Kini kutahu
Bila cinta tak bertumpu pada status
Semua orang tahu bila kita sepasang kekasih
Namun status tak menjamin cinta
Kini kutahu
Bila cinta tak bertumpu pada lidah
Lidah bisa berkata
Namun hati tak sejalan
Kata-kata tak menjamin cinta
Untuk apa
Untuk apa cinta tanpa kejujuran
Untuk apa cinta tanpa perbuatan
Tak ada artinya
Untuk apa
Untuk apa cinta tanpa pembuktian
Untuk apa status kita pertahankan
Bila sudah tak lagi cinta…(Maudy Ayunda-Untuk Apa).
Di dalam ruang kerja mewahnya yang berhiaskan lukisan Rembrandt, Dani terenyak. Menatap masygul tumpukan dokumennya yang belum diperiksa dan ditandatangani. Ia baru saja mendengarkan rekaman terbaru yang di-upload Najwa di account Soundcloud-nya. Seandainya bisa, ingin sekali ia meninggalkan kantor Sastranegara Group untuk sejenak melepas lelah dan gundahnya.
Tubuh dan hatinya penat. Stress membebani pikiran. Fokusnya sama sekali jauh dari pekerjaan.
Sesaat ia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Masih pantaskah dirinya untuk Najwa? Selama ini ia hanya membuat Najwa bersedih. Najwa tidak bahagia bersamanya, gadis itu justru tertekan dan tersiksa. Terlebih perbedaan di antara mereka sangat kontras. Dunia Dani dan Najwa berbeda.
Mungkinkah Najwa lebih bahagia bersama pria lain yang jauh lebih sempurna? Tidakkah sebaiknya ia melepaskan Najwa dan merelakannya ke tangan seseorang yang lebih pantas? Saat pikiran itu terlintas, sosok Gabriel kembali diingatnya. Figur laki-laki rupawan, berhati malaikat, penyabar, perfeksionis, penyayang, aktif, penuh perhatian, dan memiliki dunia yang sama dengan Najwa. Akankah Najwa lebih berbahagia jika bersama Gabriel?
Menghela nafas pasrah, Dani mencoba menekuni dokumen-dokumen di hadapannya. Mempelajarinya satu per satu dan menandatanganinya. Beberapa berkas yang diragukan validasinya ia pisahkan. Sulit sekali memfokuskan diri pada tumpukan dokumen ini. Pikirannya berkali-kali tertuju pada Gabriel dan Najwa.
Setengah jam berselang, Dani menyerah. Dilemparkannya pulpen ke atas meja, lalu diempaskannya punggung ke sandaran kursi.
Telepon di mejanya berdering. Cepat Dani mengangkatnya.
“Ya?”
“Pak Anjas ingin bertemu Anda. Dia ada di luar ruangan Bapak,” ucap sekretarisnya di ujung telepon.
“Suruh dia masuk.”
?” Kala pintu terbuka, Dani langsung menerima sapaan ramah Anjas.
“Hai Dani, kamu banyak pekerjaan hari ini?”
“Hai An, ada beberapa dokumen yang harus kuperiksa.”
Anjas spontan menepuk dahi. “Berarti kedatanganku kurang tepat.”
“Tidak tidak, aku bisa menundanya. Ada apa?” sahut Dani cepat-cepat.
Anjas tersenyum saja melihat kesungguhan Dani menerima kunjungannya. “Aku kemari untuk mengembalikan ini. Virusnya sudah ku-scan, dan tak satupun data yang hilang.”
Seraya berkata begitu, diulurkannya tas mungil berisi laptop ke tangan Dani. Lagi-lagi Dani dikepung rasa bersalah. Sedikit ragu diterimanya laptop itu.
“Trims ya,” katanya pelan.
“Oke. Sekarang kamu nggak usah repot-repot ke teknisi, kan?” seloroh Anjas.
Sungguh beruntung Dani memiliki sahabat seperti Anjas. Figur sahabat yang senantiasa memberi pertolongan, bagaimanapun keadaannya. Sahabat yang banyak berkorban untuk menolongnya. Segala kebaikan Anjas bagai hantaman keras dalam hati Dani.
“An, kamu begitu baik...kamu sudah terlalu banyak menolongku.” ujar Dani tanpa sadar.
Sepasang mata bening itu menyipit. “Cukup, Dani. Aku ikhlas menolongmu.”
“Three Musketeers yang lainnya juga sangat baik. Begitu pula Marco, Gabriel, Zahra, Najwa, Alia dan Alisha.”
“Iya, Dani.” Anjas bergumam setuju.
“An, ada yang ingin kuceritakan sama kamu. Ini soal Najwa.”
“Cerita saja, Dani.”
Dani pun menceritakan pergolakan dalam batinnya. Tentang dirinya yang merasa tak pantas untuk Najwa. Tentang niat di sudut terdalam hatinya untuk merelakan Najwa ke tangan Gabriel. Anjas mendengarkan dengan seksama. Tidak menduga Dani berpikiran seperti itu.
“Kamu yakin? Bukannya kamu sangat mencintai Najwa?” Anjas memastikan.
“Setelah kupikir-pikir, Najwa tak pernah bahagia denganku. Aku hanya bisa membuatnya sedih dan terluka. Gabriel lebih pantas bersamanya. Aku bukan apa-apa bila dibandingkan dengan GABRIEL Andreas Paz.”
“Kenapa kamu berpikiran begitu, Dani?” tanya Anjas keheranan.
Dani menghela nafas berat. “Coba pikirkan. Aku hanya laki-laki biasa. Aku cacat, antisosial, pasif, apatis, bodoh, tidak menarik, dan hanya bisa menjadi beban bagi Najwa. Sementara Gabriel? Dia tampan, baik, aktif menolong orang lain, penuh perhatian, disukai banyak orang, pintar, dan selalu bisa membahagiakan Najwa. Hatinya bagai malaikat, sementara aku iblis…”
“Cukup. Jangan menjlek-jelekkan dirimu sendiri. Ya, kamu memang belum bisa membuat Najwa bahagia. Tapi…”
“Nah kan? Kamu pun mengakuinya, Anjas.” Dani tersenyum pahit.
“Dengarkan aku dulu. Kamu pasti bisa membahagiakan Najwa. Hanya saja, kamu punya cara sendiri dan Najwa belum memahaminya. Itu saja.”
Dani bersandar lelah ke kursinya. “Ya…aku mencintai dan membahagiakan Najwa dengan caraku sendiri.”
“Jadi, pikirkan ulang niatmu itu. Tanyakan dalam hatimu, siap dan ikhlaskah kamu kehilangan Najwa?”
**