“Dani, dengarkan aku! Aku bisa jelaskan semuanya!” Najwa terengah. Berhenti di sebelah kursi roda Dani.
Saat itu mereka berada di Air Terjun Takkapala. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Gemericik air dan desiran dedaunan menemani.
“Mau jelaskan apa lagi, Pluk?” Dalam kemarahan pun, Dani masih memanggil Najwa dengan panggilan kesayangannya. Mencerminkan betapa gadis itu sangat berarti untuknya.
“Sebenarnya aku mau menolak lamaran Gabriel, tapi...”
“TapiGabriel terlalu baik dan sempurna sampai-sampai kamu nggak bisa menolak! Iya kan?” hardik Dani naik darah.
“Bukan begitu...aku hanya tak tahu bagaimana cara menolaknya dengan halus.”
“Itu hanya alasanmu, Pluk. Aku tahu. Aku sadar, kalau Gabriel jauh lebih baik dariku. Lebih tampan, lebih sempurna. Dan aku jelas-jelas berbeda denganmu, dengan mereka semua. Tapi aku juga punya perasaan, punya hati! Bukan begini caranya kalau mau jujur, Najwa! Bilang saja kamu tidak bisa menerimaku!”
Air mata bergulir ke pipi Najwa. Gadis itu menangis. Dani spontan memalingkan wajah. Bukannya benci, tapi karena ia tak kuasa melihat air mata gadis yang amat dicintainya.
“Dani, dengarkan aku. Aku memang mencintaimu, tapi segalanya butuh proses. Sekarang ini aku sedang melewati proses yang panjang. Menolak Gabriel dan menerima semua kekuranganmu. Demi Allah, itu semua butuh waktu. Kuharap kamu mengerti.”
Hening. Tak ada jawaban. Najwa menenggelamkan wajah di balik tangannya dan meneruskan menangis. Tanpa disadari Najwa, Dani berbalik dan mendorong kursi rodanya menjauhi air terjun. Selain butuh waktu sendiri, ia juga tidak sanggup menyaksikan Najwa terus menangis.
Tak lama, terdengar derap langkah beberapa pasang kaki. Zahra, Alia, dan Alisha berlari-lari kecil menuju air terjun. Mendekati Najwa lalu memeluknya.