“Pak GABRIEL, maaf hari ini saya nggak bisa masuk. Ibu saya sakit keras, saya harus ke Bandung buat jenguk beliau.”
Gabriel membaca isi Line itu. Lalu mengetikkan balasannya, memberi izin pada sang sekretaris ddan mendoakan kesembuhan. Ia berbaik hati memberi cuti pada sekretarisnya agar bisa fokus merawat sang ibu tercinta sampai sembuh.
Pukul setengah tujuh pagi, tersisa waktu satu jam sebelum ke kantor. Najwa juga masih berada di rumah. Sementara Prof. Andreas dan Prof. Harini sedang menyelesaikan sarapan mereka di ruang makan.
Sepasang mata bening itu dilayangkan ke luar jendela. Menatapi rinai hujan yang berjatuhan, menatapi langit yang tertutup lapis demi lapis awan. Tak seperti biasanya, pagi ini terasa suram. Cuacalah yang menjadi faktor utamanya.
Baru saja Gabriel selesai membereskan dokumen-dokumennya, atensinya teralih oleh ketukan di pintu kamarnya. Saat pintu terbuka, ia mendapati Najwa berdiri di ambang pintu.
“Peri Kecil...?”
“Gabriel, cepat turun ke bawah. Alina...”
Mendengar nama putrinya disebut, Gabriel bergegas menuruni tangga ke lantai bawah. Najwa lekat mengikuti.
Betapa terkejutnya ia ketika melihat Alina menghambur masuk ke teras rumah. Tubuhnya basah, wajahnya pias dan bibirnya membiru.
“Alina...sini Sayang, sini.”
Segera saja Gabriel meraih tangan Alina dan membimbingnya masuk ke dalam. Najwa tergesa kembali ke atas untuk mengambilkan handuk dan pakaian bersih.
“Ayah...dingin. Alina kedinginan,” rintih gadis kecil itu.
“Alina kenapa bisa begini, Sayang?” tanya Gabriel lembut.
Alina ingin menjawab, tetapi disela kedatangan Najwa. Wanita cantik itu dengan lembut melepas seragam sekolah Alina. Mengeringkan tubuh mungil itu dengan handuk, lalu mengganti pakaiannya.
“Gimana, Sayang? Masih kedinginan?” Najwa memastikan.
“Nggak, Bunda.” sahut Alina.
“Sekarang, Alina cerita sama Ayah dan Bunda.” pinta Gabriel.
“Tadi...tadi Alina sampai di sekolah. Waktu mau masuk gerbang, ada anak-anak sekolah lain deketin Alina. Mereka jahat sama Alina.”
“Jahat? Apa yang mereka lakukan, Nak?” sela Najwa, mata hazelnya melebar.
“Mereka bilang Alina bawa penyakit menular. Alina anak haram, dan ayah Alina bukan orang baik. Mereka nggak Cuma hina Alina, tapi hina Ayah!”
Tangis kanak-kanak itu pecah. Gabriel merengkuh Alina ke pelukannya. Menenggelamkan tubuh mungil nan rapuh ke dalam dekapan hangat. Membiarkan air mata Alina membasahi pangkuannya.
“Kenapa harus Alina? Kenapa bukan yang lain saja, Ayah?! Apa Alina bukan anak baik, makanya Allah kasih penyakit ini ke Alina?!” Dalam kesedihan dan keputusasaan, nada suara Alina meninggi.
“Tidak, Sayang. Alina anak baik, baik sekali. Alina anak Ayah yang baik.” Gabriel berujar menenteramkan.
“Juga anak Bunda yang baik,” timpal Najwa.
“Alina itu istimewa. Makanya Allah titipkan penyakit itu ke tubuh Alina. Tuhan sayang sekali sama Alina...”
Hening. Alina meresapi kata-kata Ayah-Bundanya.
“Tapi mereka juga hina Ayah...” isak Alina lagi, tak terima ayahnya dihina.
“Nggak apa-apa kok. Mereka hanya belum tahu siapa Ayah, makanya mereka bilang begitu.”
“Sekarang Alina jangan sedih lagi ya? Banyak yang sayang sama Alina. Ada Ayah, Bunda, teman-teman, Grandma, Grandpa, dan masih banyak lagi.” Najwa membujuk, mengusap lembut sisa air mata di wajah putri kecilnya.
Alina mengangguk, tersenyum lemah. Saat itulah Najwa tersadar. Kening Alina panas.
“Gabriel, Alina demam.”
Gabriel refleks menyentuh dahi Alina. Ia terkejut, namun bukan berarti tak menduga hal ini akan terjadi. Antibodi anak pengidap AIDS berbeda dengan anak-anak normal lainnya.
Detik berikutnya, pintu di belakang mereka terbuka. Prof. Andreas dan Prof. Harini mendekat.
“Ada apa ini?” tukas Prof. Andreas.
“Alina sakit, Pa.”
Tanpa kata, Prof. Andreas bersama istrinya membungkuk memeriksa Alina. Keduanya bertukar pandang cemas.