Celebes Convention Center dipenuhi kesibukan menjelang menit-menit terakhir persiapan sebuah event. Dani tergesa-gesa memasuki ruang pameran. Digerakkannya kursi rodanya menyusuri ruangan luas berkapasitas 10.000 pengunjung itu. Mengamati detail dekorasi, susunan booth, dan kelengkapan properti. Mencocokkan dengan list yang telah dibuatnya. Sempurna.
Beberapa pekerja yang sibuk mengatur dekorasi di dinding ruang pameran menatap Dani keheranan. Tak bisa dipungkiri, mereka penasaran dengan figur pemilik sekaligus pendiri Sastranegara Organizer yang banyak dibicarakan itu. Dani rileks saja diperhatikan sedemikian rupa. Ia malah sempat melempar senyum sebelum beranjak ke luar ruangan.
“Bagaimana, Dani? Ada yang kurang?” sambut Septian di ambang pintu.
“Tidak ada, semuanya sudah bagus. Maaf aku tidak bisa mendampingi kalian mengurus pameran hari ini.” sahut Dani seraya meminta maaf.
“Noprob, Mama-Papamu lebih penting. Mereka jauh-jauh datang dari Malang hanya untukmu.” Septian menepis pelan permintaan maaf partnernya.
“Oke. Aku percaya kamu bisa handel semuanya. Duluan ya, kalau ada apa-apa langsung kontak.” Dengan kata-kata itu, Dani menjalankan kursi rodanya meninggalkan areal pameran.
Laju kursi rodanya dipercepat. Melewati deretan bangunan di Celebes Convention Center: ruang pameran, ballroom, dan tempat konvensi. Sampai akhirnya ia tiba di parking area. Terburu-buru membuka pintu Rush-nya. Menstarter mesin, lalu memundurkan mobil.
Sekejap kemudian terlihat Rush berwarna dark blue melesat dalam kecepatan tinggi di Jalan Metro Tanjung Bunga. Pengguna jalan mungkin mengira pengemudinya tipikal manusia enerjik dan sehat. Tetapi asumsi mereka salah. Pria muda diffable yang duduk di balik kemudi. Pria yang mengalami kelumpuhan sejak lahir namun memiliki semangat tinggi. Kemampuan menyetir mobil menjadi salah satu bukti nyatanya. Rush itu mampu dijalankannya dengan baik dengan Z4 Portable Hand Controll-alat khusus untuk diffable person yang ditambahkan pada setir mobil-.
Dani hanya memiliki waktu setengah jam. Bandara menjadi destinasinya. Entah apa reaksi Mama-Papanya jika ia terlambat menjemput. Mereka tipe orang yang sangat tepat waktu.
Pria 26 tahun itu mendesah tak kentara saat menekan rem di traffic light. Sempat terbersit niat untuk menembus lampu merah, namun pikiran rasional menyadarkannya. Disiplin tetap nomor satu. Begitu lampu menyala hijau, Dani kembali melajukan Rush-nya dalam speed maksimal.
Setengah jam berikutnya ia sampai di terminal kedatangan domestik bandara. Pada saat yang sama, announcer mengumumkan kedatangan Garuda Boeing 737 300 rute Surabaya-Makassar. Dani bersorak dalam hati. On time, benaknya membisikkan dua kata penting itu.
Satu per satu penumpang muncul dari lorong garbarata. Dani menajamkan fokus pandangan, mencari-cari dua sosok yang dirindukannya. Selang sepuluh menit, pencariannya berhasil.
“Dani!”
Seorang pria botak berkemeja dan berdasi hitam serta wanita ramping bergaun silver mendekat. Itulah Frans Sastranegara dan Risha Sonia, kedua orang tua Dani. Tak ada pelukan, tak ada belaian penuh rindu. Hanya tatapan sekilas dan dialog bernada datar.