda.”

Tak lama, kesembilan anak lainnya ikut bergabung dengan mereka.

INTERCUT

54. EXT. TAMAN MACCINI SOMBALA. SIANG HARI

Dani menatapi Gabriel, anak-anak pengidap AIDS, dan voluntir Kekuatan Cinta dengan masygul. Satu tangannya setengah jalan membuka kotak berisi Fettucini.

Dani:

(V.O) “Kalau tahu jadinya begini, mendingan aku makan siang di kantor. Dari pada harus melihat pemandangan memuakkan itu.”

Dani:

(V.O) “Mengerikan...begitu ya, rivalku? Dia memiliki semua yang tidak kumiliki. Teman, popularitas, kesuksesan, anak-anak yang ttampan dan cantik, dan kasih sayang dari semua orang.”

Baru saja kotak pasta itu terbuka, cobaan lain menghampiri Dani. Sesosok pria tinggi dan atletis berjalan angkuh dari gerbang taman. Tanpa ragu ia menghampiri Dani. Merampas kotak dari pangkuan pria itu, menumpahkan isinya, dan menginjak-injaknya.

William:

“Dani Sastranegara...ndak banyak berubah kamu, ya?”

Dani:

“Mau apa kamu ke sini?”

William:

(tertawa sinis) “Memangnya taman ini punyamu, tho? Ndak kok, taman ini tempat umum. Aku boleh ke sini. Atau taman ini mau dibeli Sastranegara Group?”

Dani:

(V.O) “Sialan...kenapa aku harus ketemu orang di masa laluku? Orang yang pernah ajak teman-temannya mem-bully aku? Meletakkan boneka beruang yang tercabut kepalanya di lokerku, melukaiku, mengata-ngataiku, dan membuatku ditolak di ekskul manapun sewaktu sekolah dulu?”

William:

“Dani, gimana kamu sama Najwa-mu itu? Oh bukan...sama Peri Kecil itu?”

William:

“Iya lah, Najwa itu ndak cocok sama kamu. Cocoknya sama Gabriel. Kamu mau bersaing sama Gabriel? Ya ndak mathuk.”

Dani:

“Bukan urusanmu! Kamu tahu dari mana tho, soal itu?”

William:

(mengangkat dagu dengan angkuh) “Ndak penting aku tahu dari mana. Sejak aku sampai di sini, kabar macam gitu didapat dengan gampang. Kapokmu kapan, Dani?”

Setelah mengatakan itu, tanpa diduga ia mendorong tubuh Dani hingga jatuh dari kursi roda. Kursi roda itu sendiri digulingkan tanpa ampun. Puas menjatuhkan kursi roda dan pemiliknya, William melangkah pergi.

INTERCUT

55. EXT. TAMAN MACCINI SOMBALA. SIANG HARI

Gabriel tak sengaja melihat kejadian itu. Ia buru-buru beranjak berdiri.

Gabriel:

“Astaga...itu temanku. Tunggu sebentar.”

Gabriel berlari menghampiri Dani. Ia membungkuk, membantu Dani bangun. Tangannya yang lain membetulkan posisi kursi roda. Lalu ia membantu Dani duduk kembali di kursi rodanya.

Gabriel:

“Kamu baik-baik saja? Kenapa bisa jatuh?”

Gabriel:

“Biar aku obati luka-lukamu.”

Dani tak berkata apa-apa. Hanya menatap Gabriel penuh kebencian. Sementara itu, Gabriel tengah sibuk mengobati dan membebat luka Dani.

Gabriel:

“Nah, selesai...”

Dani:

“Pergi!”

Gabriel:

“Dani, aku hanya ingin menolong...”

Dani:

Lihat selengkapnya