Sebuah suara bernada sarkastik diikuti tepukan tangan memecah saat-saat kebersamaan itu. Najwa dan Gabriel memisahkan diri. Betapa kagetnya mereka mendapati Dani telah berdiri di belakang mereka. Ekspresi wajahnya sedingin es.
“Kenapa kamu nggak cerita, Najwa?! Kenapa kamu nggak cerita kalau Gabriel melamarmu?!”
Najwa terpaku. Gabriel menghela nafas, berkata tegas.
“Jangan salahkan Najwa. Kalau kamu mau marah, marah saja padaku.”
“Dani, aku sengaja tak bercerita agar kamu tenang...agar kamu tidak sedih dan terus kepikiran.” Najwa menerangkan, suaranya bergetar.
Dani mengepalkan tangan di atas pegangan kursi rodanya. “Harusnya kamu cerita! Biar aku siap mental! Biar aku sadar diri!”
“Sadar diri? Apa maksudmu, Dani?” tanya Gabriel heran.
“Biar aku sadar, kalau aku bukan apa-apa dibanding pria lain yang sudah melamar Najwa Livia! Aku hanya pria yang sangat biasa, ingat itu!”
Setelah berkata begitu, Dani mempercepat laju kursi rodanya. Bergerak ke arah Air Terjun Takkapala.
“Astaga...kenapa semuanya jadi rumut begini?” Najwa mendesah, tangannya menekap wajah.
“Peri Kecil, kejarlah Dani. Honestly, dia menginginkan kehadiran kamu. Ayo,”
“Tapi kamu...”
“Jangan pikirkan aku. Biar aku pergi sekarang. Bye. Good luck. Jangan lupa ceritakan hasilnya nanti.”
Najwa pun menuruti saran Gabriel. Ia berlari mengejar Dani. Beberapa saat Gabriel terus menatapi kepergian Najwa. Bayang kemuraman makin terlihat jelas di wajah rupawannya.
Gabriel menghempaskan tubuh ke bangku pengemudi. Satu tangannya menutup pintu mobil. Perasaannya masih tak menentu. Sedih, kecewa, dan tidak percaya menyatu. Rongga dadanya disesaki penyesalan. Sesal karena tak pernah melakukan itu lebih awal.
Mengapa Gabriel harus mengulur waktu? Mengapa ia tak melamar Najwa sebelum kehadiran Dani? Padahal sebelum itu ia memiliki banyak sekali kesempatan. Tentu Najwa akan menerimanya bila ia melamarnya sebelum Dani datang.
Kini semuanya sudah terlambat. Najwa lebih memilih Dani. Tapi, adilkah semua ini? Bukankah ia yang pertama mencintai Najwa? Bukankah dialah malaikat pelindung Najwa sejak kecil? Bukankah orang-orang mengatakan Najwa lebih pantas bersamanya dibandingkan bersama Dani? Ironisnya, kenyataan berkata lain.
Memikirkan hal itu, luka di hati Gabriel semakin dalam. Ia yang selalu ada untuk Najwa. Ia pula yang telah lama mencintainya. Namun mengapa justru Dani yang mendapatkan cinta dari gadis bermata hazel itu?
Reminder di ponselnya berbunyi. Gabriel tersentak kaget, seharusnya sekarang ia sudah berada di kampus untuk melatih PSM. Kasihan anak-anak itu, mereka pasti menunggunya. Tidak, ia harus bangkit. Ia tak boleh membuat semua mahasiswa yang dilatihnya kecewa. Ia menyayangi mereka, sangat menyayangi mereka.
Tergesa Gabriel menghidupkan mesin mobil. Tak lama, Lamborghini itu meluncur mulus menuruni pegunungan, meninggalkan Malino. Ia harus secepatnya tiba di Makassar.
Jalanan berkelok dilewati. Tikungan demi tikungan ditempuh. Jajaran pohon pinus dan hamparan pemandangan indah pegunungan berlalu di belakang. Gabriel mempercepat laju mobilnya. Menyesal sekali atas kekeliruannya ini.
Tiba di Jalan Poros-Makassar, Gabriel kembali diuji. Rasa sakit itu datang lagi. Sakit yang menyerang tulang-tulangnya. Gabriel menghela nafas dalam, mencoba menguatkan diri, dan terus mengemudi. Jangan sampai Osteosarkoma mengalahkannya juga.
Satu jam berikutnya, Gabriel tiba di kampus. Segera saja ia bergegas ke gedung Fakultas Seni. Rasa sakit di tulangnya tak lagi ia pedulikan. Sesekali ia nyaris kehilangan keseimbangan, namun itu pun diabaikannya. Ia akan memaksakan diri, seperti biasa, demi karier dan kegiatan sosialnya.
Makin mendekati ruang latihan, dapat didengarnya denting piano. Mau tak mau Gabriel tersenyum. Pasti anak-anak itu menghabiskan waktu penantian mereka dengan menyanyi dan memainkan piano. Ia coba mengenali lagu yang tengah dimainkan.
Aku menyesal telah membuatmu menangis
Dan biarkan memilih yang lain
Tapi jangan pernah kaudustai takdirmu
Pasti itu terbaik untukmu
Janganlah lagi kau mengingatku kembali
Aku bukanlah untukmu
Meski ku memohon dan meminta hatimu
Jangan pernah kautinggalkan dirinya untuk diriku (Rossa-Aku Bukan Untukmu).
Arus kuat kesedihan kembali menjajah batinnya. Ya Tuhan, mengapa harus lagu itu?
“Maaf, saya terlambat.” kata Gabriel setiba di ruang latihan.
Semua mahasiswa tersenyum dan menyambutnya ramah. “Nggak apa-apa, Gabriel.”
Melihat wajah-wajah ramah tersenyum ke arahnya, mendengar suara mereka yang bernada hangat, Gabriel merasa lebih baik. Beban yang menghimpit hatinya sedikit berkurang. Ia balas tersenyum.
“Kita mulai yuk. Humming dulu ya.”
Gabriel beranjak ke kursi depan piano. Tak sadar jika beberapa anak menatapnya cemas.
“Gabriel baik-baik saja, kan?” Daniel berbisik.
“I’m ok,” jawab Gabriel ringan.
“Tapi wajah Gabriel pucat sekali.” Daniel berkeras.
Gabriel menjawab sabar. “Percayalah, saya baik-baik saja.”
Piano berdenting pelan. Mengiringi proses humming. Selesai humming, Gabriel mengajak mereka menyanyikan lagu ‘Bintang Kejora’ sebagai permulaan.
“Coba nyanyikan lagu ini dengan hati. Nyanyikan lagu ini buat orang yang kalian cintai.” pinta Gabriel.
Para anggota PSM bergumam senang. Menuruti saran Gabriel. Bernyanyi dengan hati, menyenandungkan lagu itu untuk orang yang mereka cintai.
Kupandang langit penuh bintang bertaburan
Berkelap-kelip seumpama intan berlian
Tampak sebuah lebih terang cahayanya
Itulah bintangku, bintang kejora yang indah selalu (Tasya-Bintang Kejora).
Mereka terus bernyanyi. Gabriel menaikkan oktaf sedikit demi sedikit. Diamatinya wajah mereka satu per satu. Memastikan mereka menyanyi dengan hati.
“Allright. Sekarang, coba kalian hafalkan dulu lirik lagu ‘If We Hold On Together’ dari Diana Ross.”
Dan dimulailah proses latihan yang sebenarnya. Gabriel mengajari mereka lagu itu dan pembagian suaranya untuk tiap jenis suara. Sopran, alto, tenor, dan bass. Lagu ‘If We Hold On Together’ akan dibawakan pada saat wisuda gelombang ketiga. Tak hanya mengajarkan pembagian suaranya, Gabriel pun mengajari mereka soal interpretasi lagu.