Setengah jam kemudian mereka tiba di Rumah Sakit Stella Maris. Mereka berjalan bertautan tangan memasuki bangunan serba putih itu. Menyusuri koridor demi koridor, sesekali membalas sapaan sejumlah dokter dan suster yang telah mengenal mereka. Ya, Gabriel dan Najwa cukup dikenal pula di sini. Seringnya kunjungan mereka ke rumah sakit selama beberapa tahun terakhir yang membuat mereka telah dikenal oleh paramedis.
“Hai Gabriel, hai Najwa. Duduklah. Aku baru saja menyelesaikan jadwal visite.”
Seorang wanita cantik berjas putih dengan stetoskop terkalung di leher menyambut mereka di ruang dokter. Dialah dr. Reva, dokter yang telah menangani Gabriel bertahun-tahun terakhir sekaligus gadis yang sempat disukainya semasa di Senior High School.
“Gimana kabar kamu, Reva?” tanya Najwa ramah.
“Kabarku? Baik. Harusnya aku yang tanya gitu sama kalian, especially sama pasien istimewaku ini.” Sambil berkata begitu, dr. Reva tersenyum pada Gabriel.
Proses pemeriksaan pun dimulai. Ada lebih banyak tahap pemeriksaan yang mesti dijalani Gabriel. Tak hanya rontgen tulang dan Bone Scan (CT scan pada tulang untuk mendeteksi penyebaran kanker), pria tampan itu juga menjalani rontgen dada, pemeriksaan darah berupa Alkaline Phosphatase, dan pemeriksaan Histopatologis dengan biopsi jarum. Dari awal hingga akhir, gurat kecemasan makin dalam terlukis di wajah dr. Reva. Bahkan beberapa kali ia menghindari menatap mata Gabriel dan Najwa.
“Ada apa, Reva?” Gabriel bertanya selesai pemeriksaan.
Sesaat dr. Reva tak menjawab. Namun raut wajahnya berubah muram. Perlahan dibentangkannya lembaran copy scenen di atas meja. Gabriel dan Najwa memfokuskan pandang pada lembar copy scenen itu, dimana mereka bisa melihat bentuk-bentuk tulang yang tertutup sel kanker.
“Gabriel, kamu harus hati-hati pada risiko fraktur patologis, atau patah pada tulang yang terkena tumor. Pada kondisimu sekarang ini, risikonya semakin tinggi. Sekarang katakan padaku, apa semakin terasa sakit?”
“Aku…”” Gabriel terlihat ragu, namun dr. Reva menatapnya tegas.
“Kumohon, katakan. Aku tahu kamu kuat dan tak suka mengeluhkan sakit, tapi tolong katakan. Agar aku tahu.”
Gabriel menghela nafas panjang. “Ya…terasa semakin sakit.”
Sunyi sesaat. dr. Reva terlihat makin cemas. Sementara Gabriel dan Najwa menanti, menanti vonis yang akan jatuh.