Malamnya, Gabriel tak sempat lagi memikirkan permintaan aneh Dani. Pikirannya sempurna teralihkan oleh insiden itu. Safa jatuh dari tangga. Mungkin bagi anak normal, kejadian itu dapat teratasi dengan cepat. Namun bagi anak penderita AIDS, kasusnya berbeda.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit Safa terus menangis. Kakinya terasa amat sakit. Gabriel mempercepat laju Lamborghini-nya, tak kuasa mendengar isak tangis putri kecilnya lebih lama lagi. Ia membawa Safa sendirian. Hari itu tak ada relawan yang stay di rumah. Pelayan pun sudah pulang sejak sore tadi. Praktis Gabriel menangani masalah ini sendiri.
Ponsel di atas dashboard berdering tepat ketika Gabriel menekan rem di traffic light Jalan A. P. Petarani. Telepon dari Najwa.
“Ya, Peri Kecil?”
“Aku sudah sampai rumah sakit, Gabriel. Yang lain juga sudah di sini. Bagaimana Safa?”
“Aku masih di Petarani. Tunggu sebentar...oke?”
Klik. Telepon diakhiri. Di sisinya, Safa terus menangis. Wajahnya pias menahankan sakit. Gabriel menghempas nafas, tak tega dengan kondisi Safa. Pasti gadis kecil itu sangat menderita.
“Tahan sebentar, Sayang...kita segera sampai,” pintanya.
Mata Safa berkaca-kaca. “Sakit sekali, Ayah.”
“Iya, Ayah tahu. Safa kuat ya?”
Kanak-kanak itu bergumam mengiyakan. Kepalanya tersandar lemah di bahu Gabriel.
**
Tiba di rumah sakit, Gabriel disambut wajah-wajah cemas dari para sahabat. dr. Anin sigap menggendong Safa ke atas brankar. Ia sendiri yang mendorong brankar itu menuju UGD.
“Kami ikut, Anin. Biar kami membantumu menangani Safa.” kata dr. Reva. Ia bergegas menyusul diikuti Anjas, Alia, Dicky, dan Alisha. Dokter-dokter muda itu menutup pintu UGD.
Untuk kesekian kalinya Gabriel didera frustasi. Ia tak henti melempar pandang ke jendela kaca, melihat apa yang terjadi di dalam ruangan. Kalis, Zahra, Najwa, Marco, Oki, dan Langen mendekat. Hanya Dani yang tetap di posisinya. Tak bergerak seinci pun.
“Jangan khawatir, Gabriel. Safa pasti baik-baik saja.” Marco berkata menenangkan.
“Berdoalah, Allah selalu bersama Safa.” saran Kalis.
Najwa merangkul hangat Gabriel, membisikkan penghiburan. Meyakinkan segalanya akan baik-baik saja. Di samping Peri Kecil dan sahabat-sahabatnya, Gabriel menemukan penghiburan.
Di saat bersamaan derap langkah terdengar kian dekat. Ternyata Prof. Harini dan Prof. Andreas. Raut wajah mereka khawatir.
“Safa sudah ditangani?” tanya Prof. Harini.
“Sudah, Tante. Anin dan yang lain masih menanganinya,” jelas Oki.
“Syukurlah.”
Mereka pun terdiam sejenak. Mendoakan Safa. Memohon kesembuhan dari Sang Pemilik Kehidupan.
Satu setengah jam kemudian pintu ruangan terbuka. Anjas dan dr. Anin melangkah keluar. Diikuti dr. Reva, Dicky, Alia, dan Alisha.
“Bagaimana kondisi Safa?” tanya Gabriel.
Para dokter bertukar pandang muram. Gabriel waswas, menanti apa yang akan disampaikan. Sejurus kemudian dr. Anin menghela nafas dan berkata, “Kaki Safa mengalami kelumpuhan.”
Marco terbelalak. Kalis, Zahra, dan Najwa menahan nafas. Kekagetan yang identik menyapu wajah Oki dan Langen. Gabriel sendiri terperangah. Prof. Andreas dan Prof. Harini bertanya nyaris bersamaan. “Apa kalian yakin?”
“Yakin, Om Andreas, Tante Harini. Kami sudah memeriksanya dua kali.” sahut Anjas.
“Tidak adakah yang bisa dilakukan untuk menyembuhkannya?” timpal Zahra.