Lovestory About Choirmaster

princess bermata biru
Chapter #9

Bagian 9

66. EXT. JALAN NUSANTARA. MALAM HARI

Safa:

“Ayah...sakit sekali. Kaki Safa sakit.” (menangis)

Gabriel:

“Safa tahan sebentar ya...kita segera sampai di rumah sakit. Yang kuat, Sayang.”

CUT TO

67. INT. RS. STELLA MARIS. MALAM HARI

Para suster mendorong brankar Safa ke UGD. Anjas, Alia, Alisha, Dicky, dan dr. Anin bergegas menanganinya. Dokter-dokter muda itu bekerja cepat. Marco, Kalis, Gabriel, Najwa, Zahra, Dani, Oki, Langen, Prof. Harini, dan Prof. Andreas menunggu di luar.

Gabriel:

“Kasihan Safa...aku berharap rasa sakitnya segera terangkat. Ingin sekali aku mendampinginya di dalam sana.”

Najwa:

“Tenanglah, Gabriel. Safa akan baik-baik saja.”

Mereka melewatkan waktu dengan berdoa.

Pintu UGD terbuka, dan dr. Anin yang pertama keluar.

Oki:

“Gimana kondisi Safa, Anin?”

dr. Anin:

“Kakinya lumpuh. Jatuh dari tangga bagi anak normal mungkin tidak mengkhawatirkan. Tapi bagi anak pengidap AIDS...?”

Prof. Andreas:

“Tapi dia masih bisa sembuh, kan?”

Alia:

“Tentu, Om. Tapi harus dilakukan terapi intensif.”

68. INT. UGD. MALAM HARI

Safa menangis. Gabriel memeluknya erat. Mengecup keningnya.

Gabriel:

“Sabar, Sayang. Safa pasti sembuh. Ayah akan cari cara terbaik biar Safa sembuh.”

Safa:

“Tapi Safa lumpuh, Ayah. Safa nggak bisa main lagi sama teman-teman, nggak bisa temenin Savina jalan-jalan ke bukit, nggak bisa lakuin banyak hal.”

Gabriel:

“Ini hanya sementara, Sayang.”

Yang lain tak tega melihat Safa bersedih. Mereka tidak sanggup melihat anak sepolos dan sekecil itu kehilangan harapan.

Marco:

(maju mendekati Gabriel) “Gabriel, mungkin kita harus mulai melakukan konseling.”

Gabriel:

“Kamu benar. Pasti tak mudah bagi Safa menerima kenyataan ini. Kondisi psikisnya bisa terguncang.”

Marco:

“Safa Sayang, coba sekarang Safa cerita sama Om Marco dan Ayah Gabriel. Cerita apa aja, yang bikin Safa sedih. Mau kan, Sayang?”

69. INT. KORIDOR RUMAH SAKIT. MALAM HARI

Gabriel:

“Marco, tadi kamu sangat membantu. Safa bisa lebih tenang. Danke schon.”

Marco:

“Bitte. Paling tidak sekarang Safa bisa lebih tegar.”

Najwa menutup pintu ruang rawat. Bergabung dengan Gabriel dan Marco.

Najwa:

“Marco, thanks ya kamu mau bantu kami menenangkan Safa. Sekarang dia sudah tidur.”

Marco:

“Sama-sama. Ternyata saya masih punya naluri sebagai psikolog. Sebenarnya Gabriel juga bisa melakukannya, apa lagi dia mengambil konsentrasi Psikologi Pediatrik waktu itu.”

Gabriel:

“Aku tidak sepintar kamu, Marco. Tapi akan kuberi dia konseling secara intensif.”

Marco:

“Gutt. Saranku, sebaiknya kamu juga beri dia terapi pediatric behavioral selama menjalani pengobatan medis.”

Gabriel:

“Oke, akan kulakukan.”

Dani:

(mendekati mereka) “Ehm...maaf, menyela diskusi psikologi kalian. Tapi aku ingin bicara denganmu Najwa, juga dengan Gabriel.”

Najwa:

“Iya. Mau dimana, Dani?”

Dani:

“Cafetaria.”

70. INT. CAFETARIA RUMAH SAKIT. MALAM HARI

Dani:

“Gabriel, bukankah tadi siang aku sudah memintanya padamu? Sekarang saatnya meminta pada Najwa. Ayolah, aku ingin sekali kalian bersatu. Dan kamu Najwa, kamu pasti bisa mencintai Gabriel.”

Sejurus kemudian Dani menggenggam tangan Najwa dan Gabriel, lalu menyatukan tangan keduanya.

Dani:

“Najwa, aku hanya bisa membuatmu sedih dan terluka. Sebagian besar orang lebih mendukung Gabriel dari pada aku untuk menjadi pasanganmu. Kamu akan lebih bahagia bersama Gabriel. Kamu lebih pantas menjadi Nyonya Najwa Livia Karamoy, bukan Najwa Livia Sastranegara.”

Najwa menundukkan pandang. Begitu pula Gabriel.

Najwa:

“Kuakui aku belum bahagia bersamamu. Aku memang…memiliki perasaan khusus padamu, tapi aku sadar jika kita terlalu berbeda. Sulitnya menyatukan perbedaan dan seringnya kamu menyakitiku membuat aku tidak bahagia. Aku akan memenuhi keinginanmu, Dani. Aku akan membuka hati untuk Gabriel. Dan kurasa itu lebih mudah karena kami memiliki banyak persamaan.”

(Backsound: Raisa-Kali Kedua)

Gabriel:

(menatap lembut mata Najwa) “Terima kasih, Peri Kecil.”

Najwa:

“Sama-sama, Gabriel. Kamu malaikat dalam hidupku, selamanya akan tetap begitu.”

Gabriel meraih lembut tangan Najwa. Memasangkan cincin berukiran huruf G ke jari manisnya. Cincin itu masuk dengan mudah. Cocok sekali melingkar di jari manis gadis itu.

Gabriel:

“Gabriel Andreas Karamoy for Najwa Livia.”

Najwa:

(menatap Gabriel lekat) “Aku telah menerimanya, Gabriel. Ich liebe dich.”

Gabriel:

(menggenggam erat tangan Najwa) “Vielen dankee für mich annehmen. Ich liebe dich auch.”

Montage

1. Gabriel dan Najwa mempersiapkan pernikahan mereka.

2. Prof. Andreas mengajak Najwa tinggal di rumah mereka sebelum pernikahan berlangsung.

3. Di sela-sela kesibukan pekerjaan dan mempersiapkan pernikahan, Gabriel memberi terapi pediatric behavioral pada Safa.

4. Sebulan sebelum pernikahan, mereka pergi selama beberapa hari ke Manado untuk merayakan ulang tahun mutiara pernikahan Prof. Harini dan Prof. Andreas.

5. Tiba di Manado, mereka mengunjungi Boulevard.

6. Gabriel berjanji akan mengajak Najwa ke suatu tempat spesial di luar Manado.

End of montage

71. EXT. BUKIT DOA. SORE HARI.

Prof. Harini:

“Kita ketemu di sini, berdiskusi seputar medis, lama-lama jadi sering bertemu, jatuh cinta, berpacaran, lalu menikah. Di sini juga kamu memutuskan jadi mualaf sebelum menikahiku.”

Prof. Andreas:

“Setelahnya kita pindah ke Makassar. Dan lahirlah anak tunggal kita...Gabriel.”

Prof. Harini:

“Ya. Kebahagiaan kita sungguh lengkap. Tak ada yang lebih kucintai selain kamu dan Gabriel. Aku ingin menghabiskan seluruh hidupku bersama kalian. Tapi...”

Prof. Andreas:

“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Harini. Jangan sedih. Perbanyaklah berdoa. Gabriel akan terus bersama kita.”

Prof. Harini tersenyum. Lembut mendekap Prof. Andreas.

INTERCUT

72. EXT. BUKIT DOA. SORE HARI

Pemandangan Gunung Lokon dapat terlihat jelas di sini. Hijaunya perkebunan terhampar pula. Menambah cantik lukisan alam yang tersaji di Bukit Doa.

Gabriel dan Najwa berfoto di Chapel Mahawu. Saling menyuapkan klapertart. Menikmati pemandangan indah di Bukit Doa bersama-sama.

Gabriel:

“Bagus, kan? Kamu suka, Peri Kecil?”

Najwa:

“Tentu saja. Seleramu tinggi, Gabriel.”

Gabriel tersenyum. Membelai rambut Najwa.

Gabriel:

“Aku hanya berharap bisa diberi kesempatan lebih banyak lagi untuk bersamamu. Mengajakmu ke tempat-tempat indah seperti ini.”

73. INT. BALLROOM HOTEL. MALAM HARI

Pesta pernikahan mutiara Prof. Andreas dan Prof. Harini. Tak lama setelah gala dinner, para tamu undangan turun ke lantai dansa. Berdansa dengan pasangan mereka diiringi lagu A Whole New World.

Tak lama, Prof. Andreas dan Prof. Harini turun ke lantai dansa. Bergabung dengan tamu undangan lainnya. Kemampuan dansa mereka bagus juga. Otomatis para tamu bergeser, memberi space untuk keduanya.

Prof. Apollo:

(menggenggam halus jari tangan Prof. Tina) “Sudah lama kita tidak berdansa, Tina.”

Prof. Tina:

“Iya. Sekitar...tujuh tahun yang lalu.”

Prof. Apollo:

“Maukah kamu berdansa denganku seperti tujuh tahun yang lalu?”

Prof. Tina mengangguk pelan. Tersenyum tipis saat Prof. Apollo membawanya turun ke lantai dansa. Dalam sekejap keduanya telah bergabung bersama pasangan-pasangan lainnya, berputar dan menari mengikuti alunan musik.

Para sahabat segera menyusul. Dicky berdansa dengan Alia, Alisha dengan Kalis, Marco berdansa dengan Zahra, Oki dengan dr. Anin, dan Langen bersama dr. Reva.

Najwa:

(V.O) “Terakhir aku berdansa, setahun lalu. Bersama Gabriel, di...”

Gabriel:

“Peri Kecil, maukah kamu mengulang kenangan setahun lalu?”

Sekali-dua kali Najwa memejamkan mata. Menghayati alunan lagu dan gerakan memutarnya. Tiap kali ia membuka mata, yang tertatap olehnya ialah seraut wajah malaikat pelindungnya yang begitu menawan. Sepasang tangan Gabriel, meski semakin rapuh dan makin menurun daya fungsinya, tetap terasa hangat. Sepasang tangan itu membimbing dan mengarahkannya dalam gerakan-gerakan dansa yang memikat.

74. INT. RUMAH PROF. ANDREAS. PAGI HARI

Gabriel memandangi langit berawan dan tirai tipis hujan dari balkon lantai dua. Tangannya terlipat di depan dada. Hawa dingin tidak membuatnya beranjak dari sana.

Najwa:

(melangkah tergesa menghampirinya) “Gabriel, turunlah ke bawah. Alina...”

Gabriel:

“Alina? Alina di sini? Dia harusnya di sekolah.”

Gabriel menggamit lengan Najwa, lalu berlari ke lantai bawah. Alina berdiri kaku di ruang tamu. Tubuhnya basah kuyup, wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru.

Gabriel:

(membimbing Alina ke sofa) “Alina...sini Sayang, sini.”

Najwa mengeringkan tubuh Alina dengan handuk, lalu memakaikannya pakaian ganti.

Alina:

“Ayah...Bunda...Alina kedinginan,”

Najwa:

“Alina kenapa bisa begini, Sayang?”

“Tadi...tadi Alina sampai di sekolah. Waktu mau masuk gerbang, ada anak-anak sekolah lain deketin Alina. Mereka jahat sama Alina.”

Najwa:

“Jahat? Mereka ngapain sama Alina?”

Alina:

“Mereka bilang Alina bawa penyakit menular. Alina anak haram, dan ayah Alina bukan orang baik. Mereka nggak Cuma hina Alina, tapi hina Ayah! Mereka hina malaikatnya Alina, mereka hina Ayah!”

Tangis kanak-kanak itu pecah. Gabriel merengkuh Alina ke pelukannya. Menenggelamkan tubuh mungil nan rapuh ke dalam dekapan hangat. Membiarkan air mata Alina membasahi pangkuannya.

Alina:

“Kenapa harus Alina? Kenapa bukan yang lain saja, Ayah?! Apa Alina bukan anak baik, sampai Tuhan kasih penyakit ini buat Alina?!”

Gabriel:

“Tidak, Sayang. Alina anak baik, baik sekali. Alina anak Ayah yang baik.”

Najwa:

“Juga anak Bunda yang baik.” (mengusap rambut panjang Alina)

“Alina itu istimewa. Makanya Tuhan titipkan penyakit itu ke tubuh Alina. Tuhan sayang sekali sama Alina...”

Alina:

“Tapi mereka juga hina Ayah. Ayah yang Alina sayangi dan selalu Alina banggakan. Bahkan Alina mau jadi seperti Ayah.”

Gabriel:

“Terima kasih, Sayang. Nggak apa-apa kok. Mereka hanya belum tahu siapa Ayah, makanya mereka bilang begitu.”

Najwa:

“Alina jangan sedih ya? Masih banyak yang sayang sama Alina. Ada Ayah, Bunda, Grandpa, Grandma, teman-teman, dan masih banyak lagi.”

Bruk!

Alina jatuh pingsan. Najwa menyentuh lembut kening Alina.

Najwa:

“Gabriel...Alina demam.”

Saat Gabriel menyentuh kening Alina, Prof. Andreas dan Prof. Harini menghampiri mereka.

Prof. Andreas:

“Ada apa ini?”

Najwa:

“Alina sakit, Pa.”

Segera saja Prof. Harini mengambil peralatan kedokterannya. Memasang tensimeter. Mengukur tekanan darah Alina. Prof. Andreas menyelimuti Alina.

Gabriel:

“Pa, Ma, hari ini aku tidak ke kantor. Aku mau jaga Alina.”

Lihat selengkapnya