Minggu pagi tiba, cerah dan indah. Gradasi merah keemasan terlukis indah di kaki langit. Sunrise menyapa kota Sultan Hasannuddin.
Pada pagi seindah itu, Prof. Andreas dan Prof. Harini bersantai sejenak di teras belakang rumah mereka. Teras luas yang menghadap tepat ke kebun anggrek dan kolam renang. Susu coklat dan pancake strawberry menemani perbincangan hangat mereka.
“Harini, maaf ya. Semalam aku nggak bisa temani kamu di acara launching buku itu.” ucap Prof. Andreas. Pria yang masih terlihat tampan dalam usia paruh baya itu mengelus rambut istrinya.
Prof. Harini tersenyum penuh pengertian. Menuangkan susu ke gelas suaminya. “Nggak apa-apa, Andreas. Pasien-pasienmu jauh lebih penting.”
“Kamu memang pengertian. So, biarkan hari ini aku menebus waktu yang hilang denganmu.”
Prof. Andreas seorang dosen Linguistik dan ahli hypnoterapi. Sedangkan Prof. Harini bekerja sebagai dokter, dosen, dan pemegang saham di beberapa perusahaan multinasional. Praktis, jadwal kesibukan yang padat membuat mereka jarang memiliki waktu bersama.
“Dengan Gabriel juga,” timpal Prof. Harini.
“Iya, Harini. Dengan Gabriel juga.”
Begitu larut Prof. Andreas dan Prof. Harini dalam kemesraan. Sampai-sampai tak menyadari sepasang mata bening menatapi mereka penuh arti. Pemilik mata itu tak lain Gabriel, putra tunggal mereka. Detik berikutnya Gabriel melangkahkan kaki menghampiri Mama-Papanya.
“Gutten morgen,” sapa Gabriel hangat.