Sekujur tubuh Najwa gemetar dialiri shock. Tangannya mendingin, sementara jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat. Sementara Dani terus menatapnya.
“Dani…”
“Kamu mau bilang apa lagi, Najwa?! Sudah cukup apa yang kulihat! Kamu lebih memilih malaikat pelindungmu yang perfect itu!”
Gabriel cepat-cepat melepas pelukannya, lalu ia memaksakan diri bangkit menghampiri Dani. “Aku bisa jelaskan semuanya, Dani. Apa yang kamu lihat …uhuk.”
Sisa kata-katanya terputus. Gabriel terbatuk. Dahak kemerahan terhambur dari mulutnya. Najwa melempar tatapan cemas ketika sahabat masa kecilnya terbatuk lagi beberapa kali. Dani mengawasi mereka berdua dengan mata menyala.
“Aku hanya melihat kenyataan! Sudah, ambil saja Najwa! Kamu yang lebih sempurna memang pantas sekali untuknya!”
“Dani, sebaiknya kamu dengarkan dulu penjelasan Gabriel.”
Dari pintu yang terbuka, Anjas tergesa melangkah masuk. Menatap Dani, Gabriel, dan Najwa bergantian.
Dani merasa terpukul saat itu juga. Bahkan Anjas lebih membela Gabriel dibandingkan dirinya.
“Ternyata kamu sama saja seperti Najwa, An! Bagus, bela saja Gabriel!”
“Bukan begitu, Dani. Tapi yang kamu lihat belum tentu sama dengan kenyataannya.”
Pada saat bersamaan, Najwa mendekati Dani. Lagi-lagi wajahnya dibasahi air mata. Dicobanya memeluk pemuda itu, bermaksud menenangkan dan meredam emosinya lewat pelukan hangat. Namun Dani menyentakkan lengan Najwa yang melingkari lehernya.
“Pergi! Kamu tak pantas untukku! Pilih saja Gabriel-mu itu!”
Dani berteriak. Memundurkan kursi rodanya sejauh mungkin dari Najwa. Najwa nyaris terjatuh, namun Gabriel menahan tubuhnya.
“Jangan salahkan dia, Dani. Salahkan saja aku. Kamu boleh melakukan apa pun padaku, tapi jangan sakiti Najwa.”
Dani masih dikuasai emosi. Ditatapnya Gabriel penuh kebencian. Ia benci sekaligus iri pada pria itu. Benci pada kenyataan jika Gabriel mencintai Najwa, iri pada semua keistimewaannya. Gabriel memiliki segalanya yang tidak pernah dimiliki Dani.
“Dani, aku benar-benar ikhlas kalau kamu dan Najwa akhirnya bersatu. Kamu tak perlu khawatir. Tapi aku hanya ingin meminta satu hal padamu: buatlah Najwa bahagia, atau minimal bangga memilikimu. Jangan buat dia menangis dan mengadu lagi kepadaku. Buat dia menjadi wanita paling beruntung di dunia karena telah memilikimu.”
**
“Gabriel, Dani bilang apa sama kamu? Apa yang terjadi pada malam sebelum kamu dibolehkan pulang? Dia...”
Di lobi rumah sakit, Gabriel berpapasan dengan Oki dan dr. Anin. Wajah kedua sahabatnya nampak cemas.
“Dani nggak bilang apa-apa,” sahut pria bermata bening itu pelan.
“Are you sure?”
Gabriel mengangguk. “Thanks sudah mengkhawatirkanku.”
Dengan kata-kata itu, ia bergegas keluar lobi. Tak memberi kesempatan bagi Oki dan dr. Anin untuk bertanya lebih jauh.
Tak sampai lima menit, Gabriel telah mengemudikan Lamborghini-nya. Menyusuri ruas demi ruas jalan. Kian jauh dari RS. Stela Maris.