Lovestory About Choirmaster

princess bermata biru
Chapter #28

28. Curahan Hati Prof. Tina

Tak pernah terbayangkan

Betapa hancurnya hatiku

Kamu kamu kamu di hatiku

Seandainya saja

Ku mampu memulihkan perasaanmu

Yang tlah lama terluka oleh dirinya

Lupakan semua sudahlah cukup di sini (Brisia Jodie-Seandainya).

Beberapa kilometer dari bandara, tepatnya di kediaman Prof. Tina, dentingan lembut piano terdengar. Dimainkan sendiri oleh Prof. Tina. Sambil memainkan piano, wanita cantik itu menyanyi. Mengadukan kegundahannya pada tuts hitam-putih di hadapannya.

Tanpa terasa, cairan hangat menuruni pelupuk mata Prof. Tina. Lagu itu kembali mengingatkannya pada Prof. Apollo. Pada pria yang pernah menjadi suaminya, pria yang hingga kini masih dicintainya, dan pria yang selalu ia sesali kepergiannya.

“Tante Tina?”

Sebuah suara lembut diikuti wangi Clive Christian menyapanya. Prof. Tina cepat-cepat menyeka mata dan berpaling. Gabriel baru saja duduk di sampingnya.

“Tante menangis? Ada apa?”

“Nggak apa-apa, Nak. Tante cuma ingat Om Apollo. Ah….andai saja kesalahpahaman itu tak terjadi, tentu dia masih di sini.”

Prof. Tina menggantung kalimatnya di udara. Entah, tiap kali melihat Gabriel, yang dia lihat justru Marco. Dua anak itu memang mempunyai banyak kesamaan. Mulai dari bulan lahir (Februari), hingga sifat sabar yang melekat kuat dalam diri mereka.

Sejak semalam, Gabriel memang menginap di rumah Prof. Tina. Marco yang memintanya. Ia tak ingin sang Mama kesepian selama kepergiannya ke Jakarta. Maka ia meminta Gabriel menemani Prof. Tina. Terlebih Prof. Andreas dan Prof. Harini juga sedang pergi ke Australia selama dua minggu untuk urusan pekerjaan.

“Maaf, Tante nggak bermaksud…”

Gabriel tersenyum penuh pengertian. “Aku mengerti, Tante. Tapi semua itu sudah berlalu. Om Apollo nggak terbukti selingkuh sama Prof. Winda, dan Prof. Zacharias hanya rekan penelitian Tante.”

Lebih banyak air mata bergulir ke pipi Prof. Tina. Kata-kata Gabriel memang menenangkan, tak jauh berbeda dengan Marco. Semua itu pun benar. Dipeluknya Gabriel erat, seperti ia memeluk Marco. Gabriel balas memeluk Prof. Tina. Ia telah menganggap Prof. Tina seperti ibunya sendiri, ibu kedua dalam hidupnya karena yang pertama adalah Prof. Harini.

“Well, bagaimana kalau Om Apollo ingin kembali? Tante mau terima, kan?” tanya Gabriel. “Tentu saja. Tapi apakah mungkin…?”

“Nothing impossible, Tante.”

Dering ponsel memutus dialog mereka. Pesan dari Helmi dan Cintya. Waktunya melatih anggota PSM. Gabriel pamit pada Prof. Tina, lalu bergegas pergi.

**

Setengah jam berikutnya, Gabriel telah melatih anak-anak paduan suara. Langen, yang menjadi pelatih PSM pula, ada di sana. Hari ini pun mereka kedatangan beberapa alumni yang masih care pada PSM di antaranya Oki dan dr. Anin. Praktis suasana latihan makin menyenangkan.

“Sudah hafal liriknya? Ayo kita mulai. Jangan lupa lagi, ya.” kata Gabriel sabar.

Gabriel mulai memainkan piano dan mencontohkan cara menyanyikan lagunya. Akan tetapi, tiba-tiba saja ia berhenti. Ribuan jarum jahat serasa menusuk kedua tangannya, mengirimkan rasa sakit yang amat sangat. Tak sampai di situ saja. Gabriel terbatuk, tetesan darah terjatuh ke atas tuts putih piano.

“Ya Tuhan…” Beberapa anak yang berdiri di depan seperti Maureen, Vania, Insani, Adel, dan Cintya berseru tertahan.

“Sorry,” bisik Gabriel, lalu terbatuk lagi. Lebih banyak darah yang mengalir.

Langen, Oki, dan dr. Anin tergesa-gesa menghambur ke sisi Gabriel. Wajah mereka kalut.

“Gabriel, kita ke rumah sakit ya?” bujuk dr. Anin.

“Iya Gabriel, pergilah ke rumah sakit. Biar aku yang…”

“Aku ingin melatih mereka, Langen. Aku tidak sakit, aku baik-baik saja.”

“Gabriel, berhenti memaksakan diri.” pinta Oki.

Semua anggota paduan suara kini berbisik-bisik cemas. Sebagian besar terlihat sedih, menduga pelatih kesayangan mereka semakin parah sakitnya. Sementara itu, Gabriel terus membujuk dan menenangkan ketiga sahabatnya. Akhirnya mereka mengalah dengan satu syarat: Gabriel harus langsung ke rumah sakit selesai latihan.

Begitulah Gabriel. Selalu tegar, kuat, dan tak pernah mengeluhkan rasa sakit sedikit pun. Dalam kondisi sakit, Gabriel tetap memprioritaskan orang lain.

**

“Seharusnya kamu jangan memaksakan diri,” sesal dr. Reva.

Langen menghela nafas berat. Menatap profil pucat Gabriel yang kini tertidur lelap di bawah pengaruh obat. Oki dan dr. Anin tak berkata apa-apa. Di ujung ruangan, Prof. Tina dan Prof. Apollo nampak sedih sekaligus bersimpati.

“Maafkan aku, Reva.” Langen berujar perlahan. Menatap kekasihnya penuh rasa bersalah.

“Nggak apa-apa. Yang penting kondisinya cepat membaik, itu saja.”

Prof. Tina mendekati keempat sahabat itu. Prof. Apollo menyusul di belakangnya.

“Kami sudah mengabari Om Andreas dan Tante Harini,” kata Prof. Tina.

“Terus gimana, Tante? Mereka kan dalam perjalanan ke Aussie.”

“Untungnya mereka baru sampai Jakarta. Belum lanjut flight ke Aussie. Mereka langsung kembali ke Makassar.”

Hening. Entah bagaimana bila Gabriel mendengar ini semua. Pasti ia takkan suka, sebab merasa menyusahkan banyak orang.

“Tapi Om belum berani beri tahu Marco, Zahra, Anjas, Kalis, Dicky, Alia, Alisha, dan Najwa.”

Seketika mereka teringat para sahabat lainnya. Tidak, pasti Gabriel takkan mengizinkan untuk yang satu ini. Memberi tahu mereka sama saja merusak pertunangan Dicky dan Alia.

**  

Langkah sepasang pria dan wanita paruh baya itu semakin cepat. Badan pesawat berlogo Citilink tinggal beberapa meter lagi. Terlihat Prof. Andreas masih berkutat dengan lawan bicaranya di telepon. Sibuk menjelaskan sesuatu. Memohon maaf beberapa kali. Menyebut-nyebut e-mail dan makalah neurolinguistik.

“Bagaimana, Andreas?” tanya Prof. Harini.

Lihat selengkapnya