Di rumah mungilnya, Najwa menenggelamkan diri dalam tumpukan pekerjaan. Memeriksa laporan satu per satu. Sesekali berkutat dengan laptopnya, membuka e-mail. Mata hazel-nya tak lepas dari kertas-kertas putih itu.
Najwa masih bekerja hingga malam tiba bukan tanpa alasan. Pasalnya, tadi siang ia harus meninggalkan kantor cukup lama. Gabriel mengajaknya ke pertemuan keluarga. Tak hanya keluarga, para sahabat pun hadir di sana. Mereka membicarakan persiapan pernikahan Najwa dan Gabriel. Bahkan tanpa diminta, Marco mengalah dan menunda pernikahannya dengan Zahra.
Tanggal pernikahan telah ditentukan. 1 Februari, itulah tanggal pilihan mereka. Alhasil mereka memiliki waktu beberapa bulan untuk mempersiapkannya. Februari dipilih karena saat itulah ulang tahun Gabriel, juga ulang tahun Marco. Gabriel berulang tahun tanggal 12 Februari, sedangkan Marco 26 Februari.
“Februari bulan yang istimewa. Karena saat itulah dua malaikat terlahir ke dunia,” Najwa teringat ucapan Alia disertai senyumannya.
Ketukan di pintu depan menghentikan kesibukan gadis itu. Najwa bangkit lalu berjalan ke ruang tamu.
“Najwa…” Di ambang pintu, berdirilah Prof. Harini bersama Gabriel dan Prof. Andreas.
Prof. Harini memeluknya hangat. Najwa balas memeluk wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandungnya itu. Dari dulu Najwa sangat menyayangi Prof. Harini, juga Prof. Andreas.
“Mama itu good listener, Papa good speaker.” Begitulah deskripsi Gabriel tentang kedua orang tuanya, dan Najwa menyetujuinya.
Mereka berempat masuk ke dalam rumah. Gabriel menatap heran tumpukan berkas di meja, berikut laptop yang terbuka dan segelas susu yang isinya tinggal setengah. Sedangkan Prof. Andreas memuji Najwa, mengatakan jika semangat bekerjanya tak pernah hilang.
“Peri Kecil, kami ingin mulai sekarang kamu tinggal di rumah kami.” Gabriel mengungkapkan maksud kedatangan mereka.
“Iya, Sayang. Tinggallah di rumah kami sampai pernikahan. Setelah kalian menikah, barulah Gabriel akan mengajakmu tinggal di rumah yang sudah disiapkannya.” Prof. Harini memohon. “Tapi, apakah tidak…”
“Kami justru senang kalau kamu tinggal di rumah kami. Najwa mau, kan?” bujuk Prof. Andreas.
Najwa tak kuasa menolak. Ia mengangguk pelan, disambuti senyum puas dari ketiga anggota keluarga itu.
“Terima kasih, Gabriel. Terima kasih Om, Tante…”
“Tidak, jangan panggil kami seperti itu. Panggil kami Mama dan Papa, oke?”
Hati Najwa menghangat seketika mendengar kata-kata Prof. Harini. “Iya Ma, Pa.”
**
Beberapa minggu berikutnya, jadwal kesibukan para sahabat semakin padat. Bukan hanya mereka, Prof. Andreas dan Prof. Harini sama sibuknya. Tapi mereka selalu menyempatkan waktu Gabriel dan Najwa mempersiapkan pernikahan. Tumpukan pekerjaan tak menjadi halangan mereka untuk saling membantu.
Namun tak setiap waktu mereka dihadapkan pada schedule yang padat. Seperti sore ini, misalnya. Najwa pulang dari kantor satu jam lebih awal dan kini tengah duduk bersama Prof. Harini di kursi santai di depan kolam renang. Majalah mode edisi bulan ini terbuka di depan mereka.
“Model gaun pengantinnya bagus sekali, Ma.” puji Najwa seraya menunjuk busana pengantin mewah rancangan desainer ternama. Prof. Harini mengangguk setuju.
“Iya, kamu mau memakainya di hari pernikahanmu? Mama bisa memesannya sekarang juga,” tawar Prof. Harini lembut. “Nggak usah Mama...Najwa nggak mau merepotkan Mama.”
“Siapa bilang? Najwa Sayang, semua sosialita memang begitu. Bila mereka mempunyai acara penting, pasti langsung memesan baju pada desainer terkenal langganan mereka.”
Najwa terdiam. Begini rasanya menjadi calon menantu keluarga konglomerat. Terus terang, ia belum terbiasa. Ia juga belum siap jika tiba waktunya bergabung dengan kaum sosialita.
Dari arah garasi, terdengar deru mobil disusul derap langkah kaki. Itu pasti Gabriel, pikir Najwa senang. Segera saja ia bangkit. “Mau kemana, Sayang?”
“Mau ke pantry sebentar, Ma.”
Sedetik berselang Prof. Harini langsung paham. Wanita anggun itu justru tersenyum. Menatap lekat punggung Najwa yang menjauh.
Najwa sampai di pantry bersamaan dengan kemunculan Gabriel. “Hai Peri Kecil, kukira kamu belum pulang.”
“Aku bisa pulang lebih awal hari ini.” sahut Najwa seraya membantu Gabriel melepas dasinya.
“Mau kubuatkan coklat hangat?” lanjutnya.
Gabriel mengangguk, tersenyum kecil. Segera saja Najwa beranjak mengambil sekotak coklat bubuk dan gelas ramping bertangkai kecil dari rak dapur. Hati-hati menuangkan air hangat dari dispenser ke dalam gelas. Dengan sangat luwes mengaduk coklat bubuk dan air hangat. Dalam sekejap, wangi coklat hangat berembus lembut dari dalam gelas itu.
“Selesai,” kata Najwa ceria seraya mengulurkan gelas ke tangan Gabriel. Setelahnya ia duduk di kursi di depan meja dapur. Sementara Gabriel meminum coklat hangatnya.
“Bagaimana?” kejar Najwa penasaran.
“Enak sekali, Peri Kecil. Trims ya,” puji Gabriel.
Seulas senyum merekah di wajah Najwa. Membuat paras cantiknya makin menawan. Diam-diam Gabriel melempar pandang ke arahnya. Merasakan betapa tulus senyum dan tatapan mata Najwa. Jika dipikir-pikir, betapa beruntung ia memiliki gadis seperti itu. Hingga detik ini ia masih sulit percaya jika Najwa benar-benar menjadi miliknya. Namun memang begitulah kenyataannya. Inilah hasil dari keikhlasannya.
“Najwa?” panggil Gabriel perlahan setelah menghabiskan setengah coklat hangatnya.
“Ya?”
“Sudah siap untuk acara di Manado Sabtu besok?”
Najwa mengangguk sambil tersenyum. “Sudah, Gabriel. Pasti keluargamu bahagia sekali sekarang.”
“Keluargaku kan juga keluargamu,” seloroh Gabriel ringan, menyentuh pelan lengan Najwa.
Iya, kamu benar. Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana perasaan Mama Harini dan Papa Andreas. Mereka bisa melewati 30 tahun pernikahan dengan penuh kebahagiaan. Pasti ada kesan tersendiri.”
“Kamu bisa tanya sendiri nanti. Tapi yang jelas...aku ingin pernikahan kita sebahagia dan sehangat pernikahan Mama-Papa.”
Tak dinyana, ucapan Gabriel membuncahkan rasa bahagia di dada Najwa. Hati kecilnya membisikkan harapan serupa. Tepat dugaannya. Ternyata mudah untuk mencintai Gabriel. Mencintai sesosok malaikat pelindungnya, sahabat masa kecilnya.
**
Sabtu pagi tiba, cerah dan indah. Najwa dan Gabriel melewatkan waktu senggang mereka dengan menemani anak-anak. Terlebih nanti malam mereka harus pergi ke Manado. Praktis mereka ingin bersama kesebelas anak itu sebelum pergi.
Bukan hanya mereka berdua, Marco ada pula di sana. Ia datang bersama Luna. Kebetulan Luna cukup fit untuk keluar sebentar dari rumah sakit. Dan Marco telah berjanji membantu Gabriel memberikan Safa terapi pediatrik keperilakuan hari ini.
“Jadi, Ayah sama Bunda mau pergi?” tanya Tiara.
“Iya, Tiara.” sahut Najwa lembut.
Safa tertunduk sedih di kursi rodanya. “Nggak lama, kan?”
Demi melihat raut wajah Safa, Gabriel memeluknya. Mengecup puncak kepalanya.
“I promise...it won’t be long, Dear.”
Sejak peristiwa naas itu, Safa jauh lebih pendiam dari biasanya. Ia mudah sekali bersedih dan pesimis. Hal tersebut membuat Gabriel dan Marco waswas pada kondisi mentalnya. Relevan bila mereka memberi perhatian ekstra untuk Safa.
“Om Marco juga ikut?” gantian Savina yang bertanya.
Marco mengangguk. “Ya, Savina.”
Dari arah taman belakang, datanglah Samuel dan Luna. Wajah kedua anak itu belepotan tepung. Namun mereka tersenyum lebar.
“Samuel, Luna...kalian dari mana?” sapa Marco. Menghampiri Luna. Mengusap sisa-sisa tepung di wajah Luna dengan tissue.
“Habis bantu Bibi buat adonan cup cake,” jawab Luna dan Samuel kompak.
Najwa, Gabriel, dan Marco bertukar senyum. Sementara anak-anak lain ribut berseru. Menggoda Samuel serta Luna. Kedua anak itu memang dekat. Sekalinya bertemu, dipastikan mereka takkan terpisahkan. Akhir-akhir ini kondisi Luna terus membaik. Alhasil ia bisa sering mengunjungi Samuel di sini. Tak jarang mereka bertemu saat check up di rumah sakit.
“Wah, bisa jadi anak kalian berjodoh nanti.”
Sebuah suara mengalihkan perhatian mereka. Oki dan dr. Anin datang. Langen serta dr. Reva lekat mengikuti. Paling belakang, berjalanlah Maureen. Gadis mungil itu tersenyum memandangi Samuel dan Luna.
“Kenapa tidak? Kami akan senang kalau anak-anak kami berjodoh. Iya kan, Peri Kecil?”
“Iya pasti, Gabriel.”
Langen menyeringai. “Gabriel dan Najwa sudah beri sinyal positif. Bagaimana denganmu, Marco?”
“Saya? Tentu saja akan saya dukung.”
Setelahnya suasana di rumah besar itu makin menyenangkan. Menjelang waktu Zuhur, lebih banyak lagi relawan yang datang. Mereka menemani anak-anak itu dalam waktu lama. Bermain, bercerita, membuat origami dan menuliskan harapan-harapan di sana, makan bersama, bahkan membantu Zia serta Alina mengerjakan PR. Satu lagi fragmen akhir pekan yang berwarna untuk kesebelas anak yatim-piatu pengidap AIDS.