“E-mailnya sudah diterima?”
“Sudah. Foto-fotonya bagus sekali,”
“Iya dong. Siapa dulu seksi dokumentasinya waktu itu?”
Suara perbincangan ringan diikuti tawa akrab terdengar. Sekumpulan pria dan wanita muda dari Komunitas Kekuatan Cinta tengah berkumpul. Taman Maccini Sombala di Daerah Tamalate menjadi tempat pilihan mereka.
Komunitas Kekuatan Cinta berisi relawan-relawan muda dari berbagai profesi. Tujuan utama mereka adalah membantu anak-anak pengidap HIV/AIDS. Kini mereka tengah menanti sang ketua. Ketuanya tak lain Gabriel.
“Guys, katanya sebentar lagi Gabriel sampai. Dia ajak Zia dan si kembar juga,” salah seorang voluntir memberi tahu.
“Oh ya? Bagus...aku udah kangen.”
“Kangen siapa nih? Zia, Safa, Savina, atau kangen Pak Ketua?”
Godaan satu ini disambut gumaman setuju dan sorakan dari anggota lainnya.
“Hai...maaf aku telat. Tadi ada meeting, terus ketemu Marco dulu.”
Kedatangan Gabriel mengalihkan perhatian mereka. Mereka pun berhenti menggoda salah satu relawan dan beralih menyambut Gabriel. Hangat, begitulah sambutan mereka pada sang leader.
Siang ini, Gabriel tampil menawan dalam balutan manset suite Armani berwarna putih. Zia, Safa, dan Savina tak kalah cantik memakai gaun hijau toska berbahan tafetta. Dari dekat, orang takkan mengira jika ketiga anak itu adalah anak angkat. Pasalnya mereka rupawan, cocok sekali menjadi anak kandung Gabriel.
“Halo Sayang...” beberapa relawan perempuan memeluk Zia, Safa, dan Savina. Mengecup pipi mereka. Tiga kanak-kanak itu balas menyapa. Menyebut nama para relawan satu demi satu.
“Najwa nggak datang, Gabriel?”
“Nggak. Dia sibuk hari ini. Tapi dia kirim salam buat kita semua,”
Savina menimpali tanpa diduga. “Kami kangen Bunda Najwa.”
Gabriel tertawa kecil. Mengusap rambut panjang Savina.
“Kalau Bunda nggak sibuk, pasti Bunda datang.”
Mereka pun kembali duduk di rumput. Kali ini membentuk lingkaran, dengan Gabriel sebagai titik pusatnya.
“Kita mulai saja, nggak ada lagi yang kita tunggu, kan?” ujar Gabriel.
“Oki, Anin, Langen, sama Reva mana?” tanya relawan yang duduk paling dekat dengan Gabriel.
“Anin dan Oki lagi vitting baju. Langen ketemu klien, dan Reva ada seminar dengan dokter-dokter spesialis Onkologi di Yogyakarta.”
Jawaban Gabriel disambuti anggukkan paham dari para relawan. Pertemuan rutin itu pun dimulai.
**
Beberapa meter dari tempat berkumpulnya Komunitas Kekuatan Cinta, Dani memajukan kursi rodanya. Ingin melihat lebih jelas. Sudut matanya menangkap sosok Gabriel di antara pria dan wanita muda lainnya. Ada pula tiga anak perempuan di sana. Mungkin mereka anak-anak pengidap AIDS yang lazim disebut ODHA.
Dani tersadar, Gabriel memang populer dan memiliki jiwa pemimpin. Semua orang mencintainya. Berbanding terbalik dengan Dani yang tidak disukai banyak orang dan kurang populer. Sungguh, kedua laki-laki itu amat kontras.
Pantas saja, publik lebih merestui jika Najwa bersama Gabriel. Hanya Anjas, Kalis, Dicky, Zahra, Alia, dan Alisha yang mensupport Dani terus berhubungan dengan Peri Kecil itu. Marco? Entahlah, kemungkinan ia berpihak pada sepupunya. Selebihnya mengharapkan Dani-Najwa segera putus. Ironis.
Pria berdasi hitam itu menggigit bibirnya kuat. Gabriel memang menawan. Figur malaikat yang disayangi siapa saja. Bahkan, tak sedikit tatapan penuh arti dilayangkan sejumlah voluntir wanita padanya.
Arus kuat kebencian menghempas hati Dani. Ia membenci Gabriel, membenci semua keistimewaan yang dimilikinya. Mengerikan, seperti itukah rivalnya? Ya, Dani menganggap Gabriel sebagai rivalnya. Dipalingkannya wajah, mencoba berkonsentrasi pada kotak makanan di pangkuannya.
Baru saja kotak bekal itu terbuka, cobaan lain menghampiri Dani. Sesosok pria tinggi dan atletis berjalan angkuh dari gerbang taman. Tanpa ragu ia menghampiri Dani. Merampas kotak dari pangkuan pria itu, menumpahkan isinya, dan menginjak-injaknya.
“Dani Sastranegara...ndak banyak berubah kamu, ya?” sapa pria itu dalam logat Suroboyoan yang kental.
Tubuh Dani membeku seketika. Ia kenal pria itu, sangat mengenalinya. William, satu dari sekian banyak orang yang pernah membully-nya sewaktu di SMA.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Dani dengan suara bergetar.
William tertawa sinis. “Memangnya taman ini punyamu, tho? Ndak kok, taman ini tempat umum. Aku boleh ke sini. Atau taman ini mau dibeli Sastranegara Group?”
Tangan Dani gemetar dialiri ketakutan dan amarah. Bayangan-bayangan masa lalu kembali berkelebatan. Saat ia di-bully, ditolak di ekstrakurikuler manapun, dilukai, hingga dihadiahi boneka beruang yang sudah tercabut kepalanya di dalam loker sekolah. Tak terpikir olehnya untuk mengingat lagi kepingan masa lalu kelam itu. Terlebih di Makassar, di kota tempatnya merasa nyaman dan menemukan sahabat-sahabat yang bisa menerima dirinya.
“Dani, gimana kamu sama si Cempluk itu? Oh bukan, bukan. Sama...Peri Kecil.”